7. Ungkapan Menyakitkan?

789 56 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Sekuat apapun saya menyembunyikan semua ini, saya tidak akan bisa menutupinya darimu. Karena kamu yang selalu memahami saya.
~Rafka Shaquille Zhafran~

Diary Sang Bidadari
Rani Septiani

***

Jangan lupa untuk membaca surah Al-Kahfi dan perbanyak membaca shalawat ya teman-teman.

***

Selamat membaca

***

Saya mengembuskan napas yang terasa berat. Apakah ini tidak akan melukai hatinya?

"Sebenarnya ada hal lain yang sedang Kakak pikirkan. Kakak bingung mau menyampaikan ini sama kamu. Kakak takut melukai hati kamu Nahla."

Raut wajah Nahla seketika berubah menjadi serius. Saya menggenggam tangannya yang terasa begitu dingin. Begitulah Nahla jika sedang serius.

"Sampaikan aja Kak. Insyaa Allah, Nahla nggak papa," ucapnya dengan senyuman yang hangat.

"Maaf, Nahla. Beberapa sanak saudara Kakak terus mengajukan pertanyaan apakah kamu sudah ada tanda-tanda hamil atau belum. Kakak sudah menjelaskan sama mereka mungkin belum saatnya kita diberi amanah untuk mempunyai keturunan, tapi mereka terus mendesak Kakak agar kita konsultasi dengan dokter."

Senyum itu tetap menghias wajahnya, tapi pancaran cahaya dari matanya mulai meredup. Saya tahu, ini pasti akan melukai hati Nahla. Tapi mau bagaimana lagi. Jika keinginan keluarga saya tidak dipenuhi maka mereka akan terus mendesak sampai saya menuruti apa yang merek mau.

"Maaf ya Kak kalau persoalan ini sudah mengganggu konsentrasi Kakak. Seharusnya sejak awal Kakak bilang aja sama Nahla. Nahla nggak akan marah. Kapan kakak ada waktunya Nahla siap buat periksa ke dokter," ucapnya dengan bersemangat. Tapi saya melihat luka dari sorot matanya. Kenapa kamu selalu seperti itu Nahla? Menyembunyikan luka seorang diri tanpa mau berbagi perih dengan saya. Kamu hanya berbagi bahagia tanpa berbagi sedikit rasa sakit yang kamu rasa.

***

Dua hari yang lalu kami sudah melakukan pemeriksaan dan konsultasi dengan dokter. Dokter mengatakan bahwa kami baik-baik saja. Mungkin memang belum saatnya saja kami memiliki keturunan. Saya merasa lega juga saat tahu kalau kami baik-baik saja.

Saya memperhatikan Nahla yang sudah tertidur pulas. Wajahnya sangat tenang membuat saya ingin terus menatap wajahnya setiap saat. Suara jam dinding membuat saya menoleh hingga pandangan saya jatuh pada buku diary yang saya berikan untuk Nahla. Saya menuju nakas dan mengambil diary beserta pulpen.

Dear bidadari,
Semua ungkapan cinta yang saya tahu, sepertinya tidak bisa menggambarkan betapa bahagia dan bersyukurnya saya karena memilikimu.
Rumah tangga kita juga masih seumur jagung, mungkin masih banyak hal yang belum kita ketahui satu sama lain. Tapi harapan saya, jika kita saling mengetahui kekurangan satu sama lain. Jangan ada yang meninggalkan tetapi kita harus bertahan. Saling melengkapi dan mencintai.
Saya adalah nahkoda rumah tangga kita. Saya siap mengarungi luasnya lautan asalkan selalu bersamamu. Badai apapun yang akan datang menghampiri kapal kita nanti. Semoga tidak membuat kapal kita goyang apalagi karam.

TTD,
Nahkoda kapal kita.

Saya menutup buku ini dan beralih menatap wajah Nahla. Ada rasa takut yang menyelinap dalam hati saya. Saya takut tidak bisa menjadi imam yang baik untuk Nahla, saya takut tidak bisa membahagiakan Nahla dan saya takut mengecewakan Nahla. Semua rasa takut yang hadir ini bukan tanpa alasan.

***

Setelah selesai meeting, saya melihat jam ternyata sebentar lagi waktu shalat dzuhur. Saya mengeluarkan ponsel dari saku jas hendak membuka aplikasi WhatsApp karena akan mengabari Nahla kalau saya sudah selesai meeting. Tetapi tidak jadi karena sekretaris saya menghampiri.

"Ada apa Linda?" tanya saya sembari tetap berjalan.

"Maaf, Pak. Tadi pagi sebelum meeting dimulai ada teman Bapak yang datang bernama Bayu. Dia menitip pesan kalau mengajak Bapak makan siang di cafe yang sering dikunjungi saat SMA dulu jam makan siang ini," jelas Linda membuat saya berhenti melangkah.

"Iyaa. Terima kasih."

Bayu Bayu. Sikapnya tidak berubah sejak SMA. Padahal sudah zaman canggih seperti ini. Kenapa tidak menghubungi lewat telepon saja? Saya menggelengkan kepala mengingat anak itu.

Setelah melaksanakan shalat dzuhur, saya berangkat menuju kafe yang dimaksud Bayu. Saat SMA dulu kami sering nongkrong di kafe itu. Tentunya nongkrong yang bermanfaat karena kami sambil belajar bersama di sana.

Sesampainya di kafe, saya langsung menemukan sosok itu. Tetapi dia tidak sendiri. Ada seorang wanita yang duduk di depannya. Saya tidak tahu siapa karena wanita itu membelakangi saya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," jawab mereka berdua bersamaan.

"Nia?"

"Rafka?"

Kami berucap bersamaan. Saya tidak menyangka kalau wanita ini adalah Nia. Sejak kapan Bayu mengenal Nia?

"Apa kabar bro?" tanya Bayu sambil bersalaman dengan saya.

"Alhamdulillah, baik bro. Lo apa kabar?" tanya saya. Beginilah gaya bahasa saya. Jika bersama teman memang menggunakan lo gue.

"Gue baik banget. Apalagi setelah ketemu cewek secantik Nia," ungkap Bayu tanpa malu membuat Nia terkekeh. Saya menangkupkan tangan di depan dada kepada Nia.

Saya duduk dan membuka buku menu. Perut saya sudah sangat lapar. Sebenarnya saya agak kurang nyaman saat tahu ada Nia di sini.

"Em. Gue ganggu acara kalian nggak nih? Kalau ganggu, gue pindah aja." Nia berkata secara tiba-tiba membuat saya menggeleng.

"Nggak ganggu," jawab saya singkat sembari tersenyum.

"Apaan dah lo Nia. Santai aja. Justru gue seneng karena lo ikut gabung sama kita," sahut Bayu dengan semangat. Dia selalu begitu jika berhadapan dengan wanita cantik.

"Kalian pesen makanan aja duluan. Raf makanan dan minuman gue samain aja sama lo. Gue mau ke toilet bentar," lanjut Bayu dan berlalu begitu saja.

Kini tinggal saya dengan Nia di meja ini. Saya paling tidak suka jika harus berada di situasi seperti ini, berduaan dengan bukan mahram. Ya walaupun di kafe ini banyak orang. Tapi posisi meja mereka cukup jauh dengan meja kami.

"Lama ya kita nggak ketemu? Kamu masih sama kayak dulu." Nia berkata tiba-tiba.

"Iyaa sudah lama banget. Terakhir ketemu sebelum saya nikah."

Saya memperhatikan wajah Nia, tidak ada kekecewaan saat saya mengatakan itu. Berarti bisa dipastikan bahwa berita yanh beredar selama ini tentang Nia menyukai saya itu tidak benar.

***

Assalamualaikum.
Bagaimana kabarnya teman-teman?
Mohon maaf ya karena saya baru update cerita ini lagi. 🙏
Apakah ada yang rindu dengan cerita ini? 😆

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.


Diary Sang BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang