10. Dikhianati atau Mengkhianati?

1K 58 7
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Tidak pernah terlintas dalam benakku akan dikhianati apalagi mengkhianati karena keduanya adalah hal menyakitkan dan tidak pernah aku inginkan.

Diary Sang Bidadari
Rani Septiani

***

Aku melanjutkan tidur dengan memejamkan mata, sementara Kak Rafka tadi masih sibuk dengan ponselnya padahal dia bilang mau istirahat. Aku ingin mengajaknya mengobrol pun tidak jadi karena takut menganggu waktunya. Kenapa jadi seperti ini? Aku dan Kak Rafka saling mencintai, bersama dalam ikatan pernikahan, berada dalam satu rumah dan ruangan yang sama. Tapi rasanya ada tembok pembatas yang sangat tinggi dan menjadi penghalang antara kami. Semua percakapan seolah hanya formalitas, dan itu ... terasa sangat hambar. Tidak ada lagi kehangatan dan canda tawa seperti dulu. Aku sangat rindu hubungan kami yang dulu. Ah, membayangkannya saja membuat kedua mataku memanas. Segera aku melenyapkan berbagai pikiran yang menghantui, jika aku lanjutkan memikirkan hal itu nanti yang ada tangisanku semakin menjadi dan bisa-bisa Kak Rafka mendengar isak tangisku.

Bermenit-menit berlalu, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur lagi. Tenggorokanku terasa kering, aku ingin meminum air putih. Aku membuka mata dan mendapati Kak Rafka sedang tetidur dengan pulas membuat aku tersenyum. Aku bangkit dari kasur secara perlahan karena takut mengusik tidurnya Kak Rafka. Aku berjalan ke nakas di samping Kak Rafka, tepat saat aku sampai layar ponsel Kak Rafka menyala menampilkan notifikasi chat di WhatsApp. Aku padahal tidak berniat untuk membaca pesan itu, tapi sebagian chatnya di notifikasi itu tidak sengaja terbaca olehku. Chatnya seperti ini 'gue kangen jadi nggak...'

Gue kangen? Maksudnya apa, saat aku akan membaca siapa nama pengirimnya, Kak Rafka berbalik badan membuat aku segera menjauh dari nakas. Niatku tadi ingin mengambil ponsel dan mengecek chat dari sahabatku, malah tidak jadi. Sebentar, perasaan tadi foto profil yang mengirim pesan itu perempuan karena rambutnya panjang. Dan ... setahuku kalau cowok tidak mungkin kan to the point bilang 'gue kangen?'

Perasaanku mulai tidak enak, ada apa ini ya? Kak Rafka sedang tidak menduakan dan mengkhianati cinta kami kan? Astaghfirullah. Kenapa aku malah jadi mikir seperti itu? Nggak boleh berpikiran kayak gitu Nahla ... ingat, rasa saling percaya yang udah dibangun jangan sampai runtuh hanya karena prasangka yang belum tentu benar. Kebiasaanku akhir-akhir ini adalah menjadi overthinking jika menemui sebuah prasangka, membuat aku jadi merasa cemas dan merasa bersalah.

"Astaghfirullah." Untuk kesekian kalinya aku beristighfar lalu mengusap wajah. Mencoba mengusir berbagai macam kemungkinan yang muncul dalam benakku.

Kami sudah jarang komunikasi, sekarang seperti orang asing, dan ditambah lagi ada persoalan seperti ini. Bagaimana perasaanku tidak campur aduk? Aku gelisah dan merasa tertekan. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan mengenai momongan selalu aku terima. Entah itu dari teman, keluarga, dan tetangga. Mau bagaimana lagi? Aku juga tidak bisa menyalahkan mereka, tapi semakin sering mendapat pertanyaan seperti itu apalagi pertanyaan yang terkesan menyalahkan aku atau menyudutkan itu terdengar menyakitkan di telingaku. Dari pada bertanya, kenapa mereka tidak memilih untuk mendoakan saja?

Setelah mengambil air putih, aku duduk di meja makan dan mulai meneguk air itu sebanyak 4 kali hingga tandas. "Alhamdulillah."

Aku memijat kening, semakin aku memikirkan. Itu hanya akan semakin membuat aku tertekan. Tapi aku sulit menghilangkan berbagai macam pemikiran itu dari benakku. Memang benar, menikah itu bukan hanya senang-senangnya saja, tapi harus sudah benar-benar siap segalanya termasuk menyiapkan mental dan kesabaran yang tidak ada batasnya. Jika aku bercerita pada orang tuaku, aku takut mereka mengkhawatirkanku. Bercerita pada sahabatku? Ini masalah rumah tangga kami, aku tidak mau membebani dia apalagi dia sedang mempersiapkan pernikahannya juga. Bercerita pada mertuaku juga tidak mungkin, aku tidak mau mereka tahu kalau rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja.

"Apa iya benar berkhianat?" gumamku sembari memainkan gelas di atas meja makan.

"Siapa yang berkhianat sayang?"

Deg

Kak Rafka? Aku segera menoleh dan tersenyum. Sejak kapan Kak Rafka ada di sana? Bukankah dia tadi sedang tidur?

Aku menggelengkan kepala. "O-oh itu, bukan apa-apa, Kak. Hehe."

Dia mendekat dan duduk di kursi samping kananku. "Kalo Kakak nggak mungkin ... berkhianat kan?" tanyaku pelan.

Kak Rafka tampak terkejut dengan pertanyaanku. Astaghfirullah. Apa yang sudah kamu tanyakan Nahla. Kenapa kamu malah bertanya seperti itu pada suamimu sendiri? Apa itu artinya aku sedang meragukan kesetiaan Kak Rafka?

"Hehe. Gak usah dijawab, Kak. Nahla yakin kalo Kakak setia banget sama Nahla. Itu pertanyaan iseng aja," ucapku cepat karena Kak Rafka tampak tidak akan memberi jawaban dari apa yang aku tanyakan.

"Kakak tidak mungkin menduakan kamu sayang. Kamu ingat kan dulu sebelum kita menikah? Kakak sudah berjanji pada orang tua kamu untuk menyayangi dan menjaga kamu. Termasuk berjanji untuk tidak menduakan kamu," jawab Kak Rafka membuat aku merasa bersalah.

Mendengar perkataan Kak Rafka, memang ada sedikit rasa tenang yang aku rasa tapi aku malah menangis. Seolah ucapannya hanya sebatas kata yang kehilangan maknanya. Aku merasakan hambar dari ucapan Kak Rafka. Sebenarnya ada apa dengan aku?

***

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama dan shalat tepat waktu yaa.

Diary Sang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang