بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
***
Rasa ini telah tumbuh sejak pandangan kita bertemu pertama kali. Walau tatapan itu hanya sesaat, tapi nyatanya cinta itu sudah menetap dalam hati. Menjaga dalam diam, terbalut ketaatan pada Sang Ilahi.
~Nahla Khairin Alifya~Diary Sang Bidadari
Rani Septiani***
Kami duduk berhadapan di gazebo belakang rumah. Tetapi aku masih saja setia menunduk, rasanya aku tidak kuat jika harus menatap lelaki di hadapanku. Ditambah lagi, sepertinya kedua pipiku sudah semerah tomat saat ini.
"Mungkin, ini seperti sebuah ... sebentar. Saya nggak tahu ini masuk ke dalam kategori pernyataan cinta atau sebuah pengakuan," katanya membuka obrolan diantara kami. Aku mendongak dan tersenyum sekilas, ternyata ia masih saja menatapku. Dan akhirnya aku kembali menundukkan kepala dan itu berhasil membuatnya terkekeh. Aku sendiri tidak tahu, apa ada yang lucu?
"Ternyata kamu masih saja sama seperti dulu. Oke kalau begitu, saya lanjutkan. Mungkin kamu nggak pernah tahu soal ini. Kalau saya sebenarnya sudah jatuh hati sejak pertama kali kita bertemu di perpustakaan, di hari pertama masuk SMA. Pada saat itu kamu sedang mencari buku untuk tugas merangkum, tetapi kamu limbung. Membuat beberapa orang mendekat ingin menolong, tetapi kamu menolak semua bantuan dari teman laki-laki. Sampai teman yang tadi datang bersamamu membantu kamu berdiri. Satu fakta yang aku tahu saat itu. Bahwa kamu, sedang sakit."
Aku masih menunduk mendengarkan ceritanya, hingga ia menarik napas dan melanjutkannya, "Dan sejak saat itu, saya jadi tertarik dengan segala hal yang berkaitan dengan kamu. Dan, kamu saya sebut sebagai mutiara."
"Mutiara?" ulangku sembari menatapnya.
"Iya, mutiara. Kamu cantik dengan segala kebaikan dari hatimu. Kamu terjaga oleh sinar yang begitu terang. Sehingga sinar itu bukan menjadikanmu pusat perhatian. Tapi mampu menundukkan pandangan setiap ikhwan. Termasuk saya. Saya mencintaimu, tetapi saya lebih memilih diam. Karena saya tahu, perempuan sepertimu itu diperjuangkan dengan akad dan diberi mahar. Bukan dengan sebatang cokelat dan seikat mawar. Bukan dengan hubungan bernama pacaran tapi dengan ikatan pernikahan. Kamu yang terjaga dan harus mendapatkan dia yang terjaga pula."
"Dan, saya bersyukur karena telah terpilih untuk mendapatkan mutiara terjaga itu."
Dia mengakhiri ceritanya lalu mengusap pucuk kepalaku. Aku mendongak dan tersenyum, tanpa aku sadari sebulir air mata mengalir di kedua pipiku. Ini kali pertama seorang lelaki menyatakan perasaannya padaku. Dan, ini kali pertama juga ia yang aku cinta sejak SMA mengungkapkan rasa cintanya. Ternyata cintaku selama ini tidak bertepuk sebelah tangan.
Aku memberanikan diri menatapnya. Pasalnya ini baru memasuki hari ketiga setelah akad dan resepsi pernikahan kami. Jadi, aku masih sangat malu jika berada di dekatnya apalagi menatap matanya.
"Mau peluk?" tanyanya membuat aku membulatkan kedua mata. Bagaimana bisa dia mengetahui keinginanku. Aku mengangguk pelan sembari menggigit bibir bawahku karena gugup.
Ia maju untuk mendekat dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya. Hangat dan tenang, itu yang aku rasakan saat ini. Bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku tersenyum, sepertinya dia pun sama gugupnya denganku. Aku mendongak menatap wajahnya. Tetapi dia selalu bisa menutupi kegugupannya dengan memasang senyuman yang cool.
"Kalau mau dipeluk boleh banget. Kan udah halal," katanya sembari terkekeh. Aku diam saja karena bingung mau menanggapi apa. Karena yang diucapkannya memang benar adanya.
"Ini yang keempat kalinya saya peluk kamu. Yang pertama itu saat foto setelah akad nikah. Yang kedua saat foto di acara resepsi. Yang ketiga waktu malam--"
Aku segera memotong ucapannya. Sebelum dia menyebutkan hal itu. "Kakkkk." Aku menyembunyikan wajah di dada bidangnya. Pasti saat ini wajahku sudah memerah karena malu.
Berbeda denganku, dia malah terkekeh saat melihat responku. Benar-benar lelaki ini. Dia adalah lelaki yang selalu tampil sederhana. Kesederhanaan dan kedermawanannya yang menarik perhatianku. Ya, dia adalah lelaki yang berhasil membuatku jatuh hati pada pandangan pertama saat dia memasuki kelas saat MPLS.
Aku sedang sibuk mencari botol tumbler di dalam tas, tetapi tidak berhasil menemukannya. Detik selanjutnya aku mendesis. Lupa kalau botol itu aku tarus di atas meja makan dan tidak aku masukkan ke dalam tas karena aku mendengar ponselku berbunyi. Sehingga aku langsung bergegas mengambil ponsel di kamar dan mengambil tas lalu berangkat ke sekolah.
"Dewi masih lama nggak ya ini bel masuknya? Aku mau ke kantin beli air mineral." Aku bertanya pada teman yang duduk denganku.
"Masih ada waktu lima menit nih. Beli aja, dari pada kamu dehidrasi nanti. Mau aku temenin?" tawarnya setelah memperhatikan jam berwarna silver di lengan kirinya.
"Oke. Aku ke kantin dulu ya. Nanti kalau udah ada kakak osis yang masuk ke kelas tolong izinkan aku kalau belum dateng. Aku pergi sendiri aja."
Setelah mengatakan itu aku segera melesat menuju kantin. Beruntung kelas MPLS yang aku tempati di lantai bawah sehingga aku tidak perlu lelah naik turun tangga.
Aku kembali ke kelas dengan napas naik turun. Pintu kelas sudah ditutup, pertanda kakak osis sudah berada di dalam kelas. Jantungku berdebar cepat.
Tok tok tok
Aku menyembulkan kepala. "Assalamualaikum." Tatapanku tertuju pada seorang lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih yang sedang menulis sesuatu di papan tulis. Tetapi kegiatannya terhenti karena dia menoleh ke arahku. Aku terpaku. Jantungku yang tadi sudah berdetak normal. Kini bertingkah lagi.
Deheman kakak osis yang sedang berdiri di dekat meja guru memutus kontak mata diantara aku dan kakak osis yang sedang menulis di papan tulis. Tadi aku sempat membaca name tag nya. Dia bernama Rafka Shaquille Zhafran.
Lelaki yang menjabat sebagai wakil ketua osis itu adalah kakak kelasku. Dan kini menjadi suamiku.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Kak Rafka sembari menunduk untuk melihat wajahku.
"Nahla keinget waktu kita pertama kali ketemu," aku berkata jujur.
"Nahla ... siswi lugu dan polos yang waktu itu telat masuk ke kelas karena membeli air mineral di kantin. Saking gugupnya sampai salah kursi." Kak Rafka menjelaskan sembari tersenyum geli. Sontak aku membulatkan kedua mata dan melepas pelukannya.
"Kakak tahu dari mana kalau aku salah kursi?"
Pada saat itu aku memang sangat gugup karena semua siswa dan siswi menatap ke arahku yang masuk ke dalam kelas. Aku terus menunduk dan tanpa terasa malah berjalan sampai ke belakang padahal aku duduk di baris kedua. Ingin balik lagi malu, dan akhirnya aku duduk bersama seorang siswa laki-laki.
"Seorang Nahla mana mau duduk satu meja sama cowok kan? Paling kalau disuruh guru atau rolling tempat duduk baru mau karena mengikuti peraturan," jawaban Kak Rafka membuatku tercengang karena semua itu benar. Sebenarnya aku tidak masalah jika harus duduk dengan seorang laki-laki kalau memang untuk sebuah kepentingan dan tetap harus menjaga batasan.
***
Bagaimana menurut SHR? Jadi cerita ini akan menggunakan POV campuran. Agar SHR tidak bingung, maka akan saya jelaskan yaa. 😊
Kalau menggunakan 'aku' berarti itu menggunakan sudut pandang Nahla.
Kalau menggunakan 'saya' berarti menggunakan sudut pandang Rafka.
Kalau menggunakan penyebutan 'nama tokoh' berarti itu menggunakan sudut pandang author atau saya yaa. 😊Ini cerita pertama dari saya yang akan membahas perihal rumah tangga. 😆
Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.
Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Sang Bidadari
Spiritual[Spiritual - Romance] Update : Setiap Hari Saling mencintai dalam diam lalu disatukan dalam ikatan pernikahan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana rasa bahagia yang tercipta. Tapi semua itu sirna dikala suatu hal tak terduga menimpa keluarga kecil yan...