14. Pilih Dia atau Aku?

1.9K 96 22
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Dengan teganya kamu membawaku pada hubungan rumit, melibatkan orang ketiga pada kisah indah kita.

Diary Sang Bidadari
Rani Septiani

***

Kak Rafka masih setia menunduk, sementara emosiku semakin menjadi-jadi. Melihat Kak Rafka, sama saja seperti melihat pelakor itu, seperti perselingkuhan itu nampak di depan mataku. Refleks tanganku mengambil foto pernikahan kami dengan bingkai harga jutaan di atas nakas dan melemparkannya ke lantai.

Brakkk

"Seharusnya yang ada di foto itu Anda sama pelakor itu, bukan aku kan?" tanyaku lirih dengan menatap nanar foto pernikahan yang berhiaskan puing-puing kaca, seolah-olah menggambarkan keadaan hati dan rasa percayaku pada Kak Rafka.

Kak Rafka berjalan mendekat dan hendak meraih tangan kananku. "Jangan sentuh aku," teriakku dengan histeris.

Bukannya menjauh, Kak Rafka malah memelukku dengan erat. Membuat kedua tanganku terkunci hingga tidak bisa memberontak. "Lepas dan menjauh dari aku!"

"Nggak akan," jawabnya membuat aku semakin geram.

Semakin aku memberontak, itu hanya membuat aku merasa lelah. Tenagaku tidak sebanding dengan Kak Rafka. Aku hanya bisa menangis. "Kak bisa longgarin pelukannya nggak sih?! Nggak cukup Kakak nyakitin hati aku? Mau nyakitin fisik aku juga sekarang?" tanyaku saat semakin merasa sesak karena pelukan Kak Rafka terasa semakin kuat.

"Kakak nggak mau kehilangan kamu sayang," ucap Kak Rafka dengan suara bergetar, bahkan baju bagian bahu kananku terasa basah menandakan Kak Rafka sedang menangis. Entah apa yang dia tangisi, takut kehilanganku atau mengingat semua kesalahan yang sudah dilakukannya bersama wanita itu.

"Munafik?! Semua yang Anda bicarakan hanya omong kosong! Aku nggak akan percaya apa pun yang Anda katakan, camkan itu!" ucapku dengan dada yang begitu bergemuruh.

"Kalau Anda memang nggak ingin kehilangan aku, pasti Anda nggak akan melakukan semua ini. Takut kehilangan aku atau takut kehilangan pelakor itu?" tantangku dengan berani.

Kak Rafka melonggarkan pelukannya, dan kesempatan ini aku gunakan untuk keluar dari pelukannya. Aku sangat jijik dipeluk dengannya.

"Maafin Kakak ya sayang."

"Basi! Minta maaf mudah, Kak. Tapi hati aku udah terlanjur sakit. Maaf yang Kakak ucapkan juga nggak bisa merubah keadaan hubungan kita yang udah hancur?!"

"Aku nggak pernah nyangka. Kakak orang yang aku percaya ternyata dengan tega menyakiti. Kakak adalah orang yang buat aku selalu ngerasa aman, tapi malah membuat aku berada di situasi paling menyakitkan. Udah nggak ada rasa aman, nggak ada rasa percaya untuk kakak. Aku jijik! Aku muak dengan semua yang udah kakak lakuin?!" teriakku sembari melempar apa pun yang ada di atas nakas.

Aku memukuli nakas, lalu memukuli dada. Berusaha melenyapkan rasa sesak dan sakit yang sedang aku rasakan. Tolong, bangunkan aku, aku berharap semua ini hanya mimpi buruk yang segera berakhir.

"KAKAK TEGA?!" teriakku lagi.

"Cukup Nahla! Jangan menyakiti diri kamu kayak gini," ucap Kak Rafka sembari meraih kedua tanganku yang aku gunakan memukul nakas dan memukuli dadaku yang terasa sesak. Aku terduduk di lantai dengan kedua tangan dipegang oleh Kak Rafka agar aku berhenti menyakiti diri sendiri.

Jujur, aku tidak pernah membayangkan kehilangan Kak Rafka. Aku memang sangat membenci perselingkuhan yang sudah dilakukannya, tapi aku tidak sanggup kehilangannya. Huft, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak ingin kehilangan Kak Rafka, tapi aku akan merasa sakit jika terus bersamanya.

"Pilih dia atau aku?" tanyaku lirih sambil menatap lurus ke depan.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Masih tidak ada jawaban, aku menoleh. Kak Rafka menatapku, aku langsung memalingkan pandangan. Disuruh memilih saja sangat sulit.

"Terbukti, kata cinta yang Kakak ucapkan sebatas omong kosong. Cinta yang bermakna itu udah kakak permainkan, mungkin cinta di mata kakak udah nggak ada artinya. Padahal cinta itu sangat bermakna." Aku berhenti sejenak. "Sulit ya pilihan ini untuk Kakak?"

Aku menghempaskan tangan Kak Rafka yang memegang pergelangan tanganku. Aku mengambil sling bag dan mengambil koper. Lalu membuka lemari dan mengambil bajuku seperlunya saja.

"Kamu mau kemana sayang?" tanya Kak Rafka sembari berusaha menghentikan aktivitasku.

"Berhenti panggil aku sayang! Apa peduli Kakak?"

"Kesetiaan seorang wanita diuji ketika menemani laki-lakinya dari nol. Dan aku sudah berhasil melewati semua itu. Sementara kesetiaan seorang laki-laki diuji ketika berada di puncak kesuksesannya. Dan Kakak kalah, Kakak nggak berhasil lewati ujian itu."

Kata-kataku berhasil membuat Kak Rafka terdiam di tempatnya. Membuat aku dengan leluasa pergi dari sana.

"Jangan pernah cari aku, kecuali kalau Kakak udah tahu harus memilih siapa?!"

Aku menuruni anak tangga dengan susah payah karena membawa koper. Pikiranku juga sedang tidak fokus, mau kemana sebenarnya aku? Jika aku ke rumah orang tuaku, pasti mereka akan curiga dan pasti berita ini akan sampai pada orang tua Kak Rafka. Berkeliling kota tanpa tujuan apalagi dengan membawa koper juga bukan pilihan yang tepat. Jadi, aku harus kemana? Apa aku ke puncak bogor aja ya? Aku menyewa villa di sana. Karena aku benar-benar harus menenangkan diri dan menjauh dari Kak Rafka untuk sementara waktu atau bahkan selamanya. Tapi apa aku siap jika benar-benar menjauh selamanya dari Kak Rafka? Cinta pertama yang kini berstatus suami, tapi dengan teganya berselingkuh dan saat ini saja dia sangat sulit untuk memilih. Sangat diragukan kata-kata cinta yang sering dia ucapkannya.

***

Nahla kenapa ngasih pilihan. 😭

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama dan shalat tepat waktu yaa.

Diary Sang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang