.bab sepuluh.

240 39 0
                                    

INI menyebalkan. Edwin terpaksa melalui kemacetan Jakarta di saat rush hour demi hal yang sia-sia. Padahal biasanya ia sangat menghindari pergi ke area pusat kota Jakarta pada Jumat malam begini, yang notabene jalanan termacet dalam seminggu.

Kalau bukan karena rasa tidak enak hati pada teman lama, Edwin nggak bakal mau bela-belain berjuang begini. Setidaknya dia bisa menunjukkan sedikit usahanya atas niat baik orang lain, perkara bilang nggak cocok sih gampang. Padahal sejak lulus SMA, Edwin sudah tak tahu lagi kabar teman masa kecilnya itu. Sekali-sekalinya Boni menghubunginya, baru dua malam yang lalu gara-gara obrolan di WhatApp grup alumni yang baru dibentuk. Boni langsung nge-japri, berbasa-basi menanyakan kabar, lalu langsung to-the-point---gaya ala Boni---ingin mengenalkan Edwin pada adik iparnya karena Boni merasa utang budi dulu Edwin pernah bercerita pada orangtuanya soal kondisi keuangan keluarga Boni yang sedang terpuruk, sampai-sampai orangtua Edwin menghubungi orangtua Boni untuk membantu biaya SMA-nya sampai ia lulus.

Boni memang tidak cerita bahwa mamanya terlibat dalam perjodohan ini, tapi entah kenapa insting Edwin yakin sekali soal itu---bisa jadi dia salah, tapi... satu jam sebelum Edwin berangkat tadi, sang mama tiba-tiba datang ke apartemen, setelah menanyakan ke mana dia mau pergi, mamanya langsung mengulurkan kemeja lengan panjang Armani hitam yang baru untuk Edwin pakai. Dan, sebelum keluar kamar pun, Mama mengendus pundak Edwin dan menyemprotkan parfum tambahan ke tubuhnya.

Sekarang dia cuma bisa melampiaskan kekesalannya dengan memukul setir mobil yang nggak salah apa-apa.

Begitu sampai di parkiran dan turun dari mobil, dia langsung risih dengan semua tolehan kepala yang tertuju padanya.

Ck! Cewek itu kenapa ngajak ketemuan di restoran fast food begini sih? Dia langsung merasa salah kostum. Dari dinding kaca McDonald, para pengunjung perempuan seolah tidak bisa melepaskan pandangan dari Edwin ketika ia berjalan mendekat ke pintu masuk.

Harusnya tadi ia pakai topi saja supaya bisa menyembunyikan separuh wajahnya.

Pramusaji yang sedang mengelap kaca langsung membukakan pintu untuk Edwin dan memasang senyum termanisnya. "Selamat pagi," sapa gadis itu, wajahnya memerah. Edwin hanya membalas dengan senyuman---keputusan yang salah, karena hanya membuat lesung pipitnya semakin jelas---membuat rona di pipi gadis itu semakin gelap.

Edwin melihat meja kosong untuk dua orang di dekat wastafel dan langsung menuju ke sana. Ia lalu mengirimkan pesan singkat pada nomor yang diberikan Edwin tadi pagi.

"Saya sudah sampai. - Edwin - " ketiknya.

Sent.

*

Bip! Bip!

Si blind date sudah sampai di lokasi yang Ria pilih.

Jantung Ria rasanya berdebar kencang dengan rencana Bobby ini. Dia lagi-lagi menatap kaca kecil di meja kerjanya. Jemarinya kembali mengacak-acak rambut hitamnya yang lurus dan panjang. Sementara tangannya yang lain mencoba membetulkan posisi behel palsu yang dicarikan Bobby via belanja online dan diantar sama ojol.

Janjian jam 8 malam, tapi Ria masih di kantor. Memang sih lokasi pertemuan tak jauh dari situ, tapi keterlambatan ini memang salah satu bagian rencana Bobby.

Dasar jail maksimal, Bobby menawarkan diri mengantarkan Ria ke lokasi pertemuan dan menyuruh Ria meninggalkan mobilnya di kantor. Kalau rencananya berjalan lancar, dan si blind date meninggalkan Ria lagi, cowok itu bersedia menjadi sopir panggilan dan mengantarkannya pulang.

Ria bahkan tidak berganti pakaian. Dia masih memakai baju kerja yang sudah seharian melekat di tubuhnya. Tak ada parfum yang disemprotkan, dan dia tak mau repot-repot memulas kembali makeup-nya. Ria hanya memakai sepatu teplek yang tersedia di kolong meja kerjanya, dan sudah akan bersiap berangkat.

Dia bahkan nggak sikat gigi dulu.

"Semoga si oom-oom genit itu muntah-muntah habis liat lo, Ria," bisik Bobby di meja kerja di sampingnya. Kantor jelas sudah sepi jam segitu, jadi mereka tidak perlu repot-repot berbisik-bisik penuh rahasia.

Entah kenapa, hati Ria nggak tenang dengan semua rencana ini. Jantungnya berdegub begitu kencang dan dahinya mulai berkeringat.

Mungkin sebaiknya dia tidak menuruti saran Bobby.

*

Celingak-celinguk-celingak---

Target terlihat di sudut ruangan. Duduk sendirian. Kumis tebal. Kemeja berkerah tinggi. Celana cutbrai. Sepiring kertas kentang goreng tersaji di meja di depannya.

Ria menunduk dan berdeham pelan. Ia membetulkan kacamata bohongannya yang bulat besar, lalu berbelok ke kanan, dengan mantap menuju meja si oom-oom genit.

Syukurlah, rambut pria itu masih ada. Meski agak tipis dan akarnya memutih semua.

Mungkin sebaiknya ia memesan lebih dulu, baru membawa nampannya ke meja itu. Dan sembari berjalan melewati meja itu, Ria bisa mengamati pria itu lebih jauh. Ponsel jadul dengan layar kecil dan keypad plastik warna putih ada di pangkuan pria itu. Dia membaca tulisan di layarnya dengan jarak agak jauh dan kacamata yang diturunkan ke batang hidung---rabun dekat rupanya. Tapi, setidaknya tubuh pria tua itu sedikit berisi. Mungkin kalau mereka punya anak, dia masih bisa memangku anaknya.

Dih, Ria bergidik sendiri membayangkannya.

Ria memesan menu seadanya, lalu berjalan gugup ke meja itu.

"Permisi, Pak," sapanya.

"Ya?" sahut pria tua itu.

"Saya Ria. Adik iparnya Boni."

Pria itu masih mengernyit bingung. "Boni siapa ya?"

Yah, pikun, Ria hanya bisa mengeluh dalam hati, dan seketika di benaknya langsung terbayang masa depan suram macam apa yang akan ia jalani. Ia menaruh nampannya di meja, dengan senyum ramah berusaha mengingatkan.

"Saya yang tadi Bapak SMS. Bapak bilang sudah sampai."

Pria itu mengernyit semakin dalam. Kacamatanya ia naikkan ke depan mata. "Sepertinya kamu salah orang," kata pria itu, suaranya agar serak.

Ria ikutan bingung.

Di tengah kebingungan itu, seorang pria yang duduk di meja di belakang pria itu berdiri dan berbalik menghadap mereka. Tanpa menoleh, Ria bergeser memberi jalan, mengira pria itu mau memesan makanan. Tapi kok, sudah diberi jalan, dia masih berdeham-deham di belakang Ria.

Akhirnya Ria menoleh.

Perlahan kepalanya mendongak sampai lehernya tertarik lurus. Pria jangkung itu menatap Ria dengan matanya yang sipit dan alis tebal yang datar. Hidung Ria mengendus, lalu mengendus lagi. Dia wangi.

Dan wajah pria itu amat sangat familier!

"Kamu Ria, adik iparnya Boni?" tanya pria muda itu.

"I-iya...."

Pria itu mengernyit bingung. Tatapannya beralih antara Ria dan si bapak-bapak. Ria ikut bergantian menatap si bapak-bapak dan sang dokter.

"Kamu salah meja," ujarnya, ketus. "Aku Edwin, teman lamanya Boni."

Petir! Petirrr!

Kalau ada hujan, kepala Ria pasti langsung disambar petir.

Mata Ria membulat menatap pria itu dari kepala sampai ujung kaki.

Cowok itu dengan tak acuh berbalik memunggungi Ria dan berjalan kembali ke meja di belakang si bapak-bapak. Duduk begitu saja, seolah tak ada apa-apa.

Ria mengikutinya, lebih seperti terpesona dan tubuhnya seolah ditarik oleh daya pikat cowok itu.

Duh! Salah langkah nih Ria.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang