RIA mendongak, melirik kesal pada cahaya redup dari lampu jalan di atas kepalanya. Ia jadi tidak bisa melihat jelas ke teras minimarket itu.
Bobby melongok dari balik bahu Ria, penasaran apa yang dilihat gadis itu. Tapi Ria, yang masih berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik dan tiang lampu jalan, langsung mendesak Bobby ke belakang.
Ria memutuskan ia harus meluangkan waktu mengamati sang dokter lebih lama. Hati kecilnya menyerukan bahwa tiga kali kebetulan bukan hal biasa. Itu kejadian luar biasa! Ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Seolah alam memang menggariskan mereka untuk bertemu lagi dan lagi, bukan karena dokter itu sekadar cowok tampan dan asing yang ia lihat di jalan dan tidak akan bertemu lagi.
Faktanya, mereka bertemu lagi.
Dan sekarang cowok itu duduk di meja bundar minimarket bersama seorang wanita yang begitu cantik.
Astaga, cantiknya. Bahkan Ria mengakui itu, meski ia melihat dari jauh dan dengan cahaya redup begitu.
Dokter itu dan si wanita cantik duduk berhadapan, dan wanita itu seolah bersinar. Pasti itu karena warna kulitnya yang begitu sehat dan terawat. Tidak seperti kulit wajah Ria yang kusam walau sudah dimasker setiap malam sebelum tidur.
Tanpa sadar, Ria menyentuh kedua pipinya dan menunduk murung.
"Lo kenal sama cowok tadi?" Suara Bobby nyaris memutus lamunan Ria dan nyaris membuat Ria melonjak.
"Ng-nggak, eh, iya. Maksudnya, ituuu... dokter gigi gue."
Bobby langsung melemparkan tatapan ke teras depan minimarket. "Yang cewek? Cantik banget! Gue juga mau jadi pasiennya."
"Bukan, yang cowok." Ria tetap tidak menoleh ke arah Bobby. Tatapannya masih terfokus pada Dokter Edwin dan wanita itu.
Mungkin alam memang tidak punya niat apa-apa dengan mempertemukan Ria dengan pria itu begitu sering. Lagi pula, Ria bukan siapa-siapa. Ia hanya gadis biasa, yang belum juga menikah walau sudah berumur 29 tahun. Ia bukan tipe gadis cantik yang bakal menang di setiap ajang kecantikan. Fitur wajahnya, sesering apa pun ia pandangi di cermin, tetap tidak ada yang menonjol ataupun menarik.
Bobby melihat bagaimana bahu Ria perlahan turun dan tatapannya pun mulai menjauh.
Apa mungkin Ria menyukai pria itu?
Itu aneh, karena Ria tidak pernah cerita apa-apa soal pria itu. Ria hanya bercerita tentang pria-pria yang dipilihkan kakaknya sebagai teman blind date.
Oh! Mungkin pria itu salah satunya? pikir Bobby. Mungkin pria itu yang batal datang ke kencan mereka tempo hari.
"Dia kayaknya bisa kita jodohin sama Joey tuh. You know what I mean." Senyumnya terpampang lebar menanggapi kernyitan dalam di dahi Ria. Entah apa yang dipikirkan Bobby sampai mengucapkan omong kosong itu. Tapi bukankah belakangan trennya seperti itu? Pria itu kelihatan terlalu bersih, tidak seperti dirinya yang tidak begitu peduli dengan perawatan kulit. Jika memang harus menghitam, ya biarkan saja.
Tapi kontan kalimat Bobby membuat Ria menoleh dengan tajam. "T-tau dari mana?"
Bobby langsung berdiri tegap dan sigap menjawab dengan beragam deskripsi. "Coba perhatikan, kalau itu gue, duduk di depan cewek secantik itu, kira-kira sikap tubuh gue bakal kayak apa? Gue pasti akan menggeser kursi gue lebih dekat. Gue bakal menaruh tangan di meja supaya gue punya akses lebih cepat untuk memegang tangan cewek itu, ya kan? Bukan di atas paha kayak gitu. Dan coba lihat cara duduk si dokter, mana ada cowok tulen yang mau merapatkan kaki kayak gitu? Masa sih lo nggak bisa ngebedain cowok tulen sama yang bukan? Padahal tiap hari lo duduk di sebelah gue---cowok tulen---dan kalau weekend lo selalu sama Joey---you know." Bobby berdecak.
Ria terkesiap dan menutup mulutnya. Matanya terus menelurusi setiap detail yang Bobby jabarkan, dan ia mengangguk-angguk setuju.
"Jangan bilang lo naksir sama dia." Bobby menyenggol lengan Ria dnegan sengaja.
"Ng-nggak kok." Apalagi setelah mendengar analisis Bobby barusan. Ria langsung balik badan, malu, dan menarik tangan pria itu. "Yuk, pulang!" Ia berderap pergi.
Lupakan, lupakan soal si dokter ganteng. Sekarang sudah bukan zamannya lagi mencari prince charming. Ria menggeleng-gelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
S1ngle
RomanceKata orang, bersih itu sebagian dari iman. Nah, kalau kata dokter gigi, kebersihan karang gigi itu sebagian dari kerja keras menyikat gigi. Tapi, sejak kecil, serajin apa pun Ria menyikat gigi, dia tetap saja harus merawatkan giginya ke dokter gigi...