.bab tujuh.

268 40 0
                                    

EDWIN tak habis pikir, gadis itu lagi!

Jangan-jangan dia stalker, selalu menguntit Edwin ke mana pun dia pergi dan menciptakan kecelakaan-kecelakaan kecil, sengaja ingin menarik perhatian Edwin?

Astaga, mengerikan sekali, ia bergidik.

Ia sudah cukup pusing harus menghadapi para wanita yang dipilihkan ibunya, ditambah lagi ibu-ibu muda yang datang ke ruang prakteknya dan memintanya memeriksa gigi mereka, lalu mencuri-curi kesempatan menyentuh tangannya atau memelototi wajahnya dari dekat. Ia sampai harus berdoa keras-keras dalam hati supaya tetap bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kalau sentuhan ibu-ibu itu sampai di luar batas, bisa-bisa dia salah mengebor gigi, nanti dikira malpraktek.

Semua orang bicara soal lesung pipitnya. Terkadang ia menyesali kenapa papanya mewariskan lesung pipit ini padanya. Tapi kalau menurut pengakuan papanya, dia tidak pernah mengalami dikejar-kejar wanita seperti yang Edwin alami, katanya itu gara-gara hobi papanya menumbuhkan kumis. Tapi Edwin jelas tak tahan membayangkan dirinya berkumis. Benar-benar tidak cocok.

Siksaan lesung pipit itu bahkan membuat Edwin tak sabar ingin buru-buru meninggalkan rumah sakit karena takut salah satu pasien wanitanya akan melakukan hal segila gadis barusan: sengaja menabrakkan diri pada Edwin supaya bisa mengajaknya mengobrol.

Tapi gadis itu tadi, lagi-lagi hanya bisa bilang "maaf". Padahal, kalau dia memang berniat mendapatkan perhatian, Edwin jelas-jelas sudah memelototinya. Kurang perhatian apa lagi? Tapi kenapa gadis itu cuma bisa bilang maaf, lalu pergi?

Dan pacarnya itu, apa-apaan dia? Menggendong sampai rumah? Mana ada cowok waras yang mau melakukan itu?

"Ed!"

Lamunannya teralih ke meja bundar di bawah payung hijau minimarket. Seorang wanita umur tiga puluhan dengan rambut dikucir ekor kuda, duduk di sana sambil melingkarkan jemari di gelas kertas kopi yang tampak mengepul. Kantung matanya menunjukkan betapa tubuh wanita itu butuh istirahat.

Tatapan galak Edwin langsung melunak begitu terarah padanya. Sosok wanita itu selalu terlihat rapuh, dan membuat Edwin seakan ingin terus berdiri di belakangnya, bersiap kalau-kalau dia tiba-tiba ambruk.

"Irene, hai. Udah makan malam?"

Mata wanita itu tersenyum, melirik ke arah cup mi instan di samping gelas kopinya. "Kamu tumben baru kelar praktek jam segini?"

Edwin tersenyum malu, "Iya, pasien-pasienku hari ini lebih bawel daripada biasanya. Kamu... nginap lagi malam ini, Ren?"

Wanita itu mengangkat gelas kertas itu ke bibirnya, menyeruput kopi instan yang bisa dia temukan begitu masuk ke minimarket tadi, dan mengangguk pelan. "Adrian harus kemoterapi lanjutan besok pagi." Tatapan gadis itu turun ke meja bulat dan dia mencoba memaksakan senyum.

Edwin menyandarkan punggungnya di kursi bulat itu, tak sedetik pun mengalihkan tatapan dari Irene, memperhatikan bagaimana bahu wanita itu perlahan turun dan nyaris kalah. Atasan sabrina putih yang dikenakan Irene membuat tulang selangkanya terlihat jelas, dan Edwin menyadari wanita itu semakin kurus setiap harinya.

Irene melamun, masih mengarahkan pandangan ke meja. Tanpa sadar, dia memutar-mutar cincin perak dengan berlian mungil yang melingkari jari manisnya. Baru empat bulan sejak Irene mengabari Edwin tentang vonis dokter pada Adrian, suaminya. Tapi, waktu yang singkat itu sudah berhasil membuat wajah Irene menua lebih cepat.

Edwin tahu betul selelah apa ketika orang yang kita sayangi harus bolak-balik masuk ke rumah sakit. Penyakit itu tak hanya menjadi beban bagi si pasien, tetapi juga menggerogoti jiwa orang-orang yang menyayangi mereka. Sulit, ketika harus berusaha tetap tersenyum dan bersikap tenang, sementara hasil pemeriksaan dokter mengatakan yang sebaliknya. Sulit untuk membuat diri tetap terlihat kokoh, ketika harus menyemangati pasien dan berkata bahwa keajaiban itu nyata.

Ia menghabiskan lima tahun yang panjang mengurus ayahnya gara-gara penyakit jantung. Bolak-balik sesak napas lalu ke UGD, operasi pemasangan ring yang pertama dan kedua, check up setiap bulan, yang terkadang ketika dokter menemukan penyumbatan baru, ayahnya harus kembali dirawat di rumah sakit. Sampai akhirnya, ayahnya lelah berjuang dan memutuskan untuk menyerah satu hari setelah Edwin diakui sebagai dokter gigi.

"Mungkin aku akan bawa Adrian ke Singapura, Ed. Dokter bilang, kemoterapi yang dia jalani sebenarnya hanya untuk memperpanjang usianya. Sudah tidak ada lagi pengaruhnya. Aku dengar, ada dokter di Singapura yang pernah berhasil menangani pasien dengan vonis kanker usus separah Adrian."

Edwin masih mendengarkan dan memperhatikan bagaimana bulu mata Irene yang panjang itu terangkat dan wanita itu menatap ke arahnya. Ia tersenyum, menarik sudut-sudut bibirnya tinggi-tinggi, memberi semangat. Edwin pernah memberitahu Irene omongan salah satu pasiennya yang mengatakan bahwa lesung pipi Dokter Edwin selalu berhasil mengobati sakit gigi mereka. Semoga lesung pipi yang dia tampikan kali ini cukup dalam dan jelas untuk menghibur Irene.

Dua jari telunjuknya ia arahkan ke pipi dan ia tekan dalam-dalam di lesung pipinya.

"Gimana? Lesung pipiku sudah cukup menghibur?"

Setidaknya, rona di wajah Irene perlahan muncul. Wanita itu melemparkan tutup cup mi instan ke arah Edwin, menunduk malu sambil tertawa. "Kamu tuh, nggak pantes ngegombal begitu."

Pertemuan pertamanya dengan Irene di klinik gigi tak jauh dari rumah wanita itu. Wanita itu datang dengan pipi bengkak dan mata kanannya sulit membuka lebar karena menahan sakit. Tapi bahkan saat kesakitan, kulit wajahnya merona dan membuat Edwin gugup. Belum, saat itu Irene belum menikah, tapi memang sedang menyiapkan pernikahannya. Pernikahan impian wanita itu. Hanya gigi gerahamnya yang menjadi masalah, posisi tumbuhnya miring dan mulai menabrak gigi di sebelahnya. Selain itu, Irene terlihat seperti wanita yang sempurna.

Bercahaya, tetapi juga rapuh, membuat pria mana pun yang melihatnya ingin bersiap melindungi.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang