.bab dua puluh tiga.

238 39 0
                                    

Ruang tunggu praktek poligigi sore itu cukup hening. Sepertinya pasien yang datang memang benar-benar sedang sakit gigi. Mereka tampak memandang lantai, entah sedang merasakan denyut-denyut nyeri di gigi atau sedang bicara pada diri sendiri bahwa, "Kamu berani. Kamu nggak takut. Dengung bor di balik pintu itu yang masih menyusup keluar, bukanlah teror. It will be over soon." Kemudian menatap jam dinding, mencoba mengingat-ingat sudah berapa lama pasien yang ada di dalam sana duduk di kursi eksekusi. "Setidaknya lima belas menit, kemudian selesai."

Beberapa orang bergantian ke meja perawat, menanyakan berapa lama lagi giliran mereka tiba, kemudian menghitung nomor antrean pasien dari daftar di meja.

Ria duduk dengan tenang di barisan bangku paling belakang. Wajahnya tersembunyi di balik novel setebal 277 halaman. Kesempatannya untuk reading for pleasure adalah di saat-saat seperti ini. Buku dengan sampul bergambar deretan rak buku dengan judul The Storied Life of A.J. Fikry, yang bercerita soal pemilik toko buku kecil di sebuah pulau, awalnya terasa seperti semilir angin laut yang bertiup di dermaga pulau kecil, tapi semakin dekat nomor urut pasien yang dipanggil dengan nomor antreannya, ketenangan membaca Ria jadi terusik.

Dia bahkan sudah dua kali kembali ke ujung kiri atas halaman 88, berusaha membaca ulang kalimat-kalimat di situ. Tapi bayangan si tokoh Maya menuruni anak tangga dengan kakinya yang pendek, menyusuri bagian dalam toko buku kecil di pulau itu, dengan melarikan jemarinya di permukaan tumpukan buku-buku yang tidak bergambar, lalu kartu pos, kemudian majalah... dan lesung pipi yang memesona perlahan muncul, rambut hitam pekat dan tubuh jangkung Edwin... disusul dengung bor yang sedang membersihkan karang-karang gigi geraham...

Ria bergidik. Dia kembali membuka mulutnya dan mengembuskan udara ke telapak tangan, memastikan sikat gigi dua kali dan berkumur dengan antiseptic mouthwash sesaat sebelum meninggalkan kantornya tadi masih memberi efek mint pada aroma mulutnya.

Dan kembali membaca dari barisan di paling atas halaman 88...

Maya menuruni anak tangga dengan langkah-langkah kecilnya yang riang menuju ke toko di lantai bawah. Bagi Maya, toko buku adalah yang terbaik di dunia. Sementara ayahnya, A.J. Fikry, masih mendengkur di kamarnya. Seiring langkahnya menyusuri sudut-sudut toko buku, jemarinya menyusuri tumpukan buku-buku... yang tidak bergambar, kartu pos, lalu majalah... Aroma lembaran kertas dari buku-buku lama yang bercampur debu, dan wangi lembaran kertas dari cetakan terbaru... dan aroma parfum Bobby yang menusuk hidungnya sore tadi.

Ria mengernyit. Anak itu kenapa sih, tingkahnya aneh banget? Kalau jalan sama Ria sukanya nempel-nempel, lengan mereka sering bersenggolan belakangan ini. Apalagi tadi waktu sampai di rumah sakit. Mereka jalan di lorong rumah sakit menuju kamar Jacqueline begitu dekat sampai-sampai bagian belakang bahu Ria bisa merasakan gesekan blusnya dengan bahan kemeja Bobby. Hawa panas tubuh Bobby, terutama dengan tubuhnya yang lebih tinggi dari Ria, seolah ada petugas polisi yang sedang menggelandang Ria ke ruang tahanan.

"Maria Clarissa?" Akhirnya namanya dipanggil.

"Ya."

Sepatu flat-nya berteplak-teplek di ubin putih rumah sakit. Buku yang dibacanya perlahan masuk ke tas yang disandangnya di bahu. Begitu pintu ruangan Edwin dibukanya, seolah ada cahaya terang panggung menyoroti sosok pria yang duduk tertunduk di belakang meja.

Seorang perawat mempersilakannya masuk, dengan masker menutupi mulut dan hidung.

"Hai, Ria. Gimana? Absesnya sudah kempes?" Pertanyaan bernada ramah yang diajukan dengan penuh senyum semringah, tapi mengandung maksud yang mengerikan.

Ria mencoba meraba area yang dimaksud Edwin dengan lidahnya.

"Sepertinya sudah lumayan, Ed."

"Oke, kita lihat dulu. Yuk, duduk di situ." Tunjuknya dengan bolpoin putar hitam.

Sama sekali tak ada sikap seolah mereka pernah menghabiskan waktu bersama di tengah malam sambil berbagi cookies dan kafein, atau di restoran fast food di tengah blind date.

"Rita, tolong ambilkan semen lagi ya. Udah tinggal dikit nih," ujar Edwin pada sang perawat yang menjadi asistennya di ruangan sambil menunjuk ke sebuah wadah kecil di dekat kursi eksekusi yang baru Ria duduki.

Semen? Ria mendelik mendengarnya. Seolah email giginya disamakan dengan bahan yang digunakan Pak Njum untuk melapisi bagian bolong di tembok garasi, gara-gara digempur Bon-Bon dengan palu yang bocah itu temukan di sana.

Sementara si perawat meninggalkan ruangan, menyisakan Ria berdua saja dengan Edwin, sang dokter duduk di kursi di samping Ria, menjulang di atas wajahnya dan tersenyum lebar.

Gantengnya..., batin Ria menjerit.

"Kumur," perintah pria itu.

Ria patuh, berkumur, lalu membuang bekas kumurnya di tempat yang disediakan, dan kembali berbaring lagi. Melihat Edwin sudah memegang alat kecil seperti penyedot ludah, Ria langsung berpasrah dan membuka mulutnya.

Tapi Edwin malah ngajak ngobrol. "Jadi, kemarin kirim WhatsApp, ada apa?"

Eh? Ria malah sudah lupa.

"Oh, mm, kenapa ya waktu itu? Mm, oh... itu, cuma mau tanya sesuatu, tapi nggak penting. Lupain aja." Ria nyengir.

Edwin masih menatapnya. Wajahnya masih menjulang di atas wajah Ria. "Buka mulutnya..."

Ria mangap dengan patuh.

Edwin mulai menjajah mulut Ria dengan besi yang terasa dingin di dinding mulutnya, sepertinya di besinya ada kacanya. Bau lateks sarung tangan Edwin begitu dekat di hidung Ria. Dahi pria itu berkerut sambil menengok ke rongga mulut Ria.

"Kalau nggak jadi nanya, aku aja yang ngomong ya," kata Edwin.

Dengan mulut menganga, dahi Ria berkerut.

"Kita coba blind date kita lagi weekend ini ya. Semoga kamu nggak ada janji."

Kerutan di dahi Ria semakin dalam. Tapi, Edwin masih menodongkan peralatan dokter giginya di mulut Ria. Nyaris saja Ria tersedak ludah sendiri, tapi untungnya Edwin begitu sigap menyedot air ludah Ria yang mulai menggenang. Ria belum bisa menyuarakan apa-apa. Dan, tiba-tiba sang perawat kembali ke dalam ruangan.

Ria memutar bola mata, kesal, terutama ketika Edwin menyumpal dinding mulut Ria dengan kapas, tak memberi kesempatan pada Ria memfungsikan kembali mulutnya untuk bicara, merespons ucapannya, barang sejenak.

Melihat sorot galak Ria yang diarahkan kepadanya, Edwin kentara sekali menahan tawa, sebelum mengerjap seolah berusaha memerintahkan dirinya sendiri agar fokus pada pekerjaannya, supaya jangan sampai malpraktek.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang