.bab empat belas.

224 31 0
                                    

WAJAH gadis itu tadi begitu kecewa. Mungkin kata-katanya terlalu tak berperasaan. Tapi itu jelas bukan urusan Edwin lagi. Apalagi ketika dia melihat pria itu melambai pada Maria dari arah pintu masuk. Edwin punya ingatan yang bagus tentang siapa pria itu. Itu pria yang sama yang bersama Ria menjelang tengah malam ketika mereka tak sengaja bertemu di minimarket dekat rumah sakit. Kalau hubungan mereka memang seakrab itu, buat apa gadis itu mencari-cari pasangan blind date.

Apa tujuannya?

Terserahlah. Lagi pula, kepala Edwin sedang tidak ingin berpikir ke arah lain. Benaknya masih dipenuhi kecemasannya terhadap Irene setelah wanita itu meneleponnya dengan suara bergetar seperti tadi.

Telepon Irene yang dijawabnya ketika dia masih di toilet, saat ia sedang mencoba menenangkan pikiran setelah mengetahui siapa gadis yang dijodohkan Boni malam ini, membuat Edwin ingin melajukan mobil cepat-cepat dan menemui wanita itu.

Irene lebih membutuhkannya.

Hasil pemeriksaan Adrian menunjukkan bahwa kemoterapi yang dijalaninya selama ini sama sekali tidak membuahkan hasil. Tepat seperti dugaan Irene. Kankernya masih menyebar dengan cepat. Dokter yang menangani Adrian khusus menelepon Irene, meminta wanita itu menemuinya di rumah sakit, untuk menyampaikan kabar tersebut. Dia bilang usia Adrian mungkin sekitar dua bulan lagi. Dan bahwa sebaiknya, Adrian dibawa menghabiskan sisa hidupnya melakukan semua kesenangannya, alih-alih terus-menerus di rumah sakit, dikelilingi obat-obatan, rasa mual, dan dinding putih sendirian.

Sewaktu di telepon tadi, Irene tak sanggup bicara. Ketika melihat nama wanita itu di layarnya, Edwin langsung tersenyum dan menjawab dengan hangat, tapi tak ada jawaban di ujung sambungan. Hanya terdengar isakan.

Senyum Edwin memudar, tapi dia tetap mendengarkan.

Dia menunggu. Sampai wanita itu tenang dan sanggup bicara. Menit demi menit yang berlalu yang membuat dada Edwin sesak, karena dia tahu tak ada yang bisa dia lakukan selain menyediakan telinga untuk mendengarkan. Kapan pun Irene membutuhkannya, dia akan ada.

Dan setelah sanggup bicara, Irene hanya mengatakan, "Aku harus bagaimana, Ed?" Masih terisak. "Aku harus gimana..."

"Kamu di mana sekarang? Aku ke sana."

"Masih di lobi rumah sakit. Aku belum berani ketemu Adrian. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana di depan dia."

Edwin menarik napas panjang. "Aku akan segera ke sana. Tunggu ya."

*

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang