.bab sembilan belas.

248 36 3
                                    

Telat! Telat! Telat! Ria telat setengah mati. Bobby bilang filmnya mulai jam 19.00. Kalau di Blitz sih biasanya ada iklan dulu, lima menit. Tapi ini sudah jam 19.10, dan Ria baru sampai di depan pintu masuk bioskop.

Sudah berjalan hampir dua langkah dari pintu masuk, ponsel di tas tangannya kembali berbunyi nyaring. Ia kempit saja makin kuat biar bunyinya sedikit teredam. Tanpa mengintip layarnya pun Ria tahu siapa yang menelepon. Si bawel pasti cuma mau ngomel-ngomel menyuruh Ria jalan lebih cepat.

Dia celingak-celinguk di dalam area bioskop yang ramai Rabu malam itu. Dia berhenti di dekat antrean loket, merogoh tas tangannya dan meraih ponsel yang baru saja berhenti berbunyi.

Five missed calls.

Begitu aplikasi Whatsapp terbuka, Ria langsung mengetikkan pesan. "Di mana?"

"Nengok kanan!" Cuma itu jawaban Bobby.

Begitu menemukan wajah tengil Bobby, ponselnya langsung sembunyi lagi di tasnya.

Di dinding dekat deretan poster film yang sedang tayang, Bobby mengernyit bingung. Untung dia sudah paham dengan kebiasaan telat Ria. Alih-alih membeli tiket untuk film jam 19.00 sesuai rencana, Bobby membeli tiket untuk jadwal berikutnya, jam 19.30.

Bersahabat dengan Miss Late memang harus selalu berpikir selangkah lebih maju. Analisis setiap faktor. Rumuskan probabilitasnya. Karena mencegah selalu lebih baik daripada rugi duit dan waktu.

Tapi, tampaknya nggak semua hal bisa diterapkan prinsip itu. Karena meski sudah berusaha mencegahnya, Bobby tak bisa menahan perasaannya. Sejak obrolannya dengan Joey weekend lalu, Bobby semakin menyadari bahwa semakin hari respons tubuhnya terhadap Ria semakin menguatkan dugaan yang sejak dulu berusaha dia tahan.

Seharusnya jantungnya nggak perlu berdebar secepat ini hanya gara-gara janjian nonton dengan Ria. Ini toh bukan pertama kalinya mereka jalan bareng, berdua saja. Matanya juga semestinya tetap tenang dan berkeliaran memandangi gadis-gadis cantik lain yang bertebaran di sekitarnya, bukannya malah celingak-celinguk ke pintu masuk bioskop, mencari-cari sosok Ria.

Dan senyum di wajahnya juga tidak sepatutnya sesemringah ini ketika akhirnya melihat Ria muncul di pintu masuk bioskop sambil menenteng satu tas belanja dari sebuah toko mainan anak-anak. Buat siapa lagi kalau bukan buat para keponakannya, atau mungkin calon keponakannya? Bobby mengangkat bahu, tak mau pusing.

Bobby punya dugaan ke mana semua respons tubuhnya ini akan mengarah, tapi ada banyak hal yang perlu dia analisis sebelum dia boleh menarik hipotesis apa pun. Faktanya untuk Bobby, being with her is better than addiction, better than wine or chocolate, or any other women.

Kalau melihat Ria kesal, Bobby kadang berpikir bahwa spesies Klingon di film Star Trek itu diciptakan berdasarkan kisah nyata. Kerutan di dahi Ria berlipat begitu tebal dan menonjol. Saat melihatnya dari jauh, Bobby menyembunyikan sebungkus kecil cokelat Hershey ke balik punggungnya. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia harus menjadikan cokelat ini sebagai kejutan, atau mengapa dia membeli cokelat ini tadi.

A player should never feel this kind of thing.

Bobby mengangkat tangan kanan, menghadapkan telapaknya ke depan, lalu menyapa Ria dengan salam Klingon---kelima jari dirapatkan, kecuali jari tengah, jari manis, dan ibu jari. "Live long and prosper," sapanya.

Tiba di depan Bobby, Ria langsung mencengkeram lengan cowok itu dan berdiri dengan satu kaki. "Sumpah ya, ini sepatu ..." keluhnya, mencopot sepatunya satu per satu, lalu menarik Bobby untuk duduk di salah satu sofa kecil yang menempel di dinding bioskop. Sahabatnya itu dengan pasrah berdiri di hadapan Ria sambil mengangkat alis. "Bentar ya, kaki gue pegel banget," pinta Ria dengan wajah tersiksa. Ia sedikit membungkuk dan memijat-mijat pergelangan kakinya, gara-gara sepatu murahan yang solnya tipis. "Udah ketinggalan jauh banget ya filmnya?"

"Belum kok. Filmnya belum mulai," kata Bobby.

Ria menatap pria itu dengan bingung. Wajah jail Bobby mulai menahan senyum sambil mengambil dua tiket nonton dari saku celananya. Begitu melihat jam yang tertera di kartu kecil itu, Ria tersenyum dan menepak lengan Bobby. "Lo sengaja bohong sama gue, bilang filmnya jam tujuh?! Keterlaluan...! Tau gitu gue nggak perlu lari-lari dari lantai satu."

Bobby ikutan duduk di samping Ria, menyodorkan bungkusan Hershey yang dibawanya. "Nih. Your brain need some of these amino acid to produce serotonin."

Bahasa anak JakSel Bobby mendadak muncul. Dahi Ria mengernyit semakin dalam, tak paham mengapa tingkah Bobbye sedikit berbeda malam ini. Mau ngasih cokelat aja pakai nyebut-nyebut istilah kimia segala. Sok ngerti! Kalau Ria mungkin harus mengecek ulang kebenarannya dulu pada Oom Google. Jadi dia hanya meringis sinis pada cowok itu.

Bobby memandang wajah bingung Ria. "Lo tau serotonin, kan? To bring back your good mood...?" dia berusaha menjelaskan.

Ria mengibaskan tangan, tak acuh, dan langsung membuka bungkusan cokelat itu. Yah, setidaknya dia tahu Bobby ingin menggunakan cokelat itu untuk menghiburnya.

Rasa lapar, lelah, dan kesalnya perlahan memudar. Sambil memainkan cokelat Hershey itu di mulutnya, Ria mulai nyerocos panjang. "Akhirnya gue tahu apa yang harus gue lakukan. Gue tahu kenapa gue nggak fokus hari ini. Ini tuh perasaan yang udah lama banget nggak gue rasain. Gue sampai lupa, rasanya tuh kayak gini. Belakangan ini gue sampai nggak ngenalin diri sendiri. Mungkin lo nggak paham rasanya gimana, soalnya kan lo nggak pernah mau menyerahkan hati lo ke cewek mana pun. Tapi ya, Bob, kalau lo tahu rasanya..."

Kalau Ria ngomong panjang lebar begitu, Bobby seringnya cuma mengangguk, pasang senyum, dan menahan komentar. Tapi begitu komentar, dia langsung memulai kalimatnya dengan, "Gue pernah..." Dan cerita Bobby biasanya lebih panjang dan lebih seru daripada Ria.

Gantian Ria yang mangap-mangap pengin menyela tapi nggak dapat-dapat kesempatan. Dia pun menutup mulut sambil mengunyah Hershey demi Hershey.

Ria sampai mengangkat tangan menyuruh Bobby diam.

"Bob, ada hal penting yang mau gue sampein ke lo." Ria menarik napas dalam-dalam.

Oh no, Ria jatuh cinta sama gue? Kepala Bobby langsung meneriakkan kalimat itu. Wajahnya menahan ekspresi senang sambil bola matanya begitu membulat semringrah. Dalam sekian detik yang begitu singkat saja, Bobby langsung terbayang cara menerima cinta Ria yang anggun, yang tidak terkesan murahan. Dia bisa diam sebentar, berlagak terkejut, lalu---

"Kayaknya... gue naksir serius sama Dokter Edwin." Senyum Bobby sirna. "Kali ini gue nggak mau menyerah sebelum berjuang, Bob. Dia beda dibanding cowok-cowok lain relasi Boni yang bikin gue nggak bisa jadi diri sendiri. Dokter itu malah sudah melihat sisi clumsy-nya gue, bau mulut gue, dan wajah kucel dan jelek gue sepulang kantor. Gue nggak mau menyerah, Bob, cuma karena gue melihat keakraban Edwin sama cewek itu, sementara gue nggak tahu mereka ada hubungan apa sebenarnya. Karena seingat gue, dia bilang mereka cuma teman. Jadi, artinya kan gue masih ada harapan. Ya kan, Bob?"

Mata Bobby melebar, mulutnya nyaris ikut membuka lebar.

Rasanya dia pengin membenamkan tubuhnya di tanah saat itu juga.

*

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang