MIMPI buruk! erang Edwin. Apa-apaan nih. Edwin tak habis pikir, ternyata adik ipar Boni tidak bisa mengurus diri sendiri seperti ini. Beda sekali dibandingkan gadis-gadis pesolek lain yang dipilihkan ibunya selama ini.
Wanita ini punya rambut panjang hitam legam tapi malah dijepit ke atas pakai jepit rambut plastik besar yang biasa dipakai perempuan untuk mengikat rambut saat mandi. Dan mengikatnya pun berantakan, rambutnya keluar di mana-mana. Sama sekali nggak ada usahanya menunjukkan kesan pertama untuk pasangan blind date-nya.
Ia duduk dengan malas di kursi yang keras itu, sangat tidak ingin menatap wanita di depannya. Teh yang ia dapat dari paket menu komplitnya hanya ia diamkan di meja.
Wanita itu berdeham, membuat Edwin mengangkat pandangan sekilas, memperhatikan wajah wanita itu yang berminyak lalu menunduk lagi.
Jam 09:01 malam.
Mereka berdua hanya duduk diam dan menatap pangkuan masing-masing selama hampir sepuluh menit. Kalau bukan wanita itu yang berdeham dan Edwin menoleh sekilas, ya Edwin gantian yang berdeham dan wanita itu mengangkat pandangan sekejap. Wajahnya familier. Ia yakin pernah melihatnya di suatu tempat.
Wanita itu tampak sedikit tidak nyaman dengan kawat gigi bohongan yang dipakainya. Tentu saja Edwin bisa mengenali bahan pembuat kawat gigi itu dengan sekali lihat. Dia jelas belum terbiasa memakainya.
"Kita pernah ketemu di mana, ya?"
Matanya menelusuri rambut hitam Edwin, seakan mengamati setiap helainya. Sorot matanya penuh makna. Dan dengan kulit putihnya, wanita itu punya bibir merah yang seakan selalu meminta perhatian.
Edwin jelas mengerjap ngeri, takut tergiur pada bibir gadis itu. "Ehem," dia berdeham.
Ria membetulkan posisi duduknya, lalu memberanikan diri mengangkat pandangan. "Saya bingung mau ngomong apa," katanya. "Jujur, saya belum pernah datang ke blind date yang semacam ini." Dengan dandanan seperti ini, maksud Ria, tapi dia lalu hanya menarik sudut-sudut bibirnya ke atas dan nyengir lebar, memamerkan kawat giginya.
Tanpa berusaha menutup-nutupi, Edwin menaikkan satu alisnya dan mencibir.
"Aku udah sering. Jadi aku bosan. Tapi baru kali ini aku ngadepin cewek model begini," ujar Edwin, ketus dan blakblakan.
Ponsel Ria di pangkuan bergetar. Pesan dari Bobby muncul di layar, "Gimana?" tulisnya.
Ria menunduk dan berusaha membalas pesan itu tanpa menarik perhatian pria di depannya. "Gue yang skakmat!"
Bobby is typing...
"Jangan tergoda Oom-oom ganjen," kata Bobby.
Hari ini tanggal tiga belas. Pantas saja, Edwin membatin. Itu angka sial. Buat Edwin, mungkin ya. Tapi buat Ria, justru sebaliknya.
Edwin mulai nggak nyaman dipandangi para pramusaji---semula mungkin karena penampilannya yang kelewat salah kostum, tapi sekarang sepertinya karena wanita berantakan yang duduk di hadapannya. Rasanya ia pengin cepat-cepat mengakhiri pertemuan ini.
Ia melihat wanita itu memonyongkan bibir, sepertinya untuk memberi ruang pada lidahnya membasahi giginya yang kering.
Seperti ada serangga hinggap di lehernya, tenggorokan Edwin mendadak merinding.
"Dengar, aku nggak punya banyak waktu untuk dihabiskan diam-diaman kayak gini. Kita to the point aja---"
Ria mengangkat pandangan ke arah Edwin. Dari balik kacamatanya yang superbesar, dia tampak mencuri-curi pandangan. Tapi dia hanya merespons dengan mengarahkan satu telapak tangannya ke arah Edwin, menyuruhnya diam.
Tangan Ria meraih ke belakang kepala dan melepaskan jepit rambut yang mengikat kencang rambutnya. Dia memijat-mijat tengkuknya yang terasa pegal karena aktingnya tadi yang mengharuskannya jadi gadis pemalu dan kutu buku. Kebanyakan menunduk ternyata nggak bagus untuk leher.
Lalu, sambil merendahkan kepala, menyembunyikan usaha jemarinya melepas kawat gigi bohongan itu, Ria mendesah panjang. Tisu di nampan langsung diraihnya untuk membungkus kawat gigi yang menyiksanya itu.
Edwin menelan ludah ketika melihat rambut panjang Ria tergerai. Lurus dan hitam legam, mengilap. Apalagi ketika wanita itu menyusurkan jemarinya di sela-sela rambut, dan melepas kacamata besarnya.
Setelah mengembuskan napas panjang, Ria mengangkat pandangannya. "Apa kabar, Dok?" sapanya pada pria itu dengan tak acuh, sambil melebarkan senyum.
Dokter Edwin hanya menatap Ria lurus-lurus, tanpa menjawab dengan sepatah kata pun.
Sial. Kenapa dia bisa mengira Boni akan menjodohkannya dengan oom-oom genit sih? Ini semua gara-gara bisikan busuk Bobby. Kalau tahu Dokter Edwin yang bakal datang, Ria sudah pasti bakal ke salon dulu.
"Kamu lagi!"
Pertama di resto waktu wanita ini menumpahkan asparagus, kedua di tempat praktek, ketiga di minimarket, lalu sekarang---
Mata pria itu membelalak menatap Ria.
Astaga, apakah penampilannya yangsederhana dan apa adanya ini lebih buruk daripada sebelumnya? Ria mulai cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
S1ngle
RomanceKata orang, bersih itu sebagian dari iman. Nah, kalau kata dokter gigi, kebersihan karang gigi itu sebagian dari kerja keras menyikat gigi. Tapi, sejak kecil, serajin apa pun Ria menyikat gigi, dia tetap saja harus merawatkan giginya ke dokter gigi...