3. Kembalinya ke Indonesia

634 61 19
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Harta hanya titipan dan bukan suatu kepastian bisa selamanya kita genggam. Tapi bisa kita usahakan, agar harta yang ada ini memberi manfaat untuk kita dengan membawanya pada jalan yang diridhoi Allah. Sehingga bisa menjadi berkah dan membawa kebaikan.

Diary Sang Bidadari
Rani Septiani

***

Jangan lupa untuk membaca Surah Al-Kahfi dan perbanyak membaca shalawat yaa.

***

Setelah menghabiskan waktu 5 hari di Raja Ampat dan 7 hari di Negara Swiss, akhirnya Rafka dan Nahla sudah tiba di Indonesia. Kini mereka sedang berada di dalam mobil menuju ke rumah. Orang tua Nahla tidak hadir di bandara karena sibuk di toko sembako. Sedangkan orang tua Rafka tidak menjemput karena sedang menghadiri pernikahan anak dari adik Ayahnya Rafka --Fariz Naufal-- di Bali. Adiknya Nahla? Dia sedang sibuk menyambut Ujian Nasional dengan mengikuti bimbingan belajar yang diadakan pihak sekolah. Adiknya Rafka? Tidak ada, dia adalah anak tunggal. Dan satu-satunya penerus perusahaan properti milik keluarga mereka.

Rafka tersenyum mengingat barang yang ia beli sewaktu di Swiss. Nanti barang itu akan ia berikan pada Nahla saat ulang tahunnya beberapa hari lagi.

"Kakak kenapa ngeliatin Nahla sambil senyum-senyum? Ada apa emang di wajah Nahla?" Nahla segera mengambil kaca berukuran kecil dari dalam tas. "Nggak ada yang aneh. Kenapa Kak?" tanya Nahla lagi.

"Nggak papa sayang. Kakak lagi seneng aja," jawab Rafka hendak mencium kening Nahla. Sontak ia mendorong bahu Rafka.

"Maluu, Kak." Nahla memperingati sembari memelototkan matanya.

Sang supir sepertinya mengerti maksud dari nyonya mudanya itu. "Nggak pa-pa, Bu. Saya juga pernah muda. Jadi bisa memaklumi."

"Kata Pak Dika nggak pa-pa," ulang Rafka dengan senyuman jahilnya membuat Nahla refleks mencubit pinggang Rafka membuat yang dicubit mengaduh.

"Ini istri cantik saya kejam banget mainnya cubit-cubitan. Sakit sayang, panas tahu rasa cubitannya," protes Rafka membuat Nahla menjulurkan lidah lalu terkekeh.

Jika kalian pikir itu sudah selesai. Maka kalian salah, Rafka balas menggelitiki perut Nahla membuat Nahla tertawa menahan geli. Setelah lima menit, akhirnya mereka berhenti karena lelah. Pak Dika hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Pak Dika sudah lama bekerja dengan keluarga Rafka. Ia tahu betul kalau Rafka tidak pernah dekat atau membawa perempuan mana pun ke rumah. Dan, pada saat pertama kali bertemu Nahla. Pak Dika memang merasa Nahla adalah sosok yang tepat untuk Rafka.

"Nanti kita mau punya anak berapa? Kalau saya pengennya tiga. Anak pertama laki-laki, anak kedua perempuan, anak ketiga juga perempuan. Kalau boleh nambah satu lagi, anak keempat perempuan," ucap Rafka sangat antusias. Nahla tahu suaminya sangat menantikan sosok buah hati di kehidupan mereka. Tetapi tidak bisakah mereka membicarakan ini nanti di rumah? Jujur, Nahla sangat malu saat ini. Bahkan wajahnya sudah semerah tomat. Nahla berusaha memberi kode dengan menyenggol lengan kanan Rafka, berharap sang suami tidak melanjutkan ucapannya. Tetapi namanya juga Rafka. Kalau sudah bercerita tentang hal yang sangat dia ingini, dia tidak akan bisa berhenti.

"Kamu tahu kenapa saya ingin anak pertama kita laki-laki? Biar dia bisa jagain adik-adiknya. Saya tahu menjadi anak tunggal itu akan merasakan kesepian. Makanya saya mau kita punya banyak anak," lanjut Rafka dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya. Nahla hanya tersenyum sembari mengangguk. Rafka tahu istrinya itu sedang malu. Rafka sangat suka melihat wajah teduh itu ketika tersenyum malu-malu. Kadar cantik Nahla akan meningkat drastis.

Diary Sang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang