Chapter 17 - Hadapi, Jangan Lari!

363 47 2
                                    

"San, belum tidur?" Hasan menoleh ke arah Leo yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

Hasan menggeleng pelan. "Belum, Bang. Bentar lagi palingan. Ini gue masih banyak tugas," jawab Hasan sambil mengalihkan pandangannya ke arah laptop.

Leo menghela napas pelan. "Banyak tugas atau lo lagi nyari petunjuk?" tanyanya dengan nada jengah. Jengah aja gitu sama Hasan yang kayaknya bener bener kepengen tahu banget.

Hasan menyengir pelan, lalu kembali melengos. "Gue penasaran aja, Bang. Keluarga kita ini penuh misteri banget."

Leo tertawa pelan. "Berasa jadi sherlock holmes ya?" sahutnya, dan diangguki oleh Hasan.

"Lo sherlock holmes, gue detektif conan." Hasan menyahut, masih dengan mata terfokus pada layar datar di hadapannya.

Leo tak lagi menjawab, dia berjalan mendekati Hasan dengan langkah pelan.

Hasan tak terusik sama sekali dengan langkah Leo. Toh, suara langkah Leo sangat pelan dan justru malah menenangkan baginya.

Leo melirik ke arah layar laptop Hasan. Terdapat foto foto keluarga mereka di sana. Mulai dari foto saat mereka masih kecil kecil, sampai foto saat mereka udah remaja. Bener bener lengkap.

"Bang, gak kangen sama keluarga kita yang dulu?" Pertanyaan Hasan membuat Leo yang sedang melamun jadi kaget.

Leo tak langsung menjawab, dia memilih untuk duduk lesehan di lantai marmer dingin terlebih dahulu. "Jujur aja kangen, San."

"Gue juga." Hasan menyahut sambil memperhatikan Leo dengan seksama.

Leo tersenyum kecil. "Tapi bagaimana pun keluarga kita, gue bakalan tetep sayang sama Papa, Mama, lo, dan Felix."

Hasan mengangguk. "Gue juga. Gak peduli apa yang terjadi di masa depan, gue gak akan pernah benci sama kalian, walaupun nantinya keluarga kita di ambang batas kehancuran."

"Gak nyangka gue, orang dramatis kayak lo bisa jadi soft kayak gini." Celetukan Leo yang spontan itu membuat yang lebih muda cemberut.

Leo spontan tertawa kencang melihat muka sepet Hasan yang patut untuk dinistakan. Dan si Hasan tetep aja cemberut, gak peduli kalau sang Kakak malah ketawa ketiwi gak jelas.

Namun tak dapat dipungkiri, Hasan cukup senang saat melihat tawaan lepas dari Leo. Mungkin nantinya dia akan merindukan ini semua.

Karena.... Kita, kan gak tahu apa yang terjadi di masa depan, iya kan? Maka dari itu, Hasan cuma kepengen ngelihat momen momen berharga seperti ini sampai nanti dia bertemu saat dimana dirinya sudah tak dapat lagi untuk melihatnya.

Sadar kalau Hasan ngelamun, Leo memberhentikan tawaannya, dan memandangi wajah muram Hasan.

Leo menepuk pelan pundak Hasan, membuat lamunan Hasan buyar seketika itu.

"Kenapa ngelamun?" tanya Leo, dan dijawab celengan kepala oleh Hasan.

Leo hanya mangut mangut. Dia gak begitu mempermasalahkan hal tersebut.

Hasan tentu bernapas lega karena Leo gak nanya lebih lanjut. Dia sendiri juga bingung gimana mau jawabnya, seandainya Leo nanya ke dia.

Entah dorongan dari mana, Leo lebih memilih untuk memeluk Hasan. Yang dipeluk pun jadi kaget dengan gerakan spontan dari Leo.

"Bang?" Hasan memangggil Leo dengan suara lirih.

"Biarin gue meluk lo sebentar aja," potong Leo dengan cepat, sebelum Hasan bersuara lagi.

Hasan pun gak menolak. Dia juga rindu dengan pelukan hangat dari Leo. Udah lama dia gak ngerasain bagaimana rasanya dipeluk oleh seseorang yang sangat menyayanginya.

Cukup lama mereka berpelukan layaknya teletubbies. Mungkin ada sekitar 15 menitan, dan keduanya enggan untuk melepas pelukan hangat tersebut.

Hingga Leo melepas pelukan tersebut secara sepihak.

Leo tersenyum manis, membuat Hasan bingung. Jarang sekali kakaknya ini menunjukan senyuman manisnya ke dia.

"Jangan ngira gue gak tahu apa apa ya, San. Gue udah tahu. Tanpa lo kasih tahu, gue juga tahu, San," ucap Leo, membuat Hasan membulatkan matanya.

"Bang.... Lo tahu?" tanya Hasan dengan nada tercekat.

Leo mengangguk dengan sorot mata sendu. Rada kecewa juga dia sama Hasan.

"Maaf....," ucap Hasan sambil menundukkan kepalanya, gak berani menatap Leo.

Leo tersenyum tipis. Menggeleng pelan sebagai jawabannya. "Gak usah minta maaf, San. Lo gak salah, lo cuma takut buat terus terang."

Leo kembali memeluk Hasan, mengelus pelan punggung yang lebih muda. "Tumpahin aja sekarang, tumpahin, gak usah ditahan lagi."

Merasa pundaknya sedikit basah, yang lebih tua sadar kalau adiknya sedang menangis dalam diam sekarang ini.

Elusan tangan pada punggung Hasan belum juga dia hentikan. Leo tahu, apa yang dia lakukan sekarang ini bisa membuat Hasan sedikit lebih tenang.

Setelah merasa Hasan mulai tenang, Leo kembali bersuara, "Sampai kapan lo mau lari dari kenyataan, San? Sampai kapan lo mau diem seolah lo baik baik aja?"

Hasan hanya menunduk. Gak ada sahutan darinya, hanya ada isakan kecil yang cukup menyayat hati.

"Hadapi, San. Gak ada gunanya lo kabur dari kenyataan. Yang ada lo capek sendiri."

Hasan menggeleng pelan. "Udah terlambat, Bang... Udah gak ada gunanya gue ngehadapin semua ini."

Hati Leo mencelos mendengar ucapan Hasan yang diiringi dengan isakan tangis yang terdengar lirih namun pilu.

"Dokter bilang apa?" tanya Leo setelah sekian lama berdiam diri.


(A/N):
Ini alurnya rada ngagetin ya? Kemarin kemarin fokus ke Felix aja, sekarang kita fokus ke Hasan karena dia juga punya masalah.

Sengaja, aku tambahin konflik biar gak monoton. Tapi entah kenapa hasilnya jadi rada amburadul...

Perfect Family [DanceRacha]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang