.bab lima belas.

233 39 0
                                    

Stress eating. Ini namanya stress eating! Bungkus burger dan kentang dari restoran cepat saji tadi yang sempat masuk ke tasnya, plus bungkusan Pocky, Taro rasa Seaweed, Astor, dan dua botol kosong Yakult berkumpul di bangku kosong di samping Ria. Matanya bolak-balik melempar pandangan ke lorong rumah sakit dan ke pintu tempat Jacqueline sedang ditangani dokter.

Dia tahu tingkat tekanan yang dia rasakan masih lebih mending karena hanya beralih ke makanan dan lemak di badan, dibandingkan tingkat stres Jacquline yang bisa membahayakan bayi di kandungannya.

Perut Ria rasanya mules nggak keruan seperti habis makan sambal sebotol. Bobby sedang ke kantin rumah sakit, katanya mau beli minuman. Tapi sudah setengah jam lebih belum kembali. Mungkin dia nyasar atau lagi godain perawat di suatu tempat di rumah sakit.

Perasaan Ria masih campur aduk, terbayang kebrengsekan kakak iparnya yang bikin amarahnya naik ke ubun-ubun, tapi juga mengkhawatirkan Jac serta calon keponakannya yang sedang berjuang antara hidup dan mati.

Entah apakah Ria akan pernah siap menghadapi tantangan menjadi ibu seperti yang berulang kali dialami Jac. Mungkin sampai sekarang dia belum punya pasangan karena memang belum siap menyerahkan hidupnya untuk diusik siapa pun. Dengan tetap single, dia tak perlu mengubah ritme hidupnya atau mengorbankan apa pun dalam kehidupannya demi orang lain yang, belum tentu juga mau berkorban sebesar dirinya.

Maybe marriage isn't for everyone, dia mulai menyadari hal itu dengan pahit. Atau mungkin dianya yang belum siap merelakan semua kendali dalam hidupnya pada orang lain. Meski memang tidak harus selalu seperti itu, tapi komitmen butuh kompromi, kan? Dan untuk mau berkompromi, kita butuh kerelaan. Selama ini semua Ria selalu berhasil menemukan ketidakcocokan dengan semua pria yang dikenalkan padanya karena dia sendiri tidak siap membuka dirinya. Pasti begitu.

There's no such thing as: kalo jodoh nggak akan ke mana. Jodoh nggak akan mendekat kalau lo-nya juga nggak mau didekati, mungkin begitu yang lebih tepat.

*

Kerutan di dahi Ria sejak tadi belum juga menghilang.

Gadis itu duduk dengan lesu di bangku yang disediakan di depan meja perawat. Meski sudah jam 11 malam, rumah sakit tak bisa dibilang sepi. Beberapa keluarga pasien yang menginap bergantian duduk di ruang tunggu yang disediakan. Wajah mereka memang menatap ke TV yang menggantung di atas, tapi tatapan mereka begitu hampa. Semua memperlihatkan ekspresi yang nyaris sama, seolah pikiran mereka sedang tidak ada di sini, berkelana ke tempat lain.

Bobby masih setia menemani Ria. Tapi gadis itu seolah begitu jauh, padahal mereka hanya duduk berseberang-seberangan. Bahkan kalau Bobby meluruskan kakinya, dia bisa dengan mudah menyentuh sepatu Ria.

She's not here. Her mind is somewhere else.

"Ria..."

Gadis itu mendongak. Bola matanya yang jernih tampak murung. "Eh, Bob, lo masih di sini?"

Lha, dari tadi dia nggak nyadar Bobby masih setia ngikutin dia dari lantai tiga ke lantai dasar, duduk di sampingnya selama dia melamun di lorong depan ruang rawat Jacqueline, dan mengikutinya berjalan ke lift menuju lobi bawah? Keterlaluan.

Bobby cuma nyengir, sabar. "Selama gue pergi tadi, dokter belum juga keluar ngasih kabar soal Jac?"

Ria mencoba tersenyum. "Jac stabil. Bayi di kandungannya juga. Dokter bilang itu karena stres." Tatapannya kembali menjauh. "Bob, Jac udah tahu soal Boni. Dia udah lama tahu soal Boni..." Ria menggeleng tak percaya.

Ria menyalahkan diri sendiri.

Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak peka dengan kakaknya selama ini. Bagaimana mungkin dia tidak tahu soal itu, padahal selama ini dia tinggal seatap dengan mereka? Ria terus saja menggeleng dan mendesah.

Bobby tak tahan untuk beranjak mendekat, duduk di samping gadis itu hingga lengan mereka bersentuhan.

Perselingkuhan memang bukan topik asing buat Bobby. Tapi dia tetap meyakinkan diri bahwa kasusnya beda dengan kakak ipar Ria, karena semua gadis yang berpacaran dengannya tahu soal reputasinya. Mereka menerima Bobby dengan pemahaman bahwa Bobby bukan milik siapa pun, dan dia sudah menegaskan itu di setiap awal hubungannya. Satu hal yang pasti, jika suatu hari dia memutuskan untuk menikah dan punya anak, dia tahu dia tidak akan melakukan kebodohan separah kakak ipar Ria.

Dan, melihat bahu lunglai dan wajah murung Ria di sisinya, tangan Bobby rasanya gatal ingin menghajar kakak ipar gadis itu sampai babak belur. Tapi pria itu bahkan belum menunjukkan batang hidungnya sampai nyaris tengah malam begini. Ponselnya juga belum bisa dihubungi Ria sejak tadi.

"Hei, you know it's not your fault, right?" Tangan Bobby yang panjang perlahan naik ke bahu gadis itu, menariknya mendekat, mengarahkan gadis itu agar bersandar di bahunya. Tapi tubuh Ria masih saja sekaku tripleks.

Sama sekali tak ada respons terhadap sentuhan fisik mereka. Padahal Bobby merasa semakin sulit menahan hidungnya ketika menghidu aroma lembut parfum gadis itu dan merasakan sentuhan lembut rambut Ria di lengannya. Tatapan dan seluruh respons tubuhnya terus tertuju ke tubuh gadis itu.

Suara langkah pelan memasuki ruang tunggu terdengar dari arah depan.

Sepasang pria dan wanita berwajah lesu berjalan menuju bangku di depan mereka. Tangan si pria hinggap di bahu si wanita cantik dan duduk dalam posisi yang sama persis dengan Bobby dan Ria saat ini.

Bedanya, si wanita kelihatan lebih rileks menyambut sentuhan pria itu.

Mereka duduk di bangku yang menghadap ke arah Bobby dan Ria. Tapi si wanita tampak melamun dan terus memandang lantai. Sama sekali tidak mengangkat kepala melihat ke arah manusia lain di sekitarnya.

Dan wajah pria itu jelas familier.

Baru beberapa jam lalu Bobby melihat pria itu duduk di hadapan Ria, di restoran cepat saji.

Tatapan Bobby dan pria itu langsung beradu.

Pria itu menggeser pandangannya ke arah Ria, membuat Bobby ikut mengarahkan pandangan kembali pada gadis dalam dekapannya. Tapi tampaknya kepala Ria masih dipenuhi masalahnya sendiri. Gadis itu masih menarik diri dari dunia di sekitarnya. Matanya hanya menatap kosong pada ubin di bawah kakinya.

Lebih baik begitu.

Bobby tidak tahu bagaimana blind date mereka tadi. Ria belum cerita apa-apa karena telanjur dipusingkan masalah Jacqueline. Bobby sempat terkejut ketika melihat Ria melepas semua dandanan buruk rupanya dan duduk di hadapan pria itu dengan menampilkan wajah cantiknya. Tapi, kalau melihat dari cara pria itu meninggalkan Ria, sepertinya kencan mereka memang tidak berjalan lancar.

Mungkin selamanya hanya Bobby yang bisa melihat kecantikan gadis itu, luar-dalam.

"Kita pulang, yuk, Sayang?" bisik Bobby, menyentuhkan dagunya ke pelipis Ria dan berbisik lembut. "Lo istirahat. Besok kita balik lagi buat nemenin Jacqueline."

Ria menggeleng, membuat bakal janggut kecil Bobby menggesek pelipisnya pelan. Rasanya jantung Bobby nyaris meledak merasakan gestur sesederhana itu.

Ria menarik napas, seakan mencoba menarik dirinya keluar dari lamunan. Dia menegakkan tubuh dan memutar pandangan untuk menatap Bobby. Tapi, kemudian, tatapannya berhenti pada sosok di seberang mereka, yang sejak tadi masih memandangi Ria dengan kernyitan di dahi.

Bobby memperhatikan bagaimana Ria mengerjap saat mengenali pria itu dan melihat wanita dalam pelukan pria itu.

Kalau memang kencan tadi hanya satu dari sekian kencan gagal Ria, Bobby tidak merasakannya dari cara Ria dan pria itu saling tatap. Mereka memang tidak saling sapa. Ria malah mengalihkan pandangan pada Bobby, seolah tidak mengenali pria itu.

"Gue mau nemenin Jac aja di sini malam ini. Lo pulang aja, Bob. Makasih udah nemenin gue." Dia melepaskan rangkulan Bobby dan beranjak berdiri, meninggalkan ruang tunggu rumah sakit.

Tapi Bobby tahu.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang