.bab tiga belas.

240 35 0
                                    

PERNIKAHAN itu fluktuatif alias naik-turun. Tiga bulan pertama, dunia serasa milik berdua. Oh heaven on earth. Tiga bulan berikutnya surga seperti pindah ke Jepang yang sering dilanda gempa. Menginjak setahun, pada anniversary pertama, rasanya seperti siswa yang baru mendapatkan rapor dan dinyatakan naik kelas, setelah itu diajak liburan untuk merayakannya. Tapi kalau sudah bertahun-tahun seperti Jacqueline, dengan banyak buntut yang mengikuti, pernikahan itu seperti kram di perut.

Suami berjanji akan pulang lebih awal untuk makan malam di rumah, tapi sampai masakan dingin di meja dan anak-anak sudah selesai makan, Boni belum juga pulang. Mungkin terjebak macet, tapi seharusnya kan dia bisa memberi kabar, Jacqueline menggeleng kesal. Ia jadi serbasalah. Kalau makan lebih dulu, tapi Boni bisa saja sebentar lagi datang. Tapi kalau tidak makan lebih dulu, perutnya sudah mulai protes.

Ia mengelus perutnya lembut. "Sabar ya, Nak, sebentar lagi Papa pulang."

Tapi sampai jam delapan lebih sepuluh menit, Boni belum juga pulang. Ia meraih ponsel, sambil mengamati Bon-Bon dan Sofi yang asyik menonton DVD kartun.

Nada sambung terdengar. Panjang. Tak ada jawaban.

Perutnya mulai tegang. Rasanya seperti melilit. Dan mengencang. Lalu, semakin kencang. Ia membungkuk ke arah meja makan, mencoba berpegangan pada tepi meja, sambil menarik napas dalam-dalam.

Tapi, tidak berhasil.

"Pak Njum!" Jac mencoba berteriak memanggil sopirnya. Tapi kram diperutnya membuat teriakannya tertahan. "Pak Njuuumm!" Kemungkinan besar pria paruh baya yang sejak tadi dipanggilnya itu sedang duduk di kursi lipat, menghadap TV kecil di garasi, dan terlelap.

Suara TV dari kartun yang ditonton Sofi dan Bon-Bon sayangnya juga ikut meredam suara Jacqueline.

Ada apa dengan bayinya? Ia mulai cemas. Bukan pertama kali ia merasakan ini, sebelumnya pernah, dengan kehamilannya sebelum ini, yang berujung pada operasi cesar karena putra keduanya terlilit tali pusar dan meninggal dalam kandungan.

Di pemeriksaan kemarin, semua hasilnya baik. Seharusnya ia tidak perlu cemas, kan?

Kursi meja makan berderak keras saat ia mencoba memosisikan dirinya lebih nyaman di bangku. Napasnya mulai tersengal. Ia mencoba menghela dan mengembuskan napas lewat mulu. Rasa kram di perutnya semakin melilit. Jemarinya ganti mencari nama Ria di daftar panggilan.

Suara mengeong keras sempat mengagetkan Jacqueline. Kucing peliharaan adiknya tiba-tiba muncul tak jauh dari meja makan, melihat ke arahnya. Dan terus mengeong.

Mendengar keributan dari arah meja makan, Bon-Bon beranjak dari sofa depan TV dan menghampiri. "Ma..." panggilnya. Mimi berjalan dengan anggun mengitari kaki Bon-Bon sambil terus mengeong.

"Bon-Bon, Sayang... Mama minta tolong kamu panggilin Mbak Yun di dapur ya, Sayang," pintanya, seraya mengusap rambut tebal Bon-Bon.

Wajah anak itu kebingungan. Pipi tembam dan bibirnya yang mengerucut mungil membuat Bon-Bon persis boneka yang menggemaskan. Tapi ia tahu putranya cukup cerdas dan mengerti perintahnya. Ia melihat Bon-Bon melangkah ke pintu dapur, diikuti kucing calico dengan kalungnya yang terus bergemerencing itu,lalu menghilang di baliknya. Sementara nada sambung masih terdengar di ponselnya.

"Kenapa, Jac?" suara Ria akhirnya terdengar.

"Dek, lo pulang sekarang ya. Perut gue nggak enak nih."

"Eh... nggak enak gimana?"

"Kram."

"Waduh..." Suara Ria terdengar cemas. "Boni udah pulang?"

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang