Cklek
Hasan yang lagi makan buah, langsung menoleh ke arah pintu ruang inapnya yang terbuka pelan. Jessie pun masuk ke ruangan tersebut.
"Gimana, Ma?" tanyanya sambil mengupas kulit apel.
Jessie tersenyum sumringah. "Alhamdulillah.. Kamu udah boleh pulang ke rumah," jawab wanita itu sambil duduk di kursi samping bangsal.
Mata Hasan langsung berbinar. "Kapan?" tanyanya sambil meletakkan kembali buah buahan tersebut ke tempatnya.
"Besok atau lusa," jawab Jessie sambil memakan remahan buah buahan bekas Hasan.
Hasan mengangguk dengan semangat. Akhirnya, setelah beberapa minggu dirawat di rumah sakit, dia diperbolehkan untuk pulang.
Ya, meski nantinya dia harus sering sering check up ke rumah sakit.
"Btw, dimana Leo? Kok Mama gak ngelihat dia seharian ini?" tanya Jessie sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Namun nihil, hanya ada Felix yang tertidur pulas di atas sofa rumah sakit.
Hasan menoleh saat mendengar pertanyaan Jessie. "Tadi Bang leo pamit ke Hasan. Dia bilang mau nyari udara seger di sekitar sini."
Jessie menghela napas pelan saat mendengar jawaban Hasan.
"Kenapa, Ma?" Hasan yang ngelihat perubahaan pada raut wajah Jessie, langsung bertanya.
"Nggak, San... Mama cuma khawatir sama Leo. Leo akhir akhir ini kebanyakan pikiran, makanya sering gak fokus. Mama takut dia kenapa napa."
Hasan hanya mengangguk, tanda paham. Memang, belakangan ini, dia sering ngelihat Leo ngelamun. Entah apa yang dipikirkan oleh si sulung itu.
"Gimana kalau kita piknik kemana gitu. Biar Bang Leo gak kebanyakan pikiran." Hasan tiba tiba bersuara, membuat Jessie menoleh ke arahnya.
"Jangan aneh aneh, San. Kamu masih dalam tahap pemulihan, belum boleh jalan jalan dulu," peringat Jessie, membuat Hasan cemberut.
Ngelihat perubahan raut wajah Hasan, Jessie hanya bisa menghela napas sekali lagi. Bukannya dia ngelarang Hasan, tapi memang dokter belum mau ambil resiko untuk hal itu.
"Dengerin ya, San... Mama bukannya gak sayang sama kamu, sampai sampai gak bolehin kamu jalan jalan. Bukan kayak gitu. Mama sayang sama kamu. Ini demi kebaikanmu juga."
Sang anak hanya mengangguk sambil menunduk, enggan menatap balik Jessie.
"Tapi... Kalau memang kamu mau banget, Mama bakalan minta izin ke dokter ya. Kali aja, kamu dibolehin."
Ucapan Jessie sukses membuat Hasan kembali ceria. Ya, setidaknya, Jessie udah berusaha untuk mewujudkan impian sang buah hati.
••••
Leo menatap bunga bunga di hadapannya dengan tatapan kosong. Matanya memang tertuju ke sana, namun sebenarnya, Leo gak tertarik sama sekali dengan objek di hadapannya.
Akhir akhir ini, dia sering uring uringan. Ya, apalagi kalau bukan soal rumah warisan dari sang ayah?
Sebenarnya, Jessie dan Hendra sama sekali gak nyuruh Leo buat pindah ke rumah itu. Tapi Leo rasa, kalau rumah itu gak ditempati, pasti bakalan rusak. Dan ia takut, kalau sang ayah bakalan sedih di atas sana kalau sampai rumah peninggalannya rusak.
Si sulung itu akhirnya duduk di kursi paling pojok di taman rumah sakit. Kenapa? Karena cuma wilayah ini doang yang gak terlalu ramai.
Baru duduk sekitar 2 menitan, ponselnya berbunyi. Membuat si sulung itu berdecak kesal.
Tapi dia gak bisa berbuat apa apa, selain menjawab panggilan tersebut.
"Ya, halo, Ma. Ada apa?" ucapnya sambil menyender di senderan kursi.
"Le, kamu di mana?"
"Di taman rumah sakit. Emangnya kenapa, Ma?"
"Oh, enggak. Ini kita semua lagi ngumpul di kamar Hasan, cuma kamu doang yang gak ada di sini."
Leo terdiam sejenak. "Papa juga ada?"
"Hm. Papa juga ada di sini. Dia baru nyampe berapa menit yang lalu."
"Oke, nanti Leo ke sana sebentar lagi."
Dan kemudian, panggilan pun diputus secara sepihak oleh Leo.
Leo langsung berlari masuk ke dalam gedung rumah sakit, menuju ke salah satu lift terdekat.
••••
Cklek
"Assalamu'alaik- What... Ini siapa?"
Leo berdiri kebingungan di ambang pintu ruang inap Hasan.
Ada sosok perempuan--yang mungkin seumuran dengan dirinya--sedang duduk lesehan di lantai sambil makan crackers.
Merasa ada sosok lain yang masuk ke dalam ruangan, gadis tersebut menoleh ke arah Leo dengan kening mengerut.
"Itu siapa, Pa?" tanya gadis itu sambil menunjuk Leo.
Leo sontak kaget. Lah, ini orang siapanya Hendra? Kok manggil Hendra dengan sebutan Papa?
Hendra yang lagi ngobrol sama Jessie, langsung menoleh. "Itu saudara kembarnya Felix, Le, namanya Calista."
Leo mangut mangut paham. Dia baru inget kalau Felix punya kembaran yang dulu tinggal di Australia.
"Hai, Calista. Lo kembarannya Felix? Pantes aja mirip," sapa Leo sambil duduk di samping gadis itu.
Calista terkekeh pelan. "Gak terlalu mirip juga sih. Felix masih lebih cantik dari gue." Calista berucap sambil mengalihkan atensinya ke Felix yang lagi makan buah pisang di sofa.
Felix langsung mendelik tajam ke kembarannya itu. "Enak aja. Gue tuh ganteng ya, bukan cantik."
"Udahlah, Fel, terima nasib aja. Lo emang terlalu cantik buat jadi cowok," sahut Hasan.
Felix jadi cemberut gara gara gak ada yang ngebelain dia.
"Dulu, sebenarnya dokter bilang, Felix sama Calista itu kembar. Dua duanya perempuan," jelas Hendra saat tahu anak anaknya bertengkar karena masalah sepele. "Katanya sih gitu. Tapi kenyataannya, yang lahir malah satu cowok satu cewek."
Muka Felix langsung sepet. Jadi Hendra secara halus, bilang kalau dia itu anak cewek yang gak jadi.
"Pantesan aja, mukanya cantik." Hasan berujar, membuat Felix jadi mendelik sekali lagi.
"Udah udah. Jangan ngejekin Felix. Kasihan dia, entar nangis."
Dan ya, hari itu, Felix ngambek sampai esok harinya. Dia diemin semua orang, bahkan kucing kucing Leo pun dia diemin.
(A/N):
Akhirnya aku up juga. Udah berapa hari book yang ini diterlantarkan?Btw, cuma mau ngasih tahu... Sebentar lagi, book ini bakalan tamat. Sebenarnya masih lama tamatnya, tapi berhubung banyak chapter yang gak berguna, jadi aku hapus sebagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Family [DanceRacha]✔
FanfictionDi dunia ini, gak ada yang namanya Perfect Family. Semua keluarga pasti punya kelebihan dan kekurangan. Tapi itu semua tidak berlaku pada keluarga yang satu ini. Sekeluarga tuh visualnya di atas rata rata, bakatnya juga gak kalah bagus sama anak an...