.bab empat.

295 36 1
                                    

RIA membuka mulut lebar-lebar sementara senter diarahkan ke rongga mulutnya. Kemudian, dokter anggun bersanggul besar itu tersenyum menatap Ria sambil memasukkan kembali senter ke saku jas putihnya.

"Saya sarankan Anda ke dokter gigi."

Ria melongo.

Mulutnya menganga cukup lama, sampai Jacqueline menepak lengannya.

Dokter UGD yang berdiri di samping ranjangnya masih memegang semua hasil CT-scan, rontgen, dan semua pemeriksaan laboratorium yang Ria jalankan tadi malam.

Sakit kepalanya sudah berkurang setelah tidur beberapa jam.

"Hasil pemeriksaan semuanya bagus. Kemungkinan sakit kepalanya karena kelelahan dan kurang makan. Untuk sementara Anda sebaiknya beristirahat beberapa jam lagi. Saya akan memberikan beberapa vitamin."

Ria masih belum sadar dari kalimat pertama sang dokter. Benaknya seperti tersangkut di situ. "Dokter gigi, Dok?"

"Iya. Kalau sakit kepalanya belum hilang, mungkin Anda bisa memeriksakan gigi Anda ke dokter. Sakit kepala juga bisa disebabkan oleh gigi. Di usia seperti Anda, beberapa orang mulai merasakan gigi geraham belakang yang mulai tumbuh dan bermasalah. Entah karena posisi tumbuhnya atau masalah lain. Kalau memang tidak ada masalah dengan gigi, saya sarankan Anda menemui dokter penyakit dalam untuk pemeriksaan lebih lanjut."

Ria mencoba menyusurkan lidahnya di dalam mulut, meraba-raba deretan giginya sendiri. Geraham belakang? Memang rasanya ada tonjolan aneh di gusi paling belakang sebelah kanan. Dan oh, geraham atasnya juga terasa kasar. Bolong? Oh ya ampun, terakhir kali ia ke dokter gigi memang empat tahun lalu, masih ditemani sang ayah saat masih hidup. Tapi, masa iya gara-gara gigi? Dahi Ria berkerut begitu dalam.

Dokter itu pergi setelah merasa sudah menyampaikan kesimpulannya dengan baik, meninggalkan Ria dan Jacqueline yang masih bingung.

Jam dinding di depan ranjangnya menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih ada setidaknya tiga jam lagi sebelum ia harus kembali ke venue dan menjalankan pameran hari kedua dan terakhir. Ia sudah menghubungi Bobby, memintanya mengambilkan seragam yang baru dari ruang panitia dan membawakannya ke rumah sakit.

"Anak-anak siapa yang jaga?" tanya Ria.

"Ada Boni di rumah. Habis ini lo langsung pulang, kan? Ke dokter gigi dekat rumah aja. Di rumah sakit tempat gue check up, biar sekalian nemenin gue." Jacqueline sibuk mengetikkan SMS untuk supirnya.

Ria menggeleng yakin. "Nggak bisa. Ini hari terakhir pameran. Banyak acara yang di-highlight, pasti butuh banyak tambahan tenaga. Gue cuma butuh istirahat sebentar. Lagian, kan ada Boni di rumah. Lo check up sama dia aja ya hari ini, Jac." Ria kembali berbaring, memunggungi Jacqueline, dan menarik selimut putihnya menutupi kepala.

"Jangan dong, Dek... Lo aja yang nemenin gue ya. Boni kalau ikut juga percuma, dia pasti bakal pegang handphone mulu. Kalau nggak, dia bakal tiba-tiba keluar ruangan buat terima telepon."

Jawaban Jacqueline membuat Ria mengernyit. Ia mulai bingung dengan konsep suami-istri yang sebenarnya. Apakah memang cuma untuk beranak pinak, memenuhi tugas manusia sesuai yang tertulis dalam kitab suci? Atau ada hal lain selain mengurus anak dan mencari penghasilan? Kenapa Tuhan ingin dua anak manusia dipersatukan dan meneruskan keturunan, kalau dalam pernikahan hidup mereka jadi hambar begini? Rasanya, orang paling tidak berpendidikan pun tidak akan berpikir sepicik itu soal pernikahan.

"Ria... temenin gue ya. Gue nggak mau sendiri..."

Sakit kepala Ria dimulai lagi.

Terserahlah! Ia memejamkan mata dan mengabaikan rengekan Jacqueline. Ia bersyukur ketika suara Bobby menyusup di sela ocehan kakaknya, memanggil nama Ria dengan suara agak keras dan nada amat cemas. "Apa kata dokter soal Ria, Mbak?"

Ria langsung menurunkan selimut dan berbalik. "Bobby, finally!"

"Astaga, Ria! Gue pikir lo kenapa-kenapa!" Ekspresi lega yang terpancar di wajah pria itu seperti habis melihat Ria hidup lagi setelah mati suri. "Lo udah nggak apa-apa? Masih pusing? Kepala loe gimana? Apa kata dokter?" Dia langsung menempel di samping tempat tidur, mendekati Ria.

"Gapapa. Lo bawa seragam panitia buat gue, kan?"

"Ada. Ntar lo tugas dampingin pengarang-pengarang lo aja, nggak usah mobile. Paling nemenin mereka makan siang atau selama nunggu acara mereka mulai. Oke? Tapi, emangnya lo udah nggak apa-apa?"

"Riaaa!" panggilan merdu lainnya terdengar dari arah pintu masuk. Membuat pasien di ranjang lain di IGD itu menoleh terusik. Suara Joey tuh khas banget. Walaupun mereka ada di antara ribuan orang, Ria dijamin bisa mengenali suara cempreng dan bawelnya.

Cowok itu merentangkan kedua tangannya memegangi bingkai pintu. Kemudian mulutnya terkatup rapat ketika melihat Bobby di samping Ria. Kepalanya langsung tertunduk dan senyum malunya terpampang.

Joey berdeham jaim. "Beb, lo gapapa?" tanyanya sambil melangkah kalem mendekati ranjang Ria. "Hai, ganteng. Kita ketemu lagi," lanjutnya pada Bobby, tanpa menunggu jawaban Ria. Tangannya yang berbulu dan sedikit menonjol di bagian biseps terjulur tepat sejengkal di depan mata Ria.

Untungnya Bobby sudah sering dengar cerita Ria soal Joey, dan sudah beberapa kali juga ketemu sahabat Ria itu di beberapa acara. Jadi ya, sudah kebal menghadapinya. Bahkan Bobby sempat bertanya pada Ria, "Si Joey temen lo itu naksir gue, ya?" Ketika Ria mengangguk, Bobby hanya merespons dengan santai. "Baguslah. Setidaknya reputasi gue sebagai cowok ganteng, diakui juga sama kaum lain, selain wanita yang straight," katanya waktu itu.

Jadi, saat bertemu lagi dengan Joey di IGD, Bobby malah tersenyum ramah dan kalem.

Kepala Ria makin pusing melihatnya. "Heh! Sahabat lo lagi sakit, malah tebar pesona depan mata gue! Keterlaluan lo kadang-kadang!" omelnya.

Jacqueline berdecak kesal karena merasa diabaikan. Dia berbalik pergi meninggalkan Ria bersama dua bodyguard tampannya, lalu memutuskan untuk kembali saja ke rumah.

Melihat sikap ngambek kakaknya, Ria cuma melirik kesal dan mendengus. Sedikit mengernyit ketika denyut nyeri di kepalanya kembali menusuk-nusuk.

"Eh, Erika nggak tahu soal ini kan, Bob?"

"Nggak. Tenang aja. Semalam dia udah pulang. Dan hari ini dia nggak datang ke pameran karena harus berangkat ke Singapura buat launching buku biografinya Pak Mantan Mentri."

Akhirnya Ria bisa bernapas lega. Mungkin Erika juga penyebab sakit kepalanya.

Omong-omong soal dokter gigi, mungkintidak ada salahnya ia memeriksakan gigi ke dokter gigi yang dulu terbiasamenangani Jacqueline, ayah mereka, dan Ria sendiri. Dokter Yenny Yahya pastisudah punya riwayat giginya selama bertahun-tahun. Dan lagi pula, ia sudahtelanjur cocok dengan Dokter Yenny yang selalu memanggilnya dengan sukukata pertamanamanya, "Mar", bukan "Ria". Rasanya jadi lebih akrab.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang