.bab tiga.

301 42 2
                                    

ACARA pembukaan pameran berlangsung lancar.

Erika, kepala redaksi, datang setengah jam sebelum upacara pembukaan. Satu tangannya terjulur, sementara tas tangan lima puluh jutanya menggantung di lengan persis. Dialah sang Devil Wears Prada di kantor Ria. Tatapan Erika seperti kaca pembesar yang menelusuri setiap jengkal booth, mencari-cari kesalahan anak buahnya, tapi bisa berubah 180 derajat di depan para relasi. So far, belum ada badai yang datang. Cuma komentar ketus soal kualitas rak yang dipakai dan warna cat yang tidak persis dengan warna desain tiga dimensi dalam rapat terakhir.

Sisa poinnya lebih ditentukan dari kelancaran acara para pengarang di panggung-panggung yang disediakan. Soal penjualan buku dalam pameran, mereka cuma bisa banyak-banyak berdoa dan berpasrah pada tim marketing.

Para pengarang bestseller akan memenuhi jadwal sepanjang akhir pekan untuk acara talkshow. Jadi, redaksi juga dikaryakan sepanjang weekend.

Bekerja di bawah pelototan Erika rasanya seperti berjalan sembari digayuti batu besar di kedua kaki. Ada salah sedikit saja, respons Erika seperti ada tsunami menghantam Pulau Jawa dan membumihanguskan gedung venue.

Acara tahunan itu sudah dinantikan karena menjadi ajang pertemuan sesama anggota "fandom" dan dengan pengarang yang mereka idolakan. Ria dan Bobby kebagian jadi seksi repot memastikan semua kebutuhan pengarang terpenuhi. Jadi, mereka harus mondar-mandir, bahkan melewatkan jam makan siang dan hanya sempat duduk selama lima menit untuk setiap sesi talkshow. Apalagi saat itu pengunjung membludak.

Baru jam enam sore, kepala Ria rasanya sudah mau pecah, padahal pameran masih dibuka hingga jam sembilan malam. Pening yang menusuk-nusuk pelipis sejak malam sebelumnya, belum juga hilang. Malah rasanya seperti ada bambu runcing yang ditekankan ke pelipis, dan perlahan tapi pasti mulai menusuk dan membolongi kepala.

Ria bersandar di dinding samping panggung besar di luar booth, mencoba meredakan nyerinya dengan memejamkan mata kuat-kuat. Tapi tak juga berkurang. Earpiece yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan tim panitia mulai membuat daun telinganya seperti memar. Ia melepasnya, mengira earpiece itu menjadi sumber sakitnya. Sembari menepuk bahu panitia terdekat, Ria memohon diri untuk mengambil minum ke ruang panitia.

Motivator andal yang sedang mengisi acara di panggung itu terdengar menggebu-gebu mengajari penontonnya cara mengatasi kegagalan, termasuk soal gagal dalam hal cinta. Ria mengira, mungkin ceramah si motivator juga menjadi salah satu penyebab sakit kepalanya, jadi tak ada salahnya ia melarikan diri sejenak ke ruang panitia.

Pandangannya memang tidak mengabur. Ia berhasil sampai di ruang panitia dengan selamat. Tapi bambu runcing yang menusuk kepalanya terasa semakin tajam. Ia buru-buru sembunyi ke sudut terjauh ruangan, berjongkok di sana, dan menekan kedua pelipis dengan tangan.

Ria belum pernah merasakan sakit yang seperti ini.

Astaga... apakah ini artinya dia akan mati? Apa ini rasanya ketika tubuhmu sakit parah dan memberitahumu supaya menyiapkan diri sebelum waktumu habis?

Ia membenturkan kepala satu kali ke dinding. Sakitnya di pelipis kanan. Tapi ke mana pun ia mencoba menggerakkan kepala, membaringkannya di lantai, menempelkannya ke dinding, menekannya dengan kedua tangan, sakitnya tak juga mereda.

Apakah ini gejala penyakit parah yang ditakuti banyak orang itu? Apakah nanti ia akan mendengar vonis berupa stadium satu, dua, atau akhir? Ia tahu menurut cerita almarhum Papa, mamanya juga meninggal ketika Ria berumur sepuluh tahun gara-gara sakit kepala hebat semacam ini.

Pikiran Ria berkelana ke mana-mana. Membuat tubuhnya mendadak dingin karena cemas.

Tiba-tiba suara Bobby terdengar memanggil namanya. Begitu dekat, sampai ia merasakan tubuhnya ditarik ke arah berlawanan, menjauhi dinding, dan kedua tangannya dipaksa turun, berganti tangan besar dan hangat Bobby yang mendekapnya.

"Lo kenapa?"

Ia tidak tahu seperti apa penampilannya sekarang. Rambutnya pasti awut-awutan, dan dahinya penuh kerutan yang dalam. Ia bahkan tidak sanggup menjawab Bobby, hanya bisa meremas tangan pria itu dan berteriak dalam hati supaya dia jangan pergi.

Tidak boleh ada kehebohan, Ria dan Bobby tahu betul soal itu. Untuk Erika, semua tentang image yang sempurna. Semua harus serba high-class dan tanpa cela. Jadi, ia tahu, sakit kepalanya ini, separah apa pun, asalkan ia masih dalam kondisi sadar, ia tidak boleh sampai menarik perhatian pengunjung. Dan jangan sampai Erika tahu.

Bobby berbisik menenangkan, menuntunnya perlahan. "Tarik napas, dan buka mata. Kita ke rumah sakit ya. Tapi lo harus bisa berdiri. Bersandar aja sama gue. Bisa, kan?" ujar pria itu, sembari memberi instruksi pada panitia lain di ruangan untuk merahasiakan ini dari siapa pun, sebisa mungkin menjaga agar acara tetap berlangsung tanpa gangguan.

Rumah sakitnya tidak jauh dari venue. Jika tanpa kemacetan, mungkin hanya lima belas menit kalau naik mobil. Setidaknya, Bobby bisa mengantar Ria ke sana, lalu kembali ke venue sebelum pameran berakhir hari itu.

Ria mencoba berdiri tanpa bersandar pada Bobby. Ia benar-benar tak ingin mengambil risiko menarik perhatian siapa pun. Ia hanya menggenggam tangan Bobby, atau lebih tepatnya meremas tangan pria itu, lalu mereka berjalan lewat pintu belakang venue, menuju mobil Bobby yang diparkir tak jauh dari situ.

Bayangan muram semakin memenuhi benak Ria.

Penyakit mengerikan macam apa yang menimbulkan sakit kepala sebesar ini? Vonis apa yang akan ia dengan di rumah sakit nanti?

Apakah usianya tidak akan lama lagi?

Oh astaga, ia bahkan belum menikah. Belum punya keturunan. Ia hanya sempat merasakan mengasuh anak-anak Jacqueline beberapa tahun belakangan ini. Ia bahkan belum bertemu jodohnya sendiri. Tidak ada pacar yang mengantarnya ke rumah sakit dengan cemas.

Atau mungkin, dalam hidup ini memang ada beberapa orang yang sampai mati pun tidak berjodoh dengan siapa pun? Apakah ia salah satu dari mereka?

Ini benar-benar mimpi buruk.

S1ngleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang