.bab satu.

450 52 4
                                    

PUNDAKNYA pegal sekali. Rasanya seperti diduduki Bon-Bon, anak kedua Jacqueline yang baru berumur tiga tahun tapi bobotnya sudah hampir tiga puluh lima kilogram.

Ria berjalan keluar lewat pintu belakang venue sambil memukul-mukul bahu dengan kepalan tangan sendiri. Kemeja putih lengan pendek kebesaran dan celana panjangnya yang berwarna hitam coreng-moreng karena harus duduk di karpet yang mengalasi rak-rak buku sambil bolak-balik memeluk tumpukan buku berdebu untuk memindahkannya dari satu rak ke rak lain.

Sudah lewat dari jam setengah sebelas malam. Bobby di belakang Ria, menyalami satpam yang hendak menutup pintu, sambil berterima kasih karena sudah bersedia menunggui mereka selesai merapikan buku. Setidaknya, sekotak double cheese burger yang Bobby belikan untuk mereka bisa membuat para petugas bersenjatakan pentungan itu tersenyum lebih lebar.

"Yuk, gue anter pulang," kata Bobby, menjajari langkahnya.

"Arah pulang lo sama gue kan berlawanan. Nggak usah lah, gue naik taksi aja." Ria masih sibuk memijat-mijat bahunya sendiri.

"Nggak heran lo masih single sampai sekarang. Lower your guard, girl. Kalau ada cowok ganteng nawarin mau nganter lo pulang, terima aja. Pamali kalau nolak. Nanti bisa berat jodoh." Bobby menempelkan lengannya dengan sengaja ke lengan Ria, membuat cewek itu bergeser menjauh ke kiri dan meliriknya kesal.

Bobby membalas tatapannya dengan menatap Ria dari atas ke bawah. Tatapan penuh penilaian persis seperti yang selalu Ria dapatkan setiap Saturdate sama Joey ke mal. Kalau Joey biasanya lebih nyinyir lagi, sambil nunjuk pake telunjuk diarah-arahin dari atas ke bawah.

"Lo pergi blind date ke restoran hotel bintang empat pakai baju kerja yang plain begini?" komentar Bobby.

Ria mengalihkan pandangan dan kembali melangkah. "Nggak sempet ganti baju lah. Jam enam baru kelar ngecekin koreksian naskah buat bulan depan. Untung bisa langsung dikoreksi layouter terus dikirim ke pracetak, habis itu gue langsung meluncur ke restoran. Untung blind date gue nggak dateng. Kalau nggak, lo bakal ngerapiin rak sendirian."

Bobby mendengus terbayang mata sayu dan rambut Ria yang selalu mencuat di sana-sini setiap kali ngejar deadline naik cetak. "Mungkin dia dateng, tapi begitu ngeliat lo di meja pake pakaian kayak gitu, dia jadi nggak berselera dan langsung cabut."

Oh, sial. Bobby mungkin benar. Ria memaki diri sendiri dalam hati. Alasan apa yang harus dia sampaikan nanti pada Boni dan Jacqueline. Perjodohannya malam ini benar-benar gagal.

Bobby menuntun mereka ke tempat mobilnya diparkir. Dan begitu berdiri di samping sedan hitam Bobby, Ria menatap pantulan diri sendiri di bodi mengilap mobil itu. Rambut kucel, digelung ke atas tidak keruan. Kemejanya putih, bawahannya hitam, seperti mahasiswa magang. Pakaiannya bahkan sama sekali tidak menunjukkan lekuk tubuh. Potongan celana panjangnya lurus begitu saja.

Ia tahu ini bukan kencan buta pertamanya. Dan Jacqueline sepertinya mulai kehabisan stok cowok yang bisa dikenalkan ke Ria

Saat Bobby sudah masuk mobil dan menutup pintu di kursi supir, Ria baru tersadar dari lamunannya dan menyusul masuk.

"Tujuan ke mana, Bu?" sapa Bobby, dengan postur tegap dan hormat, menoleh pada Ria.

"Jalan Metro Kaladua, Pak."

"Siap, berangkat, Bu."

Mobil itu pun melaju. Ria masih termenung sendiri. Bobby menyalakan radio untuk mengiringi lamunannya. Sara Bareilles - December, sempurna untuk malam minggunya para single.

"Ada kabar dari si teman kencan?" Bobby mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama lagu.

Ria agak terkejut, karena ia bahkan tidak memikirkan si teman kencan yang membatalkan janji tanpa kabar itu. Ia mengeluarkan ponsel dari tas tangan dan melihat tidak ada notifikasi satu pun selain WhatsApp dari Jacqueline yang mengingatkan Ria supaya weekend ini meluangkan waktu untuk menemaninya check up ke dokter kandungan---lagi-lagi Boni terlalu sibuk untuk menjadi suami siaga.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang