.bab tujuh belas.

237 38 1
                                    

Edwin mengajaknya duduk di ruang tunggu, di depan pintu masuk lorong ruang-ruang VIP. Dia membuatkan dua cangkir kopi dari pantri para perawat yang berjaga malam dan mengambil sekotak kardus cokelat cookies choco chips. Tampaknya dengan senyuman ramah saja sudah cukup untuk Edwin mendapatkan izin "menjarah" ruang jaga para perawat.

"Boni kelihatan beda banget dibanding dulu waktu kami satu sekolah."

"Secara fisik atau secara mental? Atau dua-duanya?" tanya Ria, sinis, sambil menerima gelas kertas kopi darinya.

Edwin terkekeh. "Dua-duanya." Duduknya sedikit melorot dan condong ke arah Ria, sampai lengan atas mereka bersinggungan, padahal bangku-bangku lain kosong melompong. "Aku dulu memang teman nongkrong bareng kakak iparmu waktu SMA, tapi kami terakhir ketemu kira-kira pertengahan masa kuliah, dan terakhir ngobrol di telepon akhir pekan yang lalu, waktu dia bilang mau ngenalin adik iparnya, gara-gara obrolan di grup WhatsApp alumni yang membahas aku sebagia high quality jomblo di angkatan kami." Dia menoleh ke arah Ria sejenak. "Maaf ya, aku nggak bermaksud nguping tadi. Kebetulan aja aku baru keluar dari salah satu kamar di situ, habis menjenguk teman. Tapi, kamu nggak perlu cerita apa-apa. Itu bukan urusanku." Suaranya rendah dan pelan, seolah ingin menjaga percakapan mereka tetap personal. "Aku cuma mau membagi sedikit kafein dan suntikan cokelat dari pantri perawat biar cepat habis, soalnya tanggal kedaluwarsanya sudah mendekati."

Emosi Ria mereda sedikit. "Trims. Tapi, bukannya makan makanan manis malam-malam bisa merusak gigi, Dok?" Wajahnya sedikit mengernyit seolah terbayang apa rasanya berada di bawah belas kasihan mesin bor gigi.

"Yah, hidup belum lengkap kalau belum pernah ke dokter gigi, kan? Apa lagi kalau belum pernah ketemu Dokter Edwin." Kedua tangannya beranjak naik merapikan kerah kemeja.

Ria tertawa. Tawa renyah yang santai. Membuat Edwin tak tahan ingin ikut tersenyum.

Tangannya yang besar dan berbulu terulur ke arah Ria. "Bagaimana kalau kita mulai lagi perkenalan kita dari awal? Namaku Edwin. Aku kerja jadi dokter gigi full time di rumah sakit ini. Panggil aku Edwin, atau Ed, jangan Dokter lagi ya."

Ria tersenyum. Tangan mungilnya menyambut uluran tangan Edwin. "Aku Maria. Panggil saja Ria. Aku editor di salah satu penerbit. Biasa menangani novel-novel fiksi, terutama romance. Jadi, asal tahu aja, rayuan semaut apa pun, aku udah pernah baca. Mulai dari Shakespeare, Jane Austen sampai E.L. James, aku uda hafal di luar kepala."

"Wow, oke. Tapi, tenang aja. Aku udah punya cara merayu yang belum pernah ada di buku-buku mana pun." Sang dokter merapatkan bibirnya lalu menarik sudut-sudut bibirnya begitu lebar sambil menatap Ria, membuat kedua matanya seperti tersenyum dan lesung pipinya terlihat begitu cekung dan menggemaskan.

Ria tertawa. "Maksudnya, ini?" Telunjuknya mengarah ke lesung pipi Edwin.

Pria itu mengangguk-angguk penuh percaya diri.

Ohmaigatt, jantung Ria berdebar kencang. Tapi dia tertawa geli.

"Tapi ini selalu berhasil. Termasuk tadi waktu ngambil kopi dan cookies di pantri."

Dengan luwes Ria menepuk pelan---mungkin lebih tepat disebut manja---lengan Edwin, gestur yang tak bisa disangkal lagi bahwa dia memang tertarik pada pria itu. Wanita single mana yang nggak tertarik dengan pria setampan Dokter Edwin?

Rasanya hanya dalam 12 jam, roller coaster yang dilaluinya cukup ekstrem. Hidup Ria berubah-ubah dengan cepat. Dari lelucon aneh mengerjai pasangan blind date-nya, yang sekarang duduk di sebelahnya, kepanikan soal kehamilan kakaknya, lalu memergoki kakak iparnya selingkuh, dan menjalani jam-jam penuh suara di kepala yang menyalahkan diri sendiri, dan sekarang dihibur dokter ganteng berduaan di tengah malam.

Hah-hal seperti ini kadang Ria masukkan dalam lemari pengingat khusus dalam benaknya, dengan judul how-to-do-your-life: Di saat hidup rasanya begitu sulit untuk dilalui sampai rasanya pengin menyerah saja, kalau kita berusaha terus melangkah, masih ada cahaya terang di ujung jalan yang mungkin menerangi jalur tol baru bebas hambatan; tapi kalau kita menyerah sekarang, kita nggak bakal tahu ada apa di ujung sana.

"Ed..." nada ramah seorang wanita terdengar dari arah pintu, memutus tawa Ria dan si dokter ganteng.

Suara wanita itu dan sosok bermata sembap yang terlihat di sana membuat Ria menarik tubuhnya menjauh dari Edwin, berusaha menjaga jarak.

Wanita itu mengenali Ria dan berjalan mendekat sambi mengulas senyum lesu.

"Aku pikir kamu udah pulang, Ed. Kayaknya tadi pamit sama aku dan Adrian udah dari sejam yang lalu?" Sorot mata penuh keakraban itu membuat hati Ria ciut. "Hai, Ria. Kita ketemu lagi." Irene mengulurkan tangan ramah. Ria berdiri, menyambut uluran tangannya. "Kamu konsultasi gigi jam segini?" canda Irene.

Tawa Ria terdengar gugup. "Eh, nggak, Mbak. Saya lagi nemenin kakak saya, dirawat di sini."

Edwin ikut berdiri, berpindah ke sisi Irene, membuat Ria agak menunduk dan mengalihkan pandangan sejenak.

"Ada apa? Adrian kesakitan lagi? Udah panggil perawat?"

Jemari Irene yang kurus dan panjang meremas lengan Edwin dengan lembut. Senyum wanita itu membuat tulang pipinya terlihat semakin menonjol. "Nggak pa-pa. Adrian masih tidur pulas. Aku cuma mau ngelurusin kaki aja, jalan-jalan dikit."

Ria mengamati bagaimana Edwin menatap wanita di sampingnya dengan lembut. Kedua matanya begitu terfokus pada wajah Irene. Senyum jenaka yang tadi dipakainya untuk menggoda Ria juga berubah menjadi jenis senyum yang lain. Ria tak tahu harus menggolongkannya ke mana, selain senyum jatuh cinta.

Samar-samar telinga Ria seperti mendengar suara tembikar retak di kejauhan, atau mungkin itu suara hatinya yang retak?

Sepertinya sudah saatnya Ria pamit.

"Saya permisi dulu. Sepertinya udah kelamaan ninggalin kakak saya. Takutnya dia nyariin. Terima kasih untuk kopi dan cookies-nya, Dok---eh, Ed. Permisi."

Edwin dan Irene hanya merespons sambil lalu, dan meneruskan mengobrol berdua di bangku yang Ria tinggalkan.

Yah, well, memang jadi Cinderella yang bisa dansa sama Pangeran Tampan maksimal cuma bisa sampai jam 12 malam. Nggak bisa lebih dari itu.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang