.bab sembilan.

279 37 0
                                    

PAGI, pukul sembilan tepat.

Meja Ria masih kosong. Layar komputer juga mati. Tumpukan naskah yang harus diseleksi masih bertengger di bangku putar Ria sejak dibagikan pihak sekretariat sehari sebelum festival penulis dan pembaca dimulai.

Bobby melirik kotak pensil bulat bermotif batik di dekat mouse Ria, mencari-cari penggaris. Benda yang satu itu selalu menjadi andalan Bobby untuk memulai obrolan dengan Ria. Tapi pagi ini batang hidung Ria belum juga muncul.

Beberapa foto polaroid yang menghiasi meja Ria, hampir semuanya ada wajah Joey di sana. Kalau dari senyum dan gestur Joey di foto sih, nggak kelihatan orientasi seksualnya, makanya beberapa teman kantor Ria mengira Joey itu pacar Ria. Bobby sudah mengingatkan Ria berulang kali kalau persahabatannya dengan Joey bisa jadi faktor besar penyebab Ria masih single sampai sekarang.

Bobby cuma bisa geleng-geleng kepala.

Apa dia masih sakit? Tapi, semalam Ria sudah bisa berjalan kaki bersamanya ke minimarket. Apa gara-gara itu sakitnya kambuh lagi? Benak Bobby terus saja berputar. So much for friend zone. Ia jelas tidak akan mendekati Ria dalam konteks yang lebih dari teman---setidaknya, belum. Lagi pula, Bobby sadar betul gadis itu terlalu baik-baik untuk pria seperti dirinya. Dan, hubungan mereka sudah berlangsung terlalu lama untuk menjadi lebih dari itu. Tapi ketika melihat ponselnya berkedip dan menampilkan nama gadis lain, dan bukan nama Ria, Bobby enggan memajukan tubuhnya untuk meraih ponsel itu. Meski ia tetap melakukannya dan malah mencari nama Ria di daftar WhatsApp-nya.

"Nggak masuk lagi?" ketiknya.

Ria sedang online, dan tak lama langsung menjawab, "Masuk. Lagi otw mau ketemu PH. Kenapa?"

Hm, kenapa ya, Bobby memutar otak mencari jawaban. "Dicariin Madam." Tentu saja, lemparkan saja Erika jadi tamengnya. Dan jawabannya itu mendapat emoticon bom dari Ria yang kemudian offline.

Barulah hati Bobby sedikit plong, artinya hari ini meja di sebelahnya tidak akan kosong lagi, dan ada Ria yang bisa dijailinya. Ia mulai membuka WhatsApp yang dikirimkan Imelda, gadis yang dipacarinya tiga bulan ini.

"Malam ini jadi?" tulis gadis itu di pesannya.

"Jadi dong," jawab Bobby dengan wajah semringah.

"Your place or my place?"

"My apartment. Aku jemput jam 7?"

"Oke, dear."

Ahh, hari yang sangat menyenangkan! Bobby kembali bersandar di kursinya dengan tersenyum puas. Ia bisa menghabiskan siang sampai sore bersama Ria di meja ini, dan malamnya ia bisa melangkah ke tahap yang lebih lanjut bersama Imelda yang manis itu.


*

Ria masih duduk manis di belakang setir. Sejak memasuki area parkir gedung perkantoran di daerah Setiabudi ini sepuluh menit yang lalu, Ria belum juga keluar dari mobil yang dipinjamnya dari Boni.

Waktu Ria meminjamnya, Boni hanya bilang, "Bawa aja. Oh ya, nanti malam kalau nggak ada acara, aku aturin jadwal untuk ketemu seseorang ya, Ri." Dan sepagi itu, Ria sudah menyesal mengajak ngobrol kakak iparnya.

"Siapa?"

"Kenalanku. Teman lama."

Ah, another blind date...

Apa boleh buat. Lagi-lagi itu bukan penawaran, tetapi sudah diputuskan.

Ria masih duduk manis di dalam mobil itu. Selain karena kakinya pegal menghadapi kemacetan pagi di jalanan protokol, ia juga harus membaca e-mail yang dikirimkan pihak production house mengenai tawaran novelisasi sebelum menghadiri pertemuan.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang