ADUH, entah ada apa, tapi jantung Ria tiba-tiba bertingkah. Debarannya begitu cepat, seperti bocah kecil gelisah karena harus menyanyi di depan panggung. Dan ada gelenyar aneh yang menjalar di sepanjang lengannya, rasanya seperti denyut yang menggelikan.
Ria sampai harus menepuk-nepukkan telapak tangannya ke dada beberapa kali dan menghirup napas banyak-banyak untuk menenangkannya.
Dokter Edwin sedang menghilang ke toilet. Wajah pria itu juga tak kalah bingung dibanding Ria, tapi tetap begitu tampan. Terlalu tampan sampai rasanya tidak pantas untuk Ria dekati. Tapi, kenapa kehidupan terus mempertemukan mereka seperti ini, Ria sendiri tidak tahu.
Rentetan kejadian ini rasanya begitu tidak masuk akal. Kalau Ria jadi Dokter Edwin, dia pasti sudah berpikir Ria sengaja merencanakan ini semua. Bahwa Ria semacam cewek putus asa yang terus menguntitnya dan sengaja membuat kejadian serba-kebetulan ini untuk memikat pria itu. Walaupun Ria sudah mengatakan dengan persis apa yang dikatakan kakak iparnya padanya tentang pertemuan malam ini, dan Dokter Edwin sendiri juga sudah mengatakan bahwa ibunya dengan sembarangan dan tanpa seizinnya yang mengatur pertemuan malam ini, tapi cara pria itu menatap Ria masih penuh curiga. Astaga, kalau Ria adalah cowok setampan Dokter Edwin, mungkin dia akan separanoid itu pada cewek seperti Ria.
Oh, astaga. Apa yang harus dia lakukan?
Apa yang biasanya dilakukan para tokoh cewek di novel-novel yang biasa Ria baca? Novel mana yang harus dia jadikan referensi? Harlequin, kah? MetroPop, kah? Atau novel-novel Sastra?
Kepalanya seolah tak bisa berpikir. Bukankah seharusnya setiap manusia dianugreahi kemampuan bawah sadar untuk berinteraksi dengan lawan jenis? Semacam insting. Tapi mungkin saking sudah lamanya tidak diasah, kemampuan Ria menumpul.
Entah sudah berapa kali Ria mencoba menenangkan debaran di dadanya dan menarik napas dalam-dalam, Dokter Edwin belum juga kembali. Ria mulai celingukan ke arah pintu toilet di belakangnya.
Pintu masuk restoran cepat saji kemudian membuka.
Sosok yang tidak asing lagi wajahnya menyelinap masuk.
Leher panjang Bobby terjulur, mencoba melihat ke sudut-sudut terjauh restoran. Mencari-cari. Dan begitu matanya menemukan Ria, bola matanya melesat ke bangku kosong di depan gadis itu. Kelopak matanya melebar, penuh tanya.
Dia pasti mengira Ria ditinggal kabur pasangan kencannya lagi.
Ria hanya mengangkat tangan lesu sambil menarik sudut-sudut bibirnya lebar-lebar.
Bobby memberi isyarat dengan tangannya, menunjuk ke dirinya sendiri lalu menunjuk bangku di depan Ria. Ria langsung menggeleng dan bibirnya komat-kamit. "Jangan. Nanti. Oke?"
Untungnya Bobby pandai membaca gerak bibir. Pria itu mengangkat bahu lalu mengantre ke depan konter, mengabaikan Ria.
"Teman?" Suara Dokter Edwin terdengar sangat dekat di samping Ria.
Ria mengerjap-ngerjap. "I-iya, teman kantor." Jawaban jujur apa adanya, walau tidak perlu lengkap-lengkap.
Dokter Edwin duduk bersandar di bangkunya. Masih mengabaikan makanan di meja. Dia menatap Ria penuh penilaian.
"Maria, dengar, saya nggak mau kamu terlalu banyak berharap dari pertemuan kita malam ini. Atau pertemuan-pertemuan sebelumnya." Dokter Edwin memutar bola matanya dengan malas. "Hubungan kita sebatas dokter dan pasien saja. Saya akan bilang ke Boni, seperti yang sering saya sampaikan tentang gadis-gadis lain yang dijodohkan oleh ibu saya ke saya, bahwa kita tidak cocok. Oke? Mungkin kamu bisa mencari alasan sendiri untuk kamu sampaikan ke Boni."
Logis. Profesional. Tegas. Rupanya Dokter Edwin bukan tipe romantis yang bisa dengan mudah tersentuh. Atau mungkin dia gay, seperti tebakan Bobby. Duh, biasanya gaydar Joey akurat nih. Ria harus mengajak Joey bertemu Edwin untuk memastikan.
Sementara isi kepala Ria sudah melanglang buana ke negeri dongeng. Memikirkan segala macam arti pertanda dari pertemuan mereka yang serba-kebetulan. Memikirkan bahwa untuk kali ini, setidaknya dia boleh berharap lebih dari kencan buta yang dijalaninya. Bahwa ini tidak akan menjadi satu pertemuan hambar yang tidak akan mengarah ke mana-mana.
Ria mengangguk dan menarik sudut-sudut bibirnya, tersenyum.
"Kalau boleh saya tahu, sebenarnya apakah ada alasan khusus untuk itu, Dok? Saya nggak tahu gadis-gadis lain yang dikenalkan ke Dokter Edwin seperti apa, tapi saya hanya menanyakan spesifik tentang saya. Karena, kita bahkan belum mengobrol banyak, belum berkenalan lebih jauh, tapi seolah Dokter Edwin nggak mau membuka kesempatan sama sekali. Saya minta maaf karena harus datang dengan penampilan seperti tadi. Ceritanya panjang." Ria menyengir. "Intinya saya minta maaf. Saya nggak punya maksud jahat."
Pria itu mencondongkan badannya ke depan. Menatap lurus-lurus ke mata Ria dalam keheningan yang cukup lama. Kedua sikunya bertumpu di meja persegi kecil di antara mereka. "Tidak ada alasan khusus," katanya, begitu saja. "Saya permisi dulu, Maria." Dan dia beranjak dari bangkunya, lalu berbalik pergi.
Rupanya Ria sebegitu tidak menariknya. Pria itu bahkan tak mau membuang tenaga dengan mengajukan pertanyaan basa-basi untuk mengenal Ria. Tarikan napasnya terasa berat di dada. Tentu saja, mana mungkin pria setampan Edwin tertarik pada gadis seperti Ria.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
S1ngle
RomanceKata orang, bersih itu sebagian dari iman. Nah, kalau kata dokter gigi, kebersihan karang gigi itu sebagian dari kerja keras menyikat gigi. Tapi, sejak kecil, serajin apa pun Ria menyikat gigi, dia tetap saja harus merawatkan giginya ke dokter gigi...