"Bang, Abang tahu gak, siapa Tante Shella itu?" tanya Felix, membuat Leo sontak menegakkan badannya.
"Eh? Abang gak tahu, Lix. Kenapa tiba tiba nanya Tante Shella?" jawab Leo, berbohong. Dia udah janji sama Soya untuk gak memberitahu Felix dulu. Ya, karena nantinya Felix bakalan berasumsi yang enggak enggak soal Tante Shella.
Bahu Felix merosot lesu. "Abang beneran gak tahu?" tanyanya lagi dengan nada sendu. Beneran persis kayak anak kecil yang minta dibeliin mainan, tapi gak dibolehin sama ortu.
Leo menggeleng pelan. "Gak tahu gue, Lix. Tahu namanya aja, enggak." Lagi lagi, Leo berbohong. Kayaknya, si sulung ini seneng banget menimbun dosa dengan cara berbohong.
Felix menghela napas pelan, dan menatap Leo sejenak. "Ya udah, Felix balik dulu ke kamar," pamitnya dengan langkah gontai.
Seperginya Felix, Leo pun sama, menghela napas seolah olah hidupnya ini bener bener berat.
"Yo, Bang! Ngapain ngehela napas mulu? Mau nimbun karbondioksida?" Hasan yang baru pulang dari beli cilok, langsung duduk di samping Leo sambil memakan jajanan yang dibelinya.
Leo tak menjawab pertanyaan absurd dari Hasan, dia malah bertanya hal lain. "Dugaan lo Tante Shella itu siapa ya, San? Gue penasaran. Felix juga sama," tanya Leo, membuat Hasan berpikir sejenak.
"Mana gue tahu, Bang," jawabnya pada akhirnya. Lah, ngapain nanya ke dia, lah wong dia juga sama sama gak tahu?
Leo menghela napas sekali lagi. Ternyata nanya ke Hasan sama aja. Dia juga gak tahu.
"Kalau Abang mau tahu, mending coba langsung tanya aja ke Mama," saran Hasan, namun ditolak oleh Leo.
"Enggak, ah! Entar dikira kepo amat," tolaknya, membuat Hasan ikutan menghela napas.
"Terus, kalau Abang gak nanya, Abang tahu informasi tentang Tante Shella darimana? Sumber satu satunya ya, cuma Mama."
"Ck. Bilang aja lo juga penasaran tapi gak berani nanya langsung ke Mama, kan? Terus lo numbalin gue buat nanya ke Mama, dan akhirnya bisa tahu juga, begitu?" Leo mah udah hapal sama tabiat adiknya yang satu ini. Menumbalkan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri. Sungguh, egois.
Hasan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan begitu, Bang...."
"Heleh... Bukan begitu, bukan begitu apaan? Gue udah kenal lo dari kecil, San. Gue tahu tabiat lo tuh kayak gimana," balas Leo, membuat Hasan kicep.
"Ya... Habisnya gimana ya, Bang? Gue penasaran... Tapi gak berani nanya langsung ke Mama. Takut dilempar panci." Akhirnya Hasan ngaku juga.
"Udah ketebak, San."
Hasan menghela napas pelan. "Yowes. Gue aja yang nanya langsung ke Mama. Doain gue gak kena gampar sama panci."
Leo mengangkat sebelah jempolnya ke arah Hasan. "Sip. Nanti jangan lupa spill the tea-nya yo!"
Hasan mencibir pelan. "Yo. Kalau berhasil."
Hasan pun beranjak pergi dari ruang tamu ke dapur untuk menemui Jessie. Ya, Jessie lagi belajar masak di dapur.
Sambil nunggu Hasan, Leo juga berusaha mencari petunjuk. Salah satunya dengan membuka buku buku usang yang ditaruh di laci bawah televisi.
Diobrak abriknya laci tersebut hingga seisi laci tumpah ruah ke lantai. Semoga saja Jessie gak tahu hal ini. Semoga saja...
Kebanyakan isi laci adalah kotak obat, kotak jarum, dan juga para antek anteknya. Namun, Leo yakin kalau di sana ada sesuatu something suspicious tersembunyi di sana.
"Nah, ketemu...."
~Perfect Family~
"Ma... Boleh nanya gak?" Hasan memainkan tangan Jessie sambil diayun ayunkan ke depan dan belakang layaknya anak kecil yang lagi merengek.
"Haduuh... Ada apa lagi sih, San? Mau beli mainan? Pake uang sendiri dulu aja." Jessie yang lagi masak pancake jadi terganggu.
Hasan cemberut. "Ah, Mama mah gak seru! Hasan, kan gak kepengen mainan!"
Jessie menghela napas pelan. Berusaha sabar menghadapi anaknya yang satu ini. "Ada apa emangnya? Mau nanya apa?" Kali ini suaranya melembut mendayu dayu.
"Mama tahu Tante Shella gak?" Jessie langsung membeku saat mendengar nama tersebut.
"Hah?! Siapa?" tanyanya memastikan.
"Tante Shella," ulang Hasan supaya Jessie dapat mendengar dengan jelas nama yang tadi ia ucapkan.
Jessie menghela napas pelan. Gak menjawab pertanyaan Hasan, dan langsung sok sibuk dengan pancake yang dimasaknya, padahal kompor belum nyala.
"Ma?" Hasan memanggil Jessie dengan pelan.
"Hm?" sahut Jessie, masih dengan atensi yang fokus pada masakannya. Tenang aja, kali ini udah nyalain kompornya.
"Mama kenapa gak jawab?" tanya Hasan lagi, dan lagi lagi gak dijawab sama Jessie. Pertanyaan itu seolah olah cuma numpang lewat doang.
Jessie tersenyum samar, dan menggeleng. "Mama lagi gak mau banyak omong dulu, San. Udah sana, main sama Felix atau sama Bang Leo."
Hasan terlihat kecewa ketika sang Mama mengusirnya dengan halus. Dirinya semakin penasaran dengan sosok Shella itu. Siapa sebenarnya dia, sampai sampai orang orang merahasiakannya? Bahkan, untuk menggali informasi mendasar saja tidak ada yang mau menjawab.
"Kenapa, Ma?" tanya Hasan lagi, membuat Jessie kembali menghela napas berat.
"Sana, San. Mama lagi gak mau ngomong," usir Jessie, sekarang lebih frontal daripada yang tadi.
"Ma...."
"Jangan ganggu Mama dulu, San! Pergi sana!" Kali ini, Jessie bahkan sampai berteriak dengan kerasnya, membuat Hasan kaget dan sontak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Jessie, lalu pergi begitu saja.
Jessie mengatur napasnya, lalu kembali membalikkan pancake miliknya yang permukaan bawahnya sudah sangat gosong.
"Maaf, nak. Mama gak bisa ngasih tahu kamu. Kamu pasti akan tahu nanti," gumam Jessie dengan tatapan kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Family [DanceRacha]✔
FanfictionDi dunia ini, gak ada yang namanya Perfect Family. Semua keluarga pasti punya kelebihan dan kekurangan. Tapi itu semua tidak berlaku pada keluarga yang satu ini. Sekeluarga tuh visualnya di atas rata rata, bakatnya juga gak kalah bagus sama anak an...