21. Peluk

759 57 0
                                    

Happy Reading♡



***

"Btw, kenapa lo bisa bawa mobilnya Edo?"

Alga mengernyit, menoleh protes. "Ini bukan mobil Edo, ini mobil gue!"

Hessa menganga, lalu mengangguk kecil. Ternyata memang Edo yang mengaku-ngaku. Lagipula, Pak RT mana mau membelikannya mobil, cukup tahu saja tak mau mobilnya rusak karena jahilnya seorang anak bernama Edo itu.

Hessa turun saat mobil memelan dan akhirnya berhenti di depan gerbang tinggi rumah Hessa.

"Dah, sana pulang!" Hessa mengibaskan tangannya, tubuhnya merendah menatap Alga dari kaca mobil.

"Iya, Tuan Putri," jawab Alga dengan melebih-lebihkan setiap katanya.

Hessa tersenyum lebar, lalu membalikkan badan masuk rumah. Namun, langkahnya berhenti mendadak saat matanya menangkap sebuah mobil hitam milik mamanya terparkir tepat di depan rumah.

"Hessa."

Hessa menoleh, menemukan mamanya bersedekah dada dan bersandar di pintu.

"Mama kecewa, Hessa."

Napasnya tertarik, sejenak tertahan. Ada perasaan sesal sekaligus takut dalam dirinya.

Hessa tak mengerti kenapa ia selalu seperti ini. Ia melakukannya karena ia tak suka, tapi susah hanya sekedar bicara tak bisa.

"Apa kamu nggak mikirin perasaan Rian? Kamu tinggal gitu aja?"

"Kak Rian bilang nggak papa, Ma. Jadi kupikir itu akan baik-baik aja," lirihnya.

"Lalu? Bagaimana dengan Tante Emily? Apa kamu pernah mikir gimana bingungnya Mama jelasin ke mereka kenapa kamu selalu tiba-tiba ngilang seperti saat ini!"

Hessa merunduk, dadanya seperti dicabik-cabik saat itu juga. Terdengar sepele, tapi menyesakkan hati.

Perlahan Hessa memberanikan diri mendongak, kata-kata papanya saat itu seakan kembali terdengar.

"Apa Mama pernah memahami perasaanku?"

Dewi terdiam, seperti tertembak tepat sasaran kali ini.

"Ini bukan yang pertama kalinya Mama kayak gini, aku pun iya iya aja karena nggak mau Mama kecewa. Seperti saat ini, Ma ...." Lirih terdengar di akhir kalimatnya.

"Hessa sayang Mama, Hessa nggak mau bikin Mama sedih cuma karena Hessa nggak nurut apa kata Mama. Aku baik-baik aja, Ma. Tapi pernah nggak, sih, Mama tanya sekedar basa-basi gitu tentang bagaimana hari yang kujalani ini? Tentang apa yang aku suka, atau bagaimana kabarku meski Mama tiap hari melihatku."

Hessa mendengkuskan hidung, ia mengerjap pelan dan mendongakkan kepala berusaha menahan butiran bening yang sebentar lagi akan turun tanpa diminta.

"Hessa ... susah hanya sekedar nolak apa yang Mama minta karena alasan yang simple, Ma. Hessa nggak mau bikin Mama sedih ...." Mati-matian Hessa menyuarakan hatinya agar tetap terdengar tegar, tapi nyatanya selalu saja lirih yang terdengar.

Hessa memang tipe orang yang cinta damai, sekalipun ia ingin membalasnya–hanya omongan saja–Hessa seperti tak kuat, karena malah tangisnya yang lebih dulu keluar sebelum ia mengutarakannya.

Cengeng memang, Hessa akui itu.

Hessa mengusap pipinya kasar, lalu merunduk dalam. "Maaf, buat Mama kecewa. Maaf, Ma."

Hessa mundur perlahan, lalu berbalik dan pergi berlari kecil. Meski agak kesusahan karena heels-nya.

Hessa keluar rumah begitu saja, tak peduli jika makin lama makin malam. Ia mengusap pipi basahnya kasar.

AlgaHessa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang