"Woi, Bang!" Hasan berlarian menuju Leo yang sekarang ini lagi baca buku yang baru ia temukan tadi.
"Kenapa?" tanya Leo sambil menutup buku yang ada di tangannya.
Hasan tak langsung menjawab, dia memilih untuk duduk di samping Leo terlebih dahulu. "Gue barusan nanya Mama,"
"Terus, terus?" Leo langsung memasang muka serius yang membuat Hasan ingin tertawa.
"Gue nanya tentang Tante Shella," lanjut Hasan, membuat Leo penasaran.
"Ya, gue juga tahu. Terus?" Leo masih menatap Hasan dengan wajah serius yang sok pengin tahu.
"Bisa gak, jangan terus terus mulu? Dikata tukang parkir?" omel Hasan, gak jadi nyeritain pembicaraannya dengan Jessie.
"Oke oke, lanjut. Gue diem." Leo memilih diem, daripada nanti Hasan gak spill the tea-nya ke dia.
Hasan menarik napas dalam dalam, seolah olah yang akan dia bicarakan merupakan hal yang sangat penting, yang tidak dapat dilewatkan. "Terus Mama gak jawab."
Leo langsung memasang wajah datar. Ngapain dia dengerin serius serius kalau akhir akhirnya tetep aja tak ada jawaban yang pasti dari Jessie.
"Udah, gitu doang?" tanya Leo dengan nada dingin, membuat Hasan menggaruk kepalanya.
"Ya.... Emang cuma itu doang," jawabnya, masih dengan tangan menggaruk kepala bagian belakang.
Leo menghela napas pelan. "Kirain lo bakalan spill the tea. Tahunya enggak," ujar Leo sambil membuka kembali buku yang tadi ia baca.
Hasan cuma diem di tempat sambil mainin kuku jarinya. Gak tahu mau ngapain. Dia lagi gabut banget masalahnya.
"Btw, Bang. Itu buku apaan?" tanya Hasan, kepo.
Leo menoleh ke arah Hasan, lalu melengos pelan. "Gak tahu buku apaan. Gue nemu di laci tadi. Siapa tahu aja ini isinya tentang Tante Shella."
Hasan mangut mangut, lalu mepet ke Leo untuk sesekali melirik isi buku tersebut. Dia, kan juga pengin tahu.
Leo gak memperdulikan Hasan yang sekarang ini ikutan baca buku yang sama dengan dia. Si sulung itu masih asik membolak balikkan halaman halaman berwarna putih kekuning kuningan karena dimakan waktu.
Sekilas, buku tersebut hanya berisi tulisan tulisan tangan dari orang orang yang berbeda. Kayak semacam diary gitu, tapi digunakan lebih dari satu orang.
Jujur aja, selama baca buku ini, Leo merasa janggal. Biasanya, kalau diary itu kan berurutan, tapi kenapa ini enggak? Kayak ada yang sengaja dipotong dan disembunyikan.
"Bang, ini apaan, dah?" tunjuk Hasan pada sebuah tulisan yang dianggapnya janggal, namun bisa dijadikan petunjuk.
Dear my older sister...
Happy birthday!
Wish you all happy!Maaf nih, adikmu yang tampan gak bisa ngasih hadiah apa apa.
Maklum, belum punya pendapatan sendiri.Btw, gimana keadaan kakak di sana? Baik baik aja, kan?
Kapan kapan adik mau main ke sana, deh. Soalnya kangen sama kakak.
Love you.
Tertanda, your little brother .
"Kayaknya ini surat yang ditujukan ke seseorang, tapi dibikin dalam bentuk diary gitu," jawab Leo masih menerka nerka.
"Tapi... Siapa kakak yang dimaksud dalam diary ini? Terus, adiknya siapa? Bukannya Papa itu anak tunggal?" Hasan masih merasa bahwa surat ini janggal.
"Bisa aja ini buku diary orang lain, terus dititipin ke sini. But, I don't know too," jawab Leo, masih menerka nerka dan masih berusaha berpikir positif.
Hasan menghela napas berat. Emang ya, keluarga ini penuh misteri. Setiap dicari petunjuknya, bukannya mendapatkan hasil, malah menemukan misteri lainnya. Sungguh aneh.
Jika sekarang ini aja, keluarga ini sudah memusingkan lagi penuh misteri, bagaimana kedepannya? Apakah lebih memusingkan namun masih bersatu, atau malah terpecah belah membentuk keluarga masing masing?
"Bang, di keluarga kita ada gak sih yang bisa menduga duga, tapi dugaannya itu selalu benar?" tanya Hasan tiba tiba, membuat Leo sontak menoleh.
"Maksud lo?" tanya Leo, malah jadi bingung sama pertanyaan Hasan tadi.
"Cenayang," jawab Hasan singkat.
"Cenayang?"
Hasan mengangguk, lalu kembali bersuara. "Iya, cenayang. Ada gak?"
Leo tampak ragu. Dia gak pernah denger yang namanya cenayang di keluarga ini. Bukan gak pernah denger, tapi gak tahu, dan gak pernah mau tahu.
"Gak ada, kayaknya...," jawab Leo, gak yakin.
Hasan menghembuskan napas berat. "Selain di keluarga ini, mungkin? Jihan?"
Leo menggeleng. "Jihan bukan cenayang. Chandra dan Cakra juga kayaknya enggak," jawabnya, mengabsen nama anggota keluarga sebelah. "Kalau Jeje?"
Hasan menggeleng ragu. "Entah. Gue gak tahu, tapi kayaknya enggak."
"Sebastian?"
Hasan kembali menggeleng. "Dia bukan cenayang juga."
"Terus, siapa?" Kini gantian Leo yang bertanya.
"Felix?" jawab Hasan ragu, membuat Leo mengernyitkan keningnya.
"Gak mungkin, San. Gak mungkin Felix," bantah Leo. "Gimana kalau gue tanya Jihan aja? Kali aja dia tahu siapa di antara kita yang termasuk cenayang?"
Hasan mengangguk, menyetujui. "Gue juga mau nanya ke Jeje."
Keduanya langsung membuka aplikasi chat masing masing. Mencari tahu siapa orang yang kira kira bisa menebak masa depan.
Babi (Pake Y)
Woi, Han|
|Napa?
Lo tahu gak siapa yang bisa meramal masa depan?|
|Hah?
|Apaan?
|Fortune teller?
|Kalau nyari Fortune teller, di pasar malem biasanya banyakBukan, ish|
Kayak cenayang gitu|
Lo tahu?||Gue tahu.
|Tapi gue yakin lo udah tahu orangnyaSiapa?|
|Adik lo sendiri
Hah?|
Siapa?||Ck. Pake nanya lagi
|Si Felix, adik bungsu lo!
|Dia itu keturunan cenayangYang bener?|
|Suer. Gue gak bohong!
Read|Eh si kampret. Udah dijawab pertanyaannya, malah diread doang
"Felix...," gumam Leo lirih.
"Hah?! Felix?" Hasan yang lagi chattan sama Jeje, sontak menoleh ke arah Leo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Family [DanceRacha]✔
FanfictionDi dunia ini, gak ada yang namanya Perfect Family. Semua keluarga pasti punya kelebihan dan kekurangan. Tapi itu semua tidak berlaku pada keluarga yang satu ini. Sekeluarga tuh visualnya di atas rata rata, bakatnya juga gak kalah bagus sama anak an...