8. Salah Paham

682 53 1
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Rasa percaya itu ibarat sebuah kaca. Jika dihancurkan, tak akan bisa sama seperti semula. Dan, selalu ada kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya, bukan malah mengulang kesalahan yang sama. Tetapi berusaha agar tak mengecewakan lagi.

Diary Sang Bidadari
Rani Septiani

***

Aku turun dari taksi dan berjalan menuju sebuah kafe. Sebelum masuk, aku membuka tas dan mengambil ponsel. Lalu membaca nama kafe yang diberitahukan Sinta dan benar kafe ini. Sebelum memasukkan ponsel, perhatianku tertuju pada chat dari Kak Rafka. Aku ada janji dengan teman semasa SMA untuk bertemu karena ia akan mengantar undangan pernikahannya. Tadi pagi aku sudah izin pada Kak Rafka dan dia mengizinkanku.

Kak Rafka
Assalamualaikum, bidadari.
Kakak tidak jadi makan di kafe deket kantor tapi di kafe lain soalnya Bayu ngajak ketemuan.

Aku tersenyum membaca pesan itu. Aku mulai mengetikkan balasan untuk Kak Rafka.

Nahla
Waalaikumussalam Kak.
Iyaa nggak papa Kak. Selamat makan siang suamiku 😘

Aku terkekeh saat melihat emoticon yang aku pilih. Baru kali ini mengirim emoticon itu pada Kak Rafka. Malu sekali rasanya. Akhirnya aku masuk ke dalam kafe ini. Suasananya sangat nyaman dan tidak bising. Senyumanku kian mengembang tetapi seketika senyuman itu luntur.

"Kak Rafka? Itu Kak Rafka kan? Bukannya tadi Kakak bilang mau ketemu Kak Bayu. Kenapa malah sama perempuan?" Aku berkata pada diri sendiri lalu tangan kananku memegang dada yang terasa sesak. Semua kemungkinan bermunculan dalam kepala membuat aku merasa pening dan semakin sesak.

Aku balik badan secara tiba-tiba hingga tanganku menyenggol waitress yang sedang membawa nampan makanan.

Brakk

"Astaghfirullah." Aku sangat terkejut. "Mbak ... saya minta maaf ya. Saya nggak sengaja. Biar saya ganti aja ya ini."

Aku mengeluarkan uang berwarna merah sebanyak 3 lembar dari dompet dan memberikannya pada waitress itu. Waitress itu pun meminta maaf dan mengucap terima kasih. Aku langsung berlari ke luar kafe karena takut Kak Rafka melihatku. Aku berlari menyusuri trotoar, menyesali sikapku tadi. Seharusnya aku tidak seceroboh itu, kasian waitress itu. Bagaimana jika ia dimarahi atasannya?

Aku menemui tempat duduk di bawah pohon dan duduk di sana. Akhir-akhir ini aku merasa ada yang berbeda dari Kak Rafka. Lalu hari ini aku melihat Kak Rafka makan siang bersama perempuan lain. Kenapa rasanya sesak seperti ini ya?

Jangan suudzon dulu, Nahla. Aku yakin kak Rafka pasti memiliki alasan. Entah apa alasannya, alasan yang membuat aku tersenyum bahagia atau justru terluka karenanya. Aku jadi nggak mau nyari tahu alasannya tapi aku nggak tenang kalau membiarkannya. Jadi haruskah aku mencari tahu dengan risiko terluka atau diam, melupakan, dan berpura-pura baik-baik saja?

***

Aku duduk di depan meja rias, memperhatikan cermin. Rambut panjang tergerai, bibir yang sedikit pucat dan mata yang sayu. Akhir-akhir ini banyak hal yang aku pikirkan. Membuat aku tidak fokus saat mengerjakan sesuatu. Bahkan tadi pagi saat memotong sayuran, pisau itu tidak sengaja mengenai jari telunjuk.

Tangan kananku menyentuh permukaan perut yang tertutup piyama tidur. "Aku begitu merindukan kehadiran sosok seorang anak. Pernikahanku dengan Kak Adnan juga hampir memasuki sepuluh bulan. Tetapi tanda-tanda kehadiran pelengkap kebahagiaan kami belum Nahla rasakan." Mataku berkaca-kaca. Aku terus mengusap permukaan perut yang masih rata. "Nahla ingin menjadi seorang ibu. Ingin dipanggil Bunda."

Aku juga teringat beberapa pertanyaan yang dilontarkan keluarga kak Rafka. Rata-rata mereka bertanya, apakah aku sudah hamil atau belum. Awalnya aku biasa-biasa saja ditanya seperti itu. Tapi semakin kesini, pertanyaan itu menjadi begitu sensitif untukku. Cara mereka bertanya pun, seolah menyalahkan padaku kenapa belum hamil hingga saat ini.

"Sayang," panggil Kak Rafka sembari menyentuh bahuku membuat aku terkejut. Sejak kapan Kak Rafka ada di sini?

"Iyaa Kak?" jawabku sembari nyengir. Bahkan aku tidak menyadari kapan Kak Rafka masuk ke kamar.

Kak Rafka mengusap pucuk kepalaku. Aku menatap pantulan wajahnya di cermin. Teringat kejadian 1 bulan yang lalu di kafe. Hingga saat ini, aku tidak mengetahui tentang alasan Kak Rafka bertemu dengan perempuan itu. Karena saat aku sudah mengumpulkan keberanian untuk bertanya, disaat itu pula bukan waktu yang tepat.

"Kenapa ngelamun sayang?" tanya Kak Rafka lalu menarik satu kursi dekat nakas.

Dia memutar tubuhku agar menghadap padanya. Aku hanya tersenyum. Bingung ingin memulai pembicaraan dari mana. Kenapa rasanya secanggung ini? Kak Rafka juga selalu sibuk belakangan ini. Sehingga komunikasi diantara kami agak berkurang. Biasanya sebelum jam 7 Kak Rafka sudah berangkat dan akan tiba di rumah pukul 9 malam.

Kak Rafka menyentuh pipi kananku membuat aku kembali tersadar. Aku menatap Kak Rafka, dia sedang tersenyum.

"Nahla nggak papa Kak. Mungkin lagi kurang fokus aja." Aku berusaha meyakinkan.

Tangan kanan Kak Rafka turun dari pipiku dan menggenggam tanganku. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, bilang aja sayang. Jangan kamu pendam sendiri. Ada Kakak di sini."

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Dengan menatap wajahnya saja, rasa cinta ini kian bertambah. Aku takut, rasa cinta ini juga yang nantinya menyakitiku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. "Boleh Nahla peluk Kakak?"

Kak Rafka tidak menjawab, tetapi dia langsung bangkit dan memelukku dengan erat. Air mataku tumpah, beban yang terasa berat di pundakku kini rasanya ikut luruh bersama air mataku.

"Nggak usah minta izin. Langsung peluk aja sayang." Kak Rafka mengusap belakang kepalaku dan mencium pucuk kepalaku beberapa kali.

Nyaman. Satu kata itu mewakili perasaanku saat ini. Bolehkah waktu berhenti? Aku ingin tetap seperti ini. Berada dalam pelukan Kak Rafka.

"Kamu nangis sayang? Cerita sama Kakak ya kalau ada sesuatu," ucap Kak Rafka. Mungkin air mataku mengenai bajunya sehingga dia mengetahui kalau aku menangis.

"Tolong jangan dilepas ya Kak pelukannya. Jangan pernah tinggalin aku. Aku mau terus sama-sama Kakak" ucapku dengan terbata.

"Hey, sayang. Ada apa sebenarnya? Kakak akan tetap disini. Nggak ada yang ninggalin kamu."

Kak Rafka melonggarkan pelukannya dan mengusap air mata di kedua pipiku dengan ibu jarinya.

"Kakak janji ya. Apapun yang terjadi tolong jangan pernah tinggalin Nahla sendirian," ucapku lagi. Entahlah, saat ini aku merasa sangat takut kehilangan Kak Rafka.

Kak Rafka mencium keningku lama. Air mataku menetes lagi. Kenapa dadaku terasa sangat sesak?

"Saya akan tetap di sini. Dan tetap akan mencintai kamu sampai kapanpun sayang."

Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu suamiku. Bahwa cintaku hanya untukmu dan tetap hanya untukmu.

***

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.

Diary Sang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang