.bab dua puluh satu.

224 35 0
                                    

Malam itu, Jacqueline belum juga pulang dari rumah sakit. Dua hari lalu, dokter bilang masih harus memonitor tekanan darahnya serta menjauhkan Jac dari segala pemicu stres, beberapa hari ini kandungan Jac masih mengalami kram yang sama.

Entah ada pembicaraan apa antara Jac dan Boni, yang Ria tahu Boni kembali ke rumah malam itu, membanting pintu rumah dan pintu kamarnya, membuat suara gaduh di kamar utama, sampai para keponakan Ria terbangun tengah malam, lalu ketika Ria mengintip dari kamar Bon-Bon, dia melihat Boni keluar menyeret koper besar dan pergi tanpa meninggalkan pesan apa pun.

Kalau koper besar itu dibawanya untuk menemani Jac di rumah sakit, rasanya dia nggak butuh pakaian sebanyak itu kalau Jac sudah diperbolehkan pulang sehari lagi. Toh rumah mereka dan rumah sakitnya hanya berjarak beberapa belokan saja.

Tak lama setelah Ria berhasil menidurkan Bon-Bon dan Sophie kembali, ponselnya bergetar.

Jacqueline meneleponnya.

Ria pikir dia akan mendengar suara kakaknya bergetar dan di ujung tangis, tapi suara Jac justru terdengar stabil dan keras, menanyakan apa yang Boni lakukan di rumah. Saat Ria menyampaikan apa adanya, Jac hanya menjawab, "Oke. Terima kasih ya, Dek, udah jagain anak-anak gue."

"Anytime, Jac. Kalau situasinya terbalik, lo juga akan melakukan hal yang sama," jawab Ria, berbisik di balik pintu kamar Bon-Bon. "Lo... beneran gapapa?" Dia masih cemas.

Mencintai seseorang seperti Jac mencintai Boni, Ria nggak yakin semua orang bisa melalui itu dan bilang baik-baik saja. Diambah lagi hormon kehamilannya. Boni jelas cinta pertama Jac. Sejak puber, sejauh yang terekam di ingatan Ria, hanya nama Boni yang pernah Jac sebut-sebut; hanya nama Boni yang bisa bikin Jac menangis sesenggukan di ranjang tengah malam. Bahkan ketika Boni jelas-jelas salah bergaul dan sempat mengenal obat-obatan terlarang, meski hanya sekejap dan segera terlepas dari itu semua, Jac mati-matian bilang nggak akan meninggalkan Boni. Papa pernah marah besar sampai melempar bangku plastik pendek ketika tahu Jac berbohong soal mengingap di rumah teman, dan justru pergi ke Bandung, bermalam bersama Boni. Waktu itu Mama baru meninggal, bahkan belum genap 100 hari, Ria masih berumur 10 tahun 11 bulan. Jarak usia mereka 6 tahun, nyaris 7 tahun. Padahal Jac begitu cantik, pernah ditaksir cowok paling ganteng di SMA-nya, yang adalah pemain basket andalan; pernah ditaksir kakak kelas, yang juga ketua OSIS dan cowok paling pintar di SMA-nya. Dan banyak cowok pernah menelepon ke rumah, ingin mengajak kakaknya itu nonton bioskop atau sekadar ke mall. Ria jelas tahu semuanya karena bahkan beberapa cowok itu menghampiri sekolah Ria, menghadiahi Ria beberapa barang, dan menitipkan surat cinta untuk Jac.

Seratus delapan puluh derajat berkebalikan dengan Ria yang tidak seberuntung itu dalam hal cinta. Sejauh ini, cowok-cowok yang pernah pacaran dengan Ria, semua karena Ria yang mengejar lebih dulu. Ria bahkan tidak ingat rasanya dikejar cowok lebih dulu. Semuanya pasti Ria yang naksir cowok itu lebih dulu, dan Ria juga yang mengirimkan sinyal-sinyal I'm available.

Kalau Ria yang ada di posisi Jac, dia sungguh tak bisa membayangkan apakah dia akan bisa setenang Jac menghadapi masalah ini. Mungkin piring dan gelas di dapur sudah beterbangan ke segala dinding ditambah lagi jeritan tanpa henti berisi segala makian.

Tapi, yang Ria dengar di ujung sambungan hanyalah hening.

Kemudian tarikan napas panjang.

"Anehnya, gue nggak apa-apa. Mungkin hati gue udah kapalan..." tawa Jac terdengar hambar.

"Apa pun yang terjadi, gue akan selalu ada di sini."

Jac tertawa kecil. "Kadang gue lupa kalau lo baca novel fiksi setiap hari as part of your job, jadi suka setimen berlebih gini, Dek." Kadang Ria pengin marah kalau novel fiksi selalu dikaitan secara negatif dengan karakter orang yang terlalu berperasaan, tapi kalau mau marah-marah terus Ria malah capek sendiri. Jadi, Ria sudah terbiasa menganggap itu sebagai pujian, bahwa dirinya punya empati yang lebih baik dibanding orang lain. Dia hanya tersenyum menanggapi ucapan Jacqueline. "Tenang aja, gue tahu gue selalu bisa mengandalkan lo. Eh, besok suruh Pak Njum jemput gue ya. Gue udah boleh pulang besok."

"Oke, besok gue akan ke sana bareng Pak Njum buat ngurus administras, sekalian gue mesti check up ke dokter gigi."

"Thanks ya, Dek. Untung lo belum terikat sama siapa pun, jadi gue nggak perlu minta izin siapa-siapa kalau butuh lo, hehe. Jangan buru-buru nikah dulu deh, Dek."

Ria menarik satu sudut bibirnya ke atas.

Satu hal menyedihkan, tapi faktanya memang demikian. Kehadiran orang-orang yang masih single ini disyukuri beberapa orang dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam segi bisnis, termasuk di kantor penerbitan Ria. Masyarakat single, terutama yang single dan galau, sering jadi incaran marketing penerbit dan toko buku, bahkan terkadang dengan teganya jadi materi utama acara di TV, radio, content YouTube, atau bahkan bahan riset para penulis novel. Para stand up comedian juga suka menjadikan para single sebagai bahan jokes.

Kalau di rumah Ria---ralat, rumah Jacqueline---kehadiran Ria yang masih single tampaknya bisa menjadi sumber daya manusia yang diandalkan sebagai bala bantuan mengurus para keponakannya dan menemani sang kakak in times of need.

Ria jadi teringat kata-kata mamanya dulu, yang masih membekas di ingatan Ria sampai sekarang, meski kejadiannya sudah sejak Ria berumur hampir sepuluh tahun. Samar-samar Ria hanya ingat saat itu ayahnya begitu murung. Sepulang kantor, yang ayahnya lakukan hanya duduk di teras dan melamun. Bahkan kopi yang disiapkan sang mama di meja ruang tamu, belum disentuhnya. Awalnya Ria tidak terlalu memperhatikan gerak-gerik ayahnya, sampai sang mama menghampiri Ria dan berbisik, "Suruh papamu mandi terus makan, Ria. Kalau kamu yang ngomong, biasanya papamu mau dengerin. Kalau Mama yang ngomong sampai berbusa, nggak bakal didengar."

Lalu, mama Ria melenggang masuk, membuat daster rumahannya berkibar.

Ria yang belum paham sedang disuruh apa, hanya mengerjakan yang diperintahkan mamanya. Dan benar, papanya memang langsung berhenti melamun dan berjalan ke kamar mandi, lalu setelahnya makan, barulah kembali lagi ke teras untuk melamun.

Setelah itu mama Ria menghampirinya lagi dan berbisik, "Mulai sekarang, kamu aja yang lebih galak sama Papa ya, Ria. Jacqueline juga sama aja kayak Papa, susah diatur. Kalau nggak ada Mama, nanti kamu yang gantiin Mama buat ngurus papa sama kakakmu ya." Sejak itu, Ria menjadikan perintah Mama sebagai tanggung jawab yang harus diembannya.

Saat SMA, setiap kali cowok yang berhasil didekatinya mengajak Ria pergi nonton atau ke mal, jawaban Ria sering kali dipikirkan sepuluh kali. Rasanya seperti ada beban tak kasatmata yang mengharuskannya memastikan rumah sudah rapi, makanan atau camilan untuk Jac sudah siap sedia, dan setidaknya makan malam untuk papanya sudah siap di meja jika papanya pulang nanti malam. Kalau semua itu belum siap, Ria akan langsung menjawab, "Sori, aku nggak bisa. Ada yang masih harus aku kerjain. Besok siang aja ya, kita ketemu di kantin?" Meski ada kakak tertua mama Ria yang sering datang saat pagi untuk membantu mengurus rumah, tapi setelah Ria pulang sekolah, biasanya dia akan ditinggal sendirian di rumah dan dipercaya bahwa dia tidak akan meninggalkan rumah sendirian---dan memang terbukti Ria sepatuh itu.

Ria mengangguk-angguk, akhirnya dia mengerti kenapa kisah cintanya di masa lalu tidak seberuntung Jacqueline yang bisa seenak hati dan dengan bebas pergi keluyuran meninggalkan rumah. Bahkan sekarang... ketika Jac berkata begitu, niat Ria untuk berusaha mendekati Edwin yang semula menggebu-gebu, jadi mengempis.

Ria tersenyum miris.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang