.bab dua puluh dua.

222 37 2
                                    

"LO kebanyakan mikir." Bobby melempar tutup bolpoin merah yang diambilnya dari meja Ria, ke arah Ria, mengenai belakang kepala Ria, dan nyangkut ke rambutnya.

Ria memutar kursinya dan melirik galak ke arah Bobby sambil menggapai si tutup bolpoin dari rambutnya.

Tumpukan buku terbit berjajar rapi dari sudut ke sudut meja Ria, sementara tumpukan naskah yang mengantre untuk proofread berada di sisi kiri meja, dilabeli sesuai tanggal deadline.

Sesi makan siang, ketika ruang redaksi mulai sepi, selalu dimanfaatkan Ria dan Bobby untuk curhat berdua. Kadang Bobby cerita soal gebetan barunya, atau episode putus terakhirnya, dan seringnya Ria berkonsultasi soal cinta dengan pakarnya.

"Gue juga maunya nggak kebanyakan mikir, Bob." Suara Ria begitu lesu.

"Sesekali lo harus melakukan sesuatu hanya karena hal itu yang ada di depan mata lo. Nggak usah mikirin besok akan gimana. Just do it." Bobby menggeser bangkunya mendekat ke Ria, begitu dekat sampai lengannya bisa bersandar di sandaran kursi Ria. "Kita kencan nanti malam, gimana?"

Ria menjauhkan tubuhnya sedikit. "Apa hubungannya impulsif sama---?"

"Tuh kan, mikir lagi. Nggak usah mikir. Kencan aja sama gue. Apa ruginya? Lo tuh kebanyakan ngedit. Kadang dalam kehidupan nyata, narasi dan latar belakang cerita itu bukan yang utama. Yang penting adalah plotnya. Dialog sama action." Kedua alis Bobby bergerak-gerak naik-turun penuh semangat.

Ria mengernyit, berpikir---eh iya, mikir lagi.

"O-kay?" sahutnya, masih bingung.

Bobby menjauhkan kursinya sedikit dan menatap lurus-lurus ke mata Ria dengan yakin. "Gini deh, gue akan menggantikan lo berpikir sejenak. Gue akan mengajari lo soal cinta, yang tampaknya belum lo kuasai sampai di usia sematang ini. Ini efek lo menjomblo hampir sepuluh tahun. Lo harus mencicipi apa rasanya mengambil tindakan tanpa banyak pertimbangan yang terlalu jauh. Dengan kata lain, rileks. Gue yang bayarin lo makan malam, jadi lo nggak keluar duit. Lo akan dapat ilmunya dari gue. Dan terutama, gue bukan cowok asing dan sembarangan yang bakal menjerumuskan lo. Kita udah saling kenal lebih dari lima tahun, betul?" Ria mengangguk. "Jadi, apa ruginya lo kencan sama gue?"

Nggak ada, eh, belum ada, gumam Ria dalam hati.

"Tapi---"

Telunjuk kanan Bobby terangkat dengan mantap ke depan muka Ria. "Nggak ada tapi-tapi."

"Tapi, Bob..."

"Eittt..."

"Bob..." selanya lagi.

"Ria...." tegur Bobby, lagi.

"Bobby, gue ada appointment ke dokter gigi nanti malam, sama harus jemput Jacqueline pulang sore ini."

Ekspresi wajah Bobby berubah muram. "Appointment jam berapa?"

"Jam... lima sore."

"Gue anterin, gue tungguin, habis itu kita kencan," ujarnya dengan cepat. Ria baru mau membuka mulut lagi, tapi Bobby langsung menimpali. "Iya, gue ikut jemput Jacqueline juga. Nanti pakai mobil gue aja." Ria mau buka mulut lagi. "Nggak, kakak lo nggak ikut kita kencan. Nanti gue anterin ke rumah, kan deket."

Ria menyeringai. "Lo... bayarin biaya rumah sakitnya juga nggak?" Cengirannya membuat deretan giginya yang rapi tampak.

Bobby langsung menggeser kursinya kembali ke meja sambil mengomel. "Lo kadang kalo nanya nggak pake mikir yah..."

"Lah, kan lo yang nyuruh gue jangan kebanyakan mikirrrr," seru Ria, setengah mengotot.

"Ya nggak lah! Yang bikin kakak lo hamil kan suaminya, masa gue yang bayar biaya rumah sakitnya? Gue kan cuma ngajak kencan adeknya."

"Oke." Ria mengangkat bahu, tak acuh. "Gue sih udah izin sama Erika tadi. Alasan gue untuk izin pulang cepat, jelas. Lo pikir sendiri alasan lo ya. Awas kalo gue yang kena semprot!"

Bobby langsung memutar otak harus cari alasan apa.

Tapi bukan Bobby namanya kalau nggak berhasil mengarang alasan. Akting sakit giginya patut diacungi jempol. Bahkan dia bisa pura-pura terlihat bengkak sampai air liurnya agak bocor. Jelas saja Erika dalam sekejap menyuruhnya menghilang dari kantor dan segera ke dokter.

Ria cuma geleng-geleng kepala sewaktu masuk ke mobil Bobby. "Yang dosa lo sendiri ya, jangan ngajak-ngajak gue," Ria menegaskan, tapi tak mendapat respons apa-apa dari cowok itu.

Bobby tetap membisu dan tersenyum dingin, sambil melajukan mobil keluar dari parkiran kantor. Jam tangan digitalnya seperti mendapat sinar surgawi ketika cahaya matahari menyorot langsung tangannya yang berbulu lebat di setir. Sudah lewat jam setengah 4 sore.

Posisi duduk Bobby begitu tegak dan cara dia meluruskan satu lengannya memegang setir seolah sengaja ingin memamerkan otot-otot bisepsnya. Bahkan sebelum mulai melajukan mobilnya tadi, Bobby cukup lama menatap pantulan dirinya sendiri di kaca spion. Memiring-miringkan wajahnya, menyentuh bayangan tipis bakal janggutnya yang mulai lebih gelap daripada biasanya, dan terakhir menyentuh rambutnya yang cepak seolah ingin merapikan.

Mendadak mengingatkan Ria pada kelakukan Joey.

Entah kenapa kali ini, begitu Ria memasuki mobil Bobby ada aroma berbeda yang menusuk hidungnya. Ria yakin itu parfum, bukan pewangi mobil. Tapi, nggak biasa-biasanya si tengil nyemprot parfum sebanyak ini ke badannya sendiri, bahkan buat kencan Jumat malamnya. Bukan wangi yang bikin mual, justru lembut, tapi tetap saja sedikit terlalu banyak.

Di perempatan pertama, saat mobil berhenti, Bobby menyalakan CD player. Suara merdu yang terdengar adalah penyanyi kecintaan Ria. Dan aransemen lagu sederhana yang mengalun tapi ceria langsung membuat Ria tersenyum. Hatinya seperti disiram air dingin yang menenangkan.

Bobby hanya melirik Ria ketika refrain mengalun dengan mantap, "Tell the world that we finally got it all right. I choose you... I will become yours and you will become mine..." Ria ikut menyenandungkan lagu itu sambil menggerak-gerakkan bahunya dan menggunakan jemarinya untuk menunjuk-nunjuk ke jalanan seolah ada sosok tak kasatmata di hadapannya yang sedang diajaknya bicara.

Perfect, gumam Bobby senang, dalam hatinya.

*

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang