.bab dua.

356 47 5
                                    

SETAHUN belakangan ini, Jacqueline memang semakin gencar menanyakan, "Lo kapan mau nikah, Dek?"

Ria mendesah risih merasakan telinganya panas.

Di salah satu kencan Sabtu-nya bersama Joey, sambil minum teh cantik di TWG, Ria curhat panjang lebar. Meski sebenarnya Ria hanya berucap satu kalimat, Joey memberondong dengan sepuluh kalimat.

"Lo kan tahu, gue bukannya nggak mau nyari. Kalau udah waktunya ketemu ya, pasti bakal ketemu."

"Hei, lo hidup di era tahun berapa, Neng? Tahun 50-an? Enam puluhan? Lo seangkatan sama Siti Nurbaya? Lo maunya tiba-tiba langit menjatuhkan jodoh di depan mata lo, yang ternyata sesepuhnya Datuk Maringgih? Jodoh itu dicari, bukan ditontonin. Nih ya, Neng, lo lihat tuh di balik kaca beningnya TWG." Jemarinya yang lentik dan lebih terawat daripada Ria mencapit kedua pipi Ria dan menolehkan wajah Ria ke arah luar dinding kaca. "Perhatiin, berapa banyak cowok yang jalan sendirian di luar sana, perhatiin ekspresi muka mereka yang kayak kucing kehilangan buntutnya. Mereka itu yang harus lo coba dekati."

Dengan bibir masih dimonyongkan gara-gara jemari Joey, Ria coba membela diri. "Belum tentu mereka masih single. Bisa aja mereka udah punya istri, tapi cincin kawinnya udah nggak cukup lagi di jari. Atau, mereka mungkin punya pacar sosialita yang lagi shopping di Italia."

Joey melepaskan cengkeramannya di wajah Ria dengan berlebihan. Kemudian dia berdecak sambil merapikan rambut cepaknya dan membetulkan posisi kacamatanya yang bulat kecil nangkring di batang hidung.

Mengingat pribadi Ria yang sulit akrab dengan orang baru, Jeoy akhirnya meminta Ria menyusuri ingatan masa lalunya, pada pria-pria yang dulu pernah dikenalnya.

Joey mengambil bolpoin biru dari dalam tas nge-gym-nya, lalu menarik selembar tisu TWG dari bawah tangan Ria.

"Nih, lo tulis nama-nama cowok yang dulu pernah hinggap di hidup lo. Walaupun menurut gue sih, itu namanya nggak move on yah, tapi lo kan emang agak unik jadi cewek. Kalau disuruh pacaran, adaaa aja alasannya. Gue yakin bokap sama nyokap lo---maaf ya, Oom, Tante---pasti lagi geleng-geleng kepala ngelihat lo dari alam sana."

Saat itu Ria menanggapi dengan memutar bola mata, tapi... pada malam minggu kedua di bulan September tahun itu akhirnya Ria menghabiskan Sabtu tanpa Joey, dan sedang duduk manis menunggu teman kencannya datang.

Telunjuk dan jari tengah Ria mengetuk-ngetuk begitu cepat, seperti stik drum yang memainkan cymbal dengan tekanan lembut. Hanya saja, yang jadi cymbal-nya kali ini gelas bening berkaki yang sudah kosong. Kuku jemarinya yang lancip dan berkuteks warna pastel, menyentuh permukaan gelas, menimbulkan denting samar yang hanya bisa didengar telinganya.

Pria yang akan ditemuinya malam itu, pernah membuat jantungnya berdebar kencang saat SMA. Ria masih ingat dengan jelas saat mereka berdiri di tepi lapangan basket. Seolah di mata Ria hanya ada Bimo. Cowok tinggi, berkeringat, yang kulitnya agak gelap karena keseringan berjemur di bawah matahari, dan sering bertukar puisi dengannya.

Joey yang dulu sekelas dengan Bimo bilang kalau cowok itu sering merona kalau Joey menggodanya sama Ria. Kata Joey, "Kalau dia bukan merona karena gue godain, ya dia merona karena naksir lo, Neng."

Ria bahkan masih ingat beberapa bait puisi Bimo di luar kepala.

Pujangga sekaligus pebasket. Hh... napas Ria seperti menguap di udara. Seperti apa Bimo sekarang? Apa profesinya, dan seperti apa kehidupannya?

Ketika menghubungi Bimo lewat Facebook beberapa hari lalu, Ria benar-benar tidak memiliki gambaran sedikit pun tentang malam ini. Kata orang, cinta pertama itu sulit hilang. Tapi, apa iya?

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang