بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
***
Cukup kebahagiaan yang aku bagi, kesedihan cukup aku yang tahu.
Diary Sang Bidadari
Rani Septiani***
Jangan lupa untuk membaca surah Al-Kahfi dan perbanyak membaca Shalawat ya ❤
Selamat membaca 💕
***
Setelah terdiam cukup lama, aku menganggukkan kepala. Membuat Kak Rafka yang sendari tadi menatapku langsung tersenyum dan berhambur untuk memelukku. Air mataku berkumpul di pelupuk mata, tepat saat Kak Rafka memeluk, aku langsung mengedipkan mata membuat air mataku menetes. Besar harapanku bahwa hubungan kami benar-benar kembali membaik seperti awal kami bersama, seperti saat pelakor itu belum datang di kehidupan kami dan menjadi orang ketiga dalam hubungan ini.
"Terima kasih sayang. Terima kasih. Kakak janji tidak akan nyakitin kamu lagi. Kakak janji," ucap Kak Rafka.
"Yang Nahla butuhkan bukan sekadar janji, Kak. Karena janji bisa diingkari. Tapi buktikan ... buktikan kalo Kakak benar-benar nggak akan nyakitin aku lagi."
"Iyaa pasti sayang. Kakak akui kalo kakak salah karena menjalin hubungan sama ..."
"Cukup, Kak. Jangan sebut namanya."
"Iyaa maaf sayang. Sekarang Kakak putuskan hubungan sama dia, Kakak telepon sekarang biar kamu dengar juga."
Kak Rafka melepaskan pelukan lalu merogoh saku kemeja dan mengeluarkan ponsel berlogo apple itu. Deringan ponsel terdengar, tanda sedang menunggu orang di seberang sana untuk menjawab.
"Hallo sayang." Suara yang pertama kali aku dengar ketika orang di seberang san menjawab panggilan telepon, membuat aku menutup mata dan mengembuskan napas dengan kasar. Sakit? Pasti. Istri mana yang tidak terluka saat ada yang memanggil suaminya dengan panggilan 'sayang' dan terdengar sangat mesra. Aku jadi membayangkan bagaimana dulu saat Kak Rafka masih mencintai pelakor itu, pasti Kak Rafka akan membalas menjawab dengan panggilan 'sayang' juga. Buru-buru aku singkirkan pikiran buruk itu, untuk apa menyakiti hati sendiri dengan memikirkan semua itu? Toh, Kak Rafka akan mengakhiri hubungannya dengan pelakor itu.
Kak Rafka menggenggam tangan kananku seolah meyakinkan bahwa keputusannya untuk memutuskan pelakor itu sudah bulat. "Maaf, Nia. Tolong mulai saat ini jangan panggil saya dengan panggilan itu. Dan ... saya mau kita putus. Jangan ganggu saya atau istri saya."
"Apa? Lo bercanda kan? Bukanny lo bilang mau kalo hubungan kita--"
"CUKUP. Saya bilang, saya mau kita selesai. Mulai detik ini, kita putus. Jangan hubungi saya lagi."
Tut
"Kakak yakin?" tanyaku begitu saja.
Kak Rafka mengerutkan dahi. "Maksud kamu?"
"Kakak yakin lebih milih aku daripada Nia?" tanyaku dengan menyebutkan nama perempuan itu.
Kalau ditanya tentang perselingkuhan, siapa yang salah? Kak Rafka atau Nia? Maka aku tegaskan mereka berdua salah. Kak Rafka sadar kalau dia sudah terikat pernikahan denganku. Nia juga tahu kalau Kak Rafka sudah memiliki seorang istri. Harusnya mereka berdua bisa sama-sama menjaga itu kan? Kak Rafka menjaga perasaanku dan nama baiknya. Juga Nia menjaga perasaanku dan nama baiknya. Apa bagusnya menjadi perebut suami orang? Padahal masih banyak lelaki jomblo di luar sana.
"Sangat yakin. Kenapa memangnya?" tanya Kak Rafka lagi sembari mengusap pucuk kepalaku.
"Nahla hanya perempuan biasa, Kak. Bukan wanita karir. Sementara Nia, dia menjadi pengusaha sukses di usia yang masih terbilang muda. Kenapa Kakak nggak pilih Nia aja?"
"Karena kamu yang terbaik. Kakak cinta sama kamu."
Jika dulu aku akan merasa sangat senang saat Kak Rafka mengatakan mencintaiku, kini aku hanya bisa diam sebagai respon dari ucapannya. Bukannya aku tidak menghargai, tapi rasanya masih cukup sulit untuk mengembalikan puing-puing kepercayaan untuk Kak Rafka. Karena kepercayaanku pada Kak Rafka sudah dihancurkannya.
***
Sesampainya di rumah kami, ternyata disini sudah ada orang tuaku dan orang tua Kak Rafka. Aku diam menunduk, tidak tega menatap raut wajah mereka. Karena mereka sudah mengetahui berita bayi yang ada di dalam kandunganku mengalami keguguran, tapi mereka tidak tahu soal perselingkuhan yang dilakukan Kak Rafka. Aku sengaja menutupinya dari mereka karena aku tidak mau membuat mereka merasa sedih dan bisa saja hanya ada perpisahan yang bisa kami pilih. Karena waktu itu sebelum menikah dengan Kak Rafka, orang tua Kak Rafka pernah berkata, "Jika Rafka menyakiti kamu seperti KDRT atau bahkan yang sangat fatal, yaitu selingkuh. Maka tinggalkan saja Rafka karena Nahla berhak bahagia."
Dan pilihan yang aku ambil adalah tetap bertahan, menahan kepedihan dengan harapan bisa kembali menyatukan cinta yang sempat retak dan diambang perpisahan.
"Maafin Nahla ya karena nggak bisa menjaga calon anak kami dengan baik," kataku dengan pelan.
Kak Rafka menggenggam tanganku membuat aku menoleh, dia tersenyum. "Bukan ... ini bukan salah Nahla. Tapi salah saya karena belum bisa menjadi suami yang baik dan calon ayah yang baik."
"Sudah jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu. Jadikan aja ini sebagai pelajaran, dan pasti ada hikmah di balik semua ini," ucap Ayah Kak Rafka dengan bijaksana.
"Teruslah berproses menjadi istri dan suami yang baik. Mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua terbaik," ujar Papaku.
Aku terdiam karena merasa tertampar dengan perkataan Papa, jangankan mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik. Akhir-akhir ini aja aku sibuk meratapi Kak Rafka yang selingkuh, sampai tidak menyadari ada calon anak kami di dalam perutku. Aku refleks mengusap perut yang rata. Menelan kepedihan disaat yang berdekatan itu menyakitkan. Mengetahu fakta Kak Rafka selingkuh, lalu menghadapi kenyataan keguguran.
Aku mengembuskan napas yang terasa berat. Merasa beban di pundak begitu berat untuk dipikul seorang diri. Lagi-lagi aku meringis, mengingat saat mengetahui Kak Rafka selingkuh. Aku menyimpannya sendirian, aku lupa untuk memohon diberikan jalan terbaik oleh Allah. Betapa angkuhnya aku, berpikiran bisa menyelesaikan sendiri, padahal seharusnya aku mendekat kepada Allah. Mungkin ini salah satu bentuk teguran dari-Nya, karena cintaku kepada Kak Rafka yang menjadi nomor satu. Karena menaruh harapan yang sangat besar pada Kak Rafka. Lupa, bahwa berharap yang berlebihan pada manusia hanya akan berakhir kecewa.
"Kenapa sayang? Kayaknya kamu lagi banyak pikiran," tanya Bundanya Kak Rafka. Membuat aku tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Nahla nggak papa, Bunda."
Bersembunyi di balik kata nggak papa adalah sebuah ketegaran. Berusaha tetap terlihat baik-baik saja, padahal ada banyak hal yang membuat pedih. Cukup kebahagiaan yang aku bagi, kesedihan cukup aku yang tahu.
***
Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.
Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama dan shalat tepat waktu yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Sang Bidadari
Spiritual[Spiritual - Romance] Update : Setiap Hari Saling mencintai dalam diam lalu disatukan dalam ikatan pernikahan. Tidak dapat dibayangkan bagaimana rasa bahagia yang tercipta. Tapi semua itu sirna dikala suatu hal tak terduga menimpa keluarga kecil yan...