.bab lima.

341 46 0
                                    

PUPIL matanya mengecil di bawah sinar matahari sore. Ia menelengkan kepala ke kanan, sementara hidung pinknya mulai mengendus bau di kejauhan, bau maskulin itu sudah datang. Sebenarnya Mimi bingung. Di atas tembok Kevin sudah menunggu sambil duduk tegak. Sekarang dia malah menjilati kaki depannya dan mengusapkan tapak kakinya yang basah ke dahi.

Sebenarnya ketika langkah Kevin memasuki jarak dengar, telinga Mimi yang semula terkulai langsung menegak. Ia ingin menoleh ke atas tembok, tapi Ria terus menatapnya seakan mengobrol dengannya menggunakan bahasa kalbu. Ria berjongkok dan melipat tangan di atas lutut, lalu menyandarkan dagunya di situ. Entah sudah berapa semut yang lewat di bawah kaki Mimi, tapi bibir Ria tetap mengatup. Memang benar kata pujangga, "Terkadang mulut diam dan tatapan yang bicara." Itu memang sering terjadi dalam hubungan majikan dan peliharaannya ini.

Mata Ria yang bersudut lancip itu tampak sendu. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Ria aneh begini. Tepatnya setiap malam minggu, dia berjongkok di halaman belakang rumah, lebih mendekat ke tembok yang berbatasan langsung dengan pekarangan tetangga, dan memanggil Mimi dengan menuangkan ProPlan di mangkuk.

"Miaw," Mimi berusaha memberi tanda dengan menolehkan kepala mungilnya ke belakang. Kalungnya langsung bergemerencing. Kevin, kucing ras oriental dengan bulu hitam-putih, mendekus seraya menunggu di atas tembok. Tampaknya Ria mengerti isyarat Mimi. Dia langsung mendesah.

"Hh, bukan hanya Bobby dan Joey, tapi bahkan kucing gue kencan di akhir pekan. Semua makhluk kencan, kecuali gue. Keterlaluan," Ria langsung berdiri dan membalikkan badan.

Mimi menganggap itu sebagai izin. Kucing calico berkalung perak itu langsung berdiri dan memutar tubuhnya ke arah pagar. Ia melangkah dengan anggun dan melompat ke atas batang pohon mangga hingga tiba di atas tembok, lalu berjalan menyusuri tembok. Mimi tak begitu memedulikan Kevin, kucing tetangga yang sudah beberapa minggu ini PDKT.

Dengan kepala tegak dan pandangan lurus ke depan, Mimi berusaha tidak menoleh ke arah Kevin sedikit pun, biar nggak dikira kucing murahan. Ekornya mengayun pelan, dan ia terus melangkah menyusuri tembok, membiarkan Kevin mengekorinya.

Ria selonjor di kursi malasnya yang diletakkan di bawah pohon mangga. Meja bundar kecil di samping kursi tampak penuh tumpukan kertas, pulpen merah, dan segelas es jeruk. Lagi-lagi dia membawa pulang kerjaan.

Setelah menghabiskan lebih dari setengah hari bolak-balik di tempat tidur, mengabaikan ketukan dua keponakannya di pintu dan meminum obat pereda nyeri, Ria memutuskan pergi ke pekarangan belakang dan berselonjor di kursi santai di bawah payung besar. Matahari sore sedikit lebih adem karena sebentar lagi sudah nyaris terbenam.

Sebagai penganut kepercayaan "I hate Monday", ketika dia mengambil cuti Senin ini, seharusnya dia happy setengah mati. Tapi, ah iya... sayangnya, ada tugas yang harus dia tuntaskan demi kelangsungan hidupnya, yaitu ke dokter gigi.

Ia beranjak dari kursi santai, meraih ponsel yang dia tinggalkan di meja depan TV, lalu mencari catatan nomor-nomor penting di pintu kulkas. Ponsel itu pun langsung menempel ke daun telinganya.

Rumah besar itu sudah sepi. Jacqueline dan pasukannya pasti sudah berangkat ke dokter kandungan.

"Dokter Yenny Yahya sedang cuti, Mbak," resepsionis rumah sakit itu menjawab dengan santainya, sementara denyut di pelipis Ria semakin berulah mendengar jawaban itu.

"Sampai kapan?"

"Sampai minggu kedua bulan depan. Dokter Yenny sedang simposium di Singapura, sekalian menjenguk putranya yang berkuliah di sana. Jadi, untuk sementara digantikan oleh Dokter Edwin."

Botol minum air dingin di tangannya mulai terasa menggigit karena terlalu lama digenggamnya.

Ria memang ingat Dokter Yenny pernah bercerita soal putra kembarnya yang, saat terakhir kali Ria ke dokter gigi, katanya sudah mau lulus SMA. Itu salah satu yang membuat Ria tenang setiap kali menemui Dokter Yenny, karena wanita paruh baya itu selalu mengajaknya mengobrol dan bercerita tentang banyak hal, berusaha mengalihkan kepanikan Ria sementara dia mengutak-atik giginya.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang