.bab enam belas.

249 42 2
                                        

OH astaga. Gadis macam apa dia? Edwin tak habis pikir. Gadis itu mencari jodoh lewat kakak iparnya, padahal dia jelas-jelas punya pacar. Bahkan dia datang ke tempat pertemuan mereka ditemani cowok itu, cowok yang sama yang Edwin lihat malam itu di depan minimarket dan Edwin lihat lagi di rumah sakit beberapa jam lalu sedang mendekapnya... memanggilnya "Sayang"?

Apakah hubungan mereka semacam open relationship seperti tipe hubungan zaman sekarang yang sering Edwin dengar? Dia bergidik.

Untung Edwin tidak meneruskan "perkenalan" itu ke arah yang berbeda. Rupanya ada malaikat pelindung yang menjaga Edwin dari gadis-gadis semacam itu. Sama seperti ketika Edwin tak sengaja melihat cewek yang akan dikenalkan mamanya, putri dari teman sang mama, yang bermesraan dulu dengan seorang pria di parkiran mobil, beberapa menit sebelum pergi menemui Edwin di restoran. Mungkin Ria sama seperti wanita itu, dan juga pantut disiram kopi ke wajahnya.

Ini pasti gara-gara mamanya selalu menggembar-gemborkan kesuksesan Edwin. Semua orang jelas berpikir uang Edwin pasti banyak. Sudah dokter, punya bisnis Factory Outlet, dan sudah punya apartemen sendiri, bahkan bisa membelikan rumah tinggal untuk sang mama.

Tapi.. Astaga, kenapa mamanya tidak memiliki penilaian yang bijaksana untuk gadis-gadis yang dikenalkan ke putranya? Ketika Edwin sempat mengira akhirnya sang mama bisa memilih gadis normal dan bisa diterima akal sehat, pada akhirnya penyamaran gadis itu terbongkar juga oleh Edwin.

Edwin masih duduk di ruang tunggu, meski Irene sudah kembali ke kamar rawat Adrian, dan pacar Ria juga sudah beranjak pergi. Dia butuh meluruskan pikirannya. Benaknya berhenti terfokus pada kata-kata Irene di sisinya ketika dia melihat Ria duduk di bangku itu dalam pelukan pria itu.

Dia hanya menangkap inti kata-kata Irene bahwa dia akan membawa Adrian pergi. Second opinion di Singapura, seperti yang selama ini dia pikir seharusnya dia lakukan sejak lama. Lalu, membawa Adrian berjalan-jalan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan penuh harap dan bahagia. Itu artinya Irene akan pergi untuk waktu yang lama. Tidak akan ada lagi pertemuan tak direncana dengan Irene di area rumah sakit. Yang ada hanyalah janji temu dengan Ria---sebagai pasiennya, tentu saja.

Minggu depan. Janji temunya di hari Kamis.

Beberapa hari lagi Ria akan datang ke ruang prakteknya. Sebagai pasien.

Edwin harus meluruskan pikirannya segera. Dia tidak seharusnya merasa terusik sebesar ini dengan tingkah gadis yang tidak dikenalnya sama sekali. Gadis yang saat ini melangkah sendirian melewati ruang tunggu dan menuju fending machine di dekat meja perawat yang saat ini kosong.

Dia sudah melihat Edwin sejak tadi, tapi bersikap seolah mereka tidak baru saja berkenalan lewat kencan buta. Gadis itu tersenyum menjaga jarak dan menyapanya begitu sudah lebih dekat. "Malam, Dok."

Profesional. Sebatas dokter dan pasien. Tepat seperti yang Edwin minta.

Edwin jelas tidak siap dengan sikap Ria itu.

Gadis itu berbelok menuju fending machine, memunggungi Edwin. Dia mengambil selembar uang dari saku celananya, mencoba memasukkannya ke lubang uang.

Tapi uang yang dia masukkan dikeluarkan lagi oleh mesin penjual minuman itu. Dia mencobanya lagi, dan mendapatkan respons yang sama.

Edwin beranjak dari bangkunya.

Ruangan itu benar-benar sepi. Hanya ada satpam yang berjaga dengan mengantuk di dekat pintu UGD. Edwin mengeluarkan dompet dari sakunya, dan mengambil selembar uang.

"Mesin ini kadang terlalu sensitif. Nggak bisa terima uang lecek," katanya, berhenti di belakang Ria dan mengulurkan uangnya yang masih rapi ke dalam lubang uang.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang