.bab enam.

335 43 1
                                    

MULUTNYA terkatup rapat-rapat sejak ia meninggalkan ruang dokter. Ria terduduk lesu dan membanting tas tangan ke karpet berbulu yang menjadi alas ranjang. Sempat membuat Mimi, yang sedang bergelung di kasur bulatnya di sudut kamar Ria, terlonjak dan mengeong protes. Kata-kata Dokter Edwin sebelum ia pergi tadi masih terngiang jelas. Berjalan kaki pulang ternyata tidak berhasil membungkam benaknya yang terus saja memaki.

Kebersihan itu memang ternyata sebagian dari iman. Kalau iman goyah, melihat karang gigi yang tidak bersih pun rasanya pengin mengamuk. Ria sudah berusaha berkumur lama-lama sebelum membuka mulutnya untuk Dokter Edwin tadi, tapi tetap saja hasil diagnosisnya mengecewakan.

Polip gigi geraham, itu artinya ada daging atau gusi yang tumbuh ke dalam lubang di gigi geraham Ria. Delapan puluh persen Dokter Edwin yakin itulah penyebab sakit kepala Ria, terutama ketika kelelahan, ia jadi panas dalam dan membuat gusinya bengkak. Dokter Edwin sudah mencoba merawat lubang di gerahamnya tadi. Tapi, kalau ternyata tidak bisa disembuhkan, Ria harus mengonsultasikan giginya pada seorang spesialis yang bakal mengobati polipnya dan merogoh kocek per paket sampai dua juta rupiah. Atau opsi berikutnya adalah gigi gerahamnya harus dicabut.

Ia tidak mengira harus menjalani minggu-minggu penuh mimpi buruk gara-gara gigi lagi. Padahal semula ia hanya berencana untuk berkonsultasi pada dokter gigi, tidak berharap giginya akan langsung diubrak-abrik.

Beberapa kali Dokter Edwin mengganti mata bornya untuk membersihkan karang gigi dan menambal sementara lubang-lubangnya. Denging bor itu membuat Ria hanya berani memejamkan mata dan berdoa dalam hati. Wajah tampan sang dokter yang berada tepat di depan mata tampaknya tidak berhasil menenangkan ketakutan Ria. Minggu depan ia harus kembali lagi untuk perawatan lanjutan.

Perawatan lanjutan! Ria mendesah kesal.

Sepanjang lima belas menit di ruangan serbaputih itu, wajah Dokter Edwin begitu dekat dengannya. Bahkan dalam posisi tertentu, Ria seperti bisa merasakan napas pria itu di kulit wajahnya. Tapi setiap kali Ria memberanikan diri mengintip atau membuka mata, alis tebal pria itu pasti sedang berkerut dan tatapannya hanya tertuju ke rongga mulut Ria. Jika situasinya berbeda, mungkin posisi mereka terasa romantis, tapi ketika melibatkan karang gigi rasanya jadi menjijikan.

Rasa malunya seolah masih menggelayut di atas kepala, dan enggan pergi sampai sekarang. Ria membanting diri frustrasi ke kasur, merenggut bantal tebalnya, dan membenamkan wajah di sana sambil mengerang keras-keras.

Pertama, sup asparagus yang tumpah di restoran mewah. Dan kedua, karang gigi dan bau mulut di ruang dokter. Sekalinya Ria bertemu pria tampan, mengapa semesta mempermalukannya separah ini?

Ria menoleh ketika mendengar pintu kamarnya diketuk kencang, atau lebih tepatnya digedor menggunakan kepalan tangan. Sudah bisa diduga, hanya Bon-Bon yang berniat menyiksa pintu seperti itu.

"Tanteee!" seruan bocah tiga tahun itu langsung mengisi kamar Ria begitu pintu dibuka.

Jacqueline berdiri di ambang pintu, sementara putra sulungnya merangsek ke ranjang Ria dan mulai melonjak-lonjak. Mimi sempat mengintip sedikit, melihat ada keramaian apa, tapi kemudian memutuskan untuk memejamkan mata lagi dengan lebih rapat. Ria sudah menyerah mengecek tanggal garansi kasurnya, kalau suatu hari pegasnya jebol, mungkin ia bisa tidur di karpet.

"Apa kata dokter giginya?" tanya Jacqueline, tidak berusaha menghentikan Bon-Bon. Ria hanya melirik kesal pada kakaknya itu, masih sambil berbaring di tempat tidur. Hanya dengan satu tatapan penuh arti itu, Jacqueline tahu mimpi buruk dokter gigi kembali dimulai. "Terus, minggu depan harus balik lagi ke sana?"

Ria mengangguk muram. Tubuhnya melonjak-lonjak pelan ketika Bon-Bon melompat-lompat semakin mendekatinya. "Tante, ayo makan. Tadi di jalan Mama beli ayam crispy."

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang