.bab dua puluh lima.

565 43 4
                                    

CANGKIR teh berdenting di tatakan putih klasik, ditemani tiga tingkat makanan camilan, yang terdiri atas macaroon, cake cokelat leleh berlapis, ditambah sandwich croissant memenuhi meja bertaplak putih itu. Liur Ria langsung menggenangi rongga mulut begitu semua tersaji.

Proses memilih teh juga tak bisa dibilang berlangsung mudah. Mungkin karena dia sendiri tidak berbakat menikmati waktu di restoran elegan dan berkelas macam TWG, jadi setiap kali Saturdate ke sana bersama Joey, Ria hanya kepingin mencicipi semua jenis teh yang mereka punya, tanpa benar-benar paham etika apa pun. Ria bahkan punya catatan di ponselnya, teh apa saja yang sudah pernah dia cicipi, jadi dia bisa memilih yang lain di kali berikutnya. Kadang Ria pun hanya pakai blus polos dan celana jins, sementara Joey datang dengan pakaian bermerek, sepatu mahal---padahal di mata Ria bajunya ya kelihatan sama aja kayak baju pada umumnya, orang-orang juga belum tentu tahu harganya---dan cara duduknya sangat berkelas. Kecuali kalau lagi mengoceh panjang kali lebar kali luas mengomentari kehidupan cinta Ria atau pakaian Ria, seringnya Joey lupa cara duduk elegannya.

Ria selalu membagi si macaroon itu jadi dua, jadi mereka masing-masing bisa mencicipi setiap rasa. Tapi kelakuan itu juga yang bikin Joey malu. Apalagi saat Ria mencomot macaroon-nya pakai tangan, pasti Joey langsung menepuk tangannya.

"Jorok amat sih jadi cewek, Neng."

"Idih, mau makan repot banget sih, Jooo. Ya udah sih, gue juga nggak bakalan diusir cuma gara-gara nyomot pake tangan, atau makan sandwich croissant nggak pake pisau sama garpu. Lebih enak langsung pegang pake tangan, terus gigit, kayak di McD."

Lalu Joey langsung menyorotkan sorot tajamnya dengan mata menyipit.

Dia mendesis. "Tiap ke sini diajarin yang bener, tetep aja nggak mau belajar nih bocah," Joey ngedumel. "Minggu depan nggak usah ke sini deh, gue maluuuu. Maluuu..."

"Lo biasanya juga nggak selebay ini ngeliat gue. Ini cuma gara-gara ada pramusaji baru yang ganteng itu, kan? Dari tadi lo tuh nggak konsen dengerin curhatan gue, malah ngelirik-lirik ke sana terus. Hih!" gantian Ria yang ngedumel.

"Gue dengerin koook. Tapi gue bosen, Ria. Udah hampir sebulan lo belum move on juga dari tuh dokter. Gue kurang ngehibur lo kayak apa coba. Gue dateng ke rumah lo tengah malem buat ngehibur lo pas tuh dokter pergi. Gue kerahkan seluruh sentuhan fisik sebatas yang mampu gue berikan ke lo, karena gue baca di Google bahwa menghibur orang itu kadang nggak cukup cuma pakai kata-kata, tapi butuh sentuhan fisik juga. Gue beliin lo baju baru, dress baru, sepatu baru, tapi kagak ada yang lo pake juga... Lagian ya, Neng, ya, gigi lo lebih cepet sembuh sama dokter penggantinya daripada sama si dokter cintahhh."

"Bukan dokter pengganti," Ria mengoreksi. "Emang yang ini aslinya dokter gue, Jo. Dokter langganan gue dari zaman dulu masih ada bokap. Si Edwin kemarin malah penggantinya dokter gue. Nah sekarang karena si Edwin cuti, sekarang gantian pasiennya si Edwin ke dokter gue semua."

"Terseraaah," sahutnya kesal. "Lagian lo tuh dari dulu sukanya nyari yang nggak ada. Ada Bobby depan mata, yang jelas-jelas cintanya tulus buat lo, malah nyarinya Dokter Edwin yang jelas-jelas cintanya sama cewek lain. Nggak heran deh lo masih single sampe sekarang." Saking emosinya, Bobby mencomot macaroon matcha dengan jemarinya, lalu mengunyah-ngunyah tanpa sadar dengan apa yang baru dilakukannya.

Ria menganga. "Lo bilang apa tadi?"

"Nggak heran lo masih single sampe sekarang."

"Bukan. Sebelumnya."

"Dokter Edwin cintanya sama cewek lain?"

"Sebelumnya lagi."

Joey terdiam kaku. Tangannya melayang pelan ke bibirnya sendiri. "Eh..."

"Bobby cinta sama gue?"

Tangan Joey melayang ke dahinya sendiri, menepuk-nepuk dahinya berkali-kali sambil mencaci diri sendiri. Dia keceplosan. Padahal Bobby sudah memintanya merahasiakan itu dari Ria. Dan sebagai uang tutup mulut Joey, Bobby mentraktirnya makan beberapa kali.

Tapi Ria malah tertawa. "Lo dari mana bisa ngambil kesimpulan kayak gitu? Bobby tuh pacarnya banyak. Gue sama dia tuh sama kayak gue sama lo. Platonik. Cuma bedanya lo sahabat gue di luar kantor, kalo dia di area kantor. Ada-ada aja lo." Dia menuang teh bunga jasmine dari poci beningnya ke cangkirnya yang ringan dan terlihat tipis.

"Kalo gue bukan platonik, Neng. Emang gue nggak napsu aja sama lo." Joey melepas kacamatanya, mengambil lap kacamata dari tasnya, lalu membersihkannya sambil terus mengoceh. "Tapi soal Bobby... Coba deh lo pikirin dulu. Cowok ganteng begitu, mapan, jago ngerayu dan ngambil hati orang lain, setia banget jadi sopir pribadi lo... Kurang apaaa? Masa sih lo nggak ada rasa buat dia, sedikiiittt aja? Dari sedikit, lama-lama jadi bukit loh, Neng."

"Lo pikir perasaan sama kayak tabungan, pake suku bunga? Udah ah, kenapa jadi bahas Bobby sih."

"Nah tuh, anaknya dateng, Neng. Panjang umur kan dia---kurang apa lagi cobaaa." Joey memasang kacamatanya, lalu mengedikkan kepala ke arah pintu masuk restoran. "Mampus deh gue," gumamnya, lebih kepada diri sendiri.

Ria melihat sosok jangkung Bobby yang pakai topi bisbol warna hitam melompat-lompat sambil melambai-lambaikan tangan dari sisi luar pintu restoran, kemudian menyerbu masuk, dan langsung ke meja Ria, duduk di bangku kosong di samping Ria.

Tiga jam lalu, Bobby memang sempat mengirim WhatsApp pada Ria. Katanya dia bosan, sedang malas kencan, dan menanyakan apa rencana Ria hari ini. Ria menyuruh Bobby membersihkan apartemennya sambil nge-laundry pakaian daripada nganggur karena Ria hari ini ada janji dengan Joey. Dan sekarang Bobby muncul di sini...

"Hai, Boobbb," Joey menyap, malas.

Bobby hanya menanggapi Joey dengan mengedipkan sebelah mata dengan genit. "Ikutan dong, ngeteh-ngeteh cantiknya," katanya pada Ria, lalu mencomot potongan macaroon matcha terakhir yang seharusnya jatah Ria. Posisi duduknya dicondongkan ke arah Ria dan tangannya bersandar santai di sandaran bangku Ria.

"Lo sebulanan ini kayaknya ngejomblo banget? Nggak biasanya," komentar Ria, sebal karena belakangan ini setiap akhir pekan Bobby pasti mengganggunya. Seolah cowok itu kurang puas mengganggu Ria selama lima hari kerja di kantor.

"Playboy juga butuh libur," jawabnya santai. "Habis ini lo mau ke mana lagi? Gue anterin ya."

Joey tertawa kaku, "Hehe, gue nggak ikutan ya. Gue ada janji sama kecengan baru di tempat gym. Kalian aja berdua deh, kencan tuh sana."

"Yah, kok tiba-tiba gitu, Jo? Kan habis ini kita biasanya ke toko buku, terus makan si sayap ayam di food court. Lo bosen beneran ya gue curhatin mulu? Janji deh, gue nggak ngebahas itu lagiii."

Joey dan Bobby saling pandang. Tatapan mereka seperti penuh kode. Joey melirik Ria sesaat, lalu melirik Bobby lagi, kemudian dia tersenyum.

"Tidak hari ini, Sayang. Karena kalian berdua," telunjuknya mengarah bergantian ke Ria dan Bobby, "punya hal yang harus kalian bicarakan. Ria, Bobby udah lama nggak punya pacar lagi karena dia cinta sungguhan sama lo. Bobby, Ria masih belom bisa move on dari si dokter. Nah, silakan. Cats out of the bag. Diskusi deh kalian. Gue cabut dulu ya. Daaahhh!" Tiba-tiba Joey meraih tasnya dan beranjak berdiri, lalu melesat pergi meninggalkan Ria dan Bobby di meja.

Drop the bomb, then leave it like a pro. Sambil melangkah kabur, Joey tahu besok atau lusa atau minggu depan dia bakal diburu seperti rusa diincar harimau oleh kedua temannya itu.

*

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang