بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
***
Tidak pernah ada pembenaran untuk sebuah perselingkuhan. Apa pun alasannya itu.
Diary Sang Bidadari
Rani Septiani***
Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mataku membuka secara sempurna, pandanganku sedikit buram. Sedang menyesuaikan dengan cahaya yang ada. Aroma yang begitu khas menyapa indera penciumanku membuat aku memutar ingatan pada kejadian beberapa saat yang lalu hingga membuat aku berada di sini. Tidak berselang lama, air mata tiba-tiba menetes sebagai pertanda aku sudah mengingat semuanya. Hari ini kejadian yang tidak pernah aku alami dan tidak pernah terlintas dalam benakku terjadi. Suamiku ketahuan selingkuh dan aku berada di rumah sakit. Seumur hidupku, baru kali ini aku terbaring lemah di atas brangkar, membuat aku merasa tak berdaya.
"Alhamdulillah, Kakak udah sadar," ucap seseorang membuat aku tersadad bahwa aku tidak sendirian di ruangan ini.
Aku melihatnya, dua anak yang tadi di depan restoran bersama seorang perempuan muda yang perkiraan usianya lebih muda dua tahun dariku. Aku tersenyum. "Adik-adik ya yang udah bawa Kakak ke sini?" tanyaku memastikan.
"Iyaa, Kak. Tadi kita mau anter Kakak kita ke dokter, pas lewat liat Kakak lagi pingsan. Orang di sana gak pada berani nolongin Kakak karena takut disangka mereka yang nyakitin Kakak karena darah yang berlumuran di tangan dan baju. Aku sama Kakak langsung aja pijam gerobak tetangga dan bawa Kakak ke rumah sakit."
Aku tersenyum dan meneteskan air mata, mereka baik sekali. "Terima kasih ya Dek. Maaf jadi ngerepotin."
"Sama-sama, Kak. Gak repot kok."
"Kamu udah periksa?" tanyaku pada Kakak perempuannya.
"Belum, Kak."
"Dek tolong panggilin Dokter ya," ucapku pada adiknya.
Beberapa saat pun Dokter datang. Aku menatapnya. "MasyaAllah. Tiara?" panggilku tidak menyangka. Dia adalah teman semasa SMA, dia memang pernah bercerita ingin menjadi dokter tapi aku tidak tahu kalau dia menjadi dokter di rumah sakit ini.
"Iyaa Nahla. Kita itu udah lama tidak ketemu. Sekalinya ketemu, kamu jadi pasien saya. Tadi saya kaget banget waktu kamu datang dengan banyak darah kayak gitu. Kemana suamimu?" tanyanya lalu memeriksaku.
Aku berusaha tidak merubah mimik wajah, berusaha untuk tetap tersenyum walau hati ini terasa sangat sakit. Dulu, ketika teman-temanku menanyakan suamiku maka aku akan tersipu malu dan merasa bahagia. Berbeda dengan saat ini, terasa sangat menyakitkan.
"Beliau ada ... baik-baik aja. Main ke rumah Tiara. Eh, Dokter Tiara maksudnya," ralatku sembari terkekeh.
"Insyaa Allah, nanti saya main. Ini gimana kamu bisa berdarah gitu terus suami kamu udah tahu?"
"Ada sedikit insiden aja tadi. Beliau lagi sibuk sama ... orang penting." Lidahku kelu menyebutkan orang penting yang sebenarnya adalah orang yang spesial di hati Kak Rafka.
"Saya udah boleh pulang kan?" tanyaku lagi.
"Iyaa boleh."
"Minta tolong untuk diperiksa ya adik itu soalnya lagi sakit. Biayanya biar saya yang tanggung semua."
Setelah menyelesaikan administrasiku dan administrasi adik perempuan itu, serta berpamitan pada mereka. Aku yang sedang berjalan di depan rumah sakit berhenti, aku ingin pulang. Tapi pulang kemana? Rumah kami yang dulu selalu membuat rindu saat berada di luar rumah, kini adalah tempat yang sangat ingin aku hindari. Sudah tak ada lagi ketenangan di sana, hanya menyisakan bayangan menyakitkan yang ingin aku lupakan. Tapi aku tidak bisa kan melupakannya begitu saja? Pulang ke rumah orang tuaku juga tidak mungkin karena pasti mereka akan bertanya ada apa denganku? Ditambah tangan yang diperban pasti akan membuat khawatir.
Setibanya di depan gerbang, aku melihat mobil Kak Rafka sudah terparkir. Aku menarik napas dan mengembuskannya. Rasa sesak itu semakin menjadi-jadi.
Aku mengucap salam dan masuk ke dalam rumah. Kak Rafka berlari menuruni anak tangga dan langsung memelukku. Aku diam tidak bereaksi, ingin memberontak pun rasanya. Aku menangis. Pelukan ini adalah pelukan yang sangat aku rindukan, tapi aku merasa sakit karena mungkin pelukan ini bukan hanya diberikannya untukku saja, tapi sudah dibagi untuk perempuan itu.
"Lepas, Kak," ucapku lirih.
"Kak ... saya bilang lepas."
Masih tidak mendapat respon juga. "Kak saya bilang lepas pelukannya," teriakku sambil berusaha melepaskan pelukan dari Kak Rafka, tanganku memukuli dada bidangnya agar pelukan ini melonggar tapi dia malah mengeratkan pelukannya. Akhirnya aku menginjak kakinya, membuat Kak Rafka melepas pelukan dan aku langsung berlari menuju kamar kami di lantai atas. Ternyata Kak Rafka mengejar, tepat saat aku akan menutup pintu kamar, Kak Rafka sudah tiba dan menahan agar pintu tidak ditutup.
"Tolong jangan ditutup pintunya sayang. Kita bicarakan semuanya baik-baik," ucap Kak Rafka membuat aku mual.
"Aku jijik denger panggilan Kakak." Saya sudah berganti jadi aku saat berbicara dengan seorang suami, berarti aku sudah sangat marah saat ini.
"Tolong biarin Kakak masuk dan kita selesaikan semua ini agar nggak salah paham sayang," ucapnya lagi dengan suara lembut membuat aku merasa sakit.
"Berhenti panggil aku sayang saat panggilan itu sudah ternodai karena panggilan itu udah Kakak pakai untuk manggil pelakor itu!" teriakku muak sembari menjauh dari pintu.
Aku duduk di tepi ranjang sembari menangis. Tubuhku sudah sangat lelah, batinku apa lagi. Mau apa lagi Kak Rafka?
Kak Rafka berjongkok di hadapanku sembari mengenggam kedua tanganku yang berada di atas lutut. Aku sangat tidak mau menatap matanya, karena itu hanya akan membuat aku semakin terluka.
"Kakak selingkuh kan?" pertanyaan yang seharusnya tidak aku tanyakan sebab aku pun sudah mengetahui jawabannya apa.
"Nggak sayang," jawab Kak Rafka.
"Gak pernah ada pembenaran untuk perselingkuhan. Apa pun alasannya itu!" ucapku tegas sembari terisak.
"Jaga bicaramu! Dan jangan menuduh sembarangan!" jawab Kak Rafka dengan suara tinggi yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, membuat tangisanku kian pecah.
Aku bangkit dan berjalan menuju nakas bermaksud menjauh dari Kak Rafka. "Stop Kak! Aku gak habis pikir, disaat kayak gini Kakak masih coba buat ngelak. Aku tanya sekali lagi, Kakak selingkuh kan?" Kenapa malah pertanyaan ini lagi yang terlontar dari lisanku. Aku masih berharap, bahwa semua ini hanya mimpi. Bahwa Kak Rafka tidak pernah selingkuh. Tapi fakta yang ada sudah mengatakan bahwa Kak Rafka sudah mengkhianati cinta kami.
"Kenapa diem Kak?! Bener kan berarti?"
"Aku udah gak ada artinya lagi kan di hidup Kakak?" tanyaku lirih bersamaan dengan lututku yang melemas.
"Kenapa Kakak tega lakuin ini sama aku?" tanyaku lagi dan Kak Rafka masih diam. "Atau jangan-jangan Kakak emang gak pernah cinta sama aku? Semua yang Kakak lakuin selama ini untuk aku hanya sandiwara aja? Iyaa Kak?" tanyaku lagi dan Kak Rafka menggelengkan kepala.
"Saya cinta sama kamu Nahla."
"Omong kosong! Kalo Kakak cinta sama aku, kenapa Kakak selingkuh? Kenapa Kakak dengan teganya membagi cinta itu untuk perempuan lain? Kakak ngerti gak sih! Aku sakit Kak, aku hancur saat tahu Kakak selingkuh. Aku ngerasa gagal jadi seorang istri. Sakit, Kak. Hati aku sakit banget."
"Kakak adalah orang yang aku percaya, orang yang aku cintai dan sayangi sepenuh hati. Tapi nyatanya Kakak malah membagi cinta itu untuk perempuan lain."
"Sudah sejauh mana Kakak sama perempuan itu?" tanyaku membuat Kak Rafka yang hendak berbicara mematung di tempat dan langsung bungkam.
Kenapa aku menanyakan pertanyaan ini? Pertanyaan yang jawabannya hanya akan membuat aku semakin merasa sakit. Kenapa Kak Rafka harus membuat situasi serumit dan semenyakitkan ini? Aku tidak pernah berniat memperbaiki hubungan yang dirusak karena perselingkuhan karena itu adalah kesalahan yang fatal dalam rumah tangga menurutku.
***
Nyesek ya part ini. 😭😭
Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.
Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama dan shalat tepat waktu yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Sang Bidadari
Spiritual[Spiritual - Romance] Update : Setiap Hari Saling mencintai dalam diam lalu disatukan dalam ikatan pernikahan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana rasa bahagia yang tercipta. Tapi semua itu sirna dikala suatu hal tak terduga menimpa keluarga kecil yan...