Happy Reading♡
***
"Gue mau putus."
Alga tersentak, tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Tiga kata yang sebenarnya ... sering ia dengar dari pacarnya yang sekarang sudah menjadi mantannya.
Tiga kata yang sebenarnya ia biasa saja jikalau mendengarnya, tak akan ada yang berubah darinya.
Alga membuang muka, mengalihkan pandangan tak mau menatap Hessa. Kemudian ia tertawa keras, saking kerasnya membuat Hessa yang di depannya mengernyit merasa Alga memang tak waras.
"Hm, oke. Seharusnya gue nggak heran lihat lo kayak gini," gumam Hessa.
Tawa Alga memelan, lalu kembali menatap Hessa. "He berani ya lo mutusin kembarannya Lee Jong Suk?"
Ekspresi Hessa masih sama, datar sedari tadi. "Gue serius, Ga."
"Gue alergi situasi serius, Sa. Lo, kan, tahu itu. Kalau lo mau diseriusin gue siap, kok. Tapi kita masih SMA, emang lo mau?"
Hessa menghembuskan napas beratnya. Berbicara dengan Alga memanglah begini.
"Lagian kita nggak benar-benar pacaran, kan? Kita cuma main-main buat ngegagalin rencana pernikahan mama gue sama papa lo."
"Kita nggak benar-benar pacaran, cuma main-main. Berarti kita nggak benar-benar putus, cuma main-main. Gitu, kan?"
Hessa menggeleng kecil. "Bukan gitu, Ga. Ah, udahlah!"
Merasa tak ada gunanya berbicara dengan Alga, Hessa membalikkan badan, berniat melangkah menjauh dari Alga.
Namun, baru saja selangkah kakinya maju, ia berhenti saat tangannya ditahan.
"Gue salah apa sampai lo mutusin gue. Gue nggak ada salah sama lo. Coba lo tanya sama rumput yang bergoyang—"
"Kenapa harus rumput yang bergoyang?"
Alga melotot sebal dengan perkataan Hessa yang memotong ucapannya. Apalagi pertanyaannya sungguh tak berfaedah. "Karena kalau lo yang bergoyang, jadinya kayak boneka dasbor!"
Hessa memutar bola mata malas, lalu ingin pergi.
"Kasih gue satu alasan." Suara Alga terdengar, membuat Hessa membalikkan badan lagi menatap Alga.
Ia bisa menangkap ekspresi datar Alga. Cowok itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi bahwa ia sedang becanda.
Hessa menarik napas panjang. "Gue udah nyerah, Ga. Lagian kita pacaran cuma buat ngegagalin rencana pernikahan mama gue sama papa lo, dan kita nggak mungkin bisa ngegagalin rencana mereka."
Alga diam mendengarkan, masih setia menunggu kalimat seterusnya yang keluar dari bibir Hessa.
"Gue jadi ingat kata mama lo tadi, kalau mung—"
"Mama ngomong apa aja?"
Hessa tersentak mendengar suara tegas itu, ia memberanikan diri menatap tepat mata Alga. "Ma–makanya dengerin dulu."
Alga mengangguk kecil tanpa suara.
"Kata Mama lo tadi, bikin gue sadar, Ga. Kalau mungkin di sini ... gue yang egois. Mungkin ini adalah kebahagiaan yang dicari sama mama gue dan gue nggak mungkin ngehalangin kebahagiaan Mama gue sendiri."
"Jadi, gue mundur," lanjutnya, mengecilkan suaranya yang entah kenapa malah terdengar seperti lirihan.
Alga terdiam, mencoba mencernanya. Lantas menganggukkan kepala, ia menarik salah satu sudut bibirnya. "Egois, ya?"
Kemudian Alga melanjutkan ucapannya, "Egois emang salah. Tapi kadang mementingkan diri sendiri itu penting, Sa. Emang hampir mirip, tapi nyatanya beda. Jangan terlalu mikirin perasaan orang, sementara luka lo sendiri belum sembuh. Malah kadang orang yang lo pikirin perasaannya itu nggak pernah bikin lo bahagia, pernah berpikir buat bahagiain Lo aja nggak pernah."
Hessa meneguk ludah getir. "Tapi ini mama gue sendiri, Ga."
Alga tersenyum kecil, tangannya terangkat mengacak puncak kepala Hessa. "Udahlah, sana masuk," ujarnya.
Melihat Alga yang dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya, Hessa juga tersenyum lebar memperlihatkan gigi rapinya yang duduk berderet. Ia meloncat kecil, lalu dengan iseng menoyor kening Alga. "Dah, sana! Jangan gegayaan!"
Hessa melangkah hendak masuk, tapi masih tersenyum lebar menatap Alga. Tangannya melambai kecil. "Dadaaah, Alganteeng!"
Lalu perlahan Hessa tak terlihat dari pandangan Alga.
Alga masih mempertahankan senyumnya, yang kini makin melebar. Tangannya meraba dada yang merasakan dua hal yang berbeda dalam satu waktu. Lalu tertawa dengan bodoh. "Alganteng katanya," gumamnya, lalu terkikik sendiri.
Namun, detik berikutnya senyum di bibirnya lenyap begitu saja. Rasa sesak kembali menguar dalam dada. Senyum geli berubah menjadi miris dalam sekejap.
"Gue sering diputusin, tapi rasanya nggak sesakit ini. Apa jangan-jangan ... ini yang dinamakan dicerai-in?"
***
Keadaan rumah sepi, seperti biasa. Jika biasanya mama Hessa malam sudah pulang, tapi kini tak menunjukkan diri di rumah ini, membuat Hessa paham jika mamanya itu masih ada urusan pekerjaan.
Hessa membuka pintu kamar, masuk lalu menutupnya kembali. Tas gendongnya dilempar kecil jatuh ke atas ranjang.
Tangannya beralih membuka jaket yang membalut seragamnya. Jaket itu sebenarnya milik Alga yang dipinjamkan padanya kemarin malam, sebelum kejadian dimana ia dan Alga bertemu cewek jadi-jadian.
Namun, gerakannya terhenti. Ponselnya yang sempat dicharge di rumah mama Alga tadi berdering keras.
Kerutan muncul di dahi Hessa kala melihat nomor tak dikenal tertera di layar ponsel, sedang meneleponnya.
"Mungkin penting," gumamnya sembari mengedikkan bahu.
Jarinya menggeser layar, lalu perlahan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Ha–halo?"
Mata Hessa melebar, mulutnya agak terbuka, terkejut begitu mendengar suara si penelpon yang ternyata orang yang ia kenal.
"Waaah, beneran?"
Senyum lebar Hessa mengembang.
"Iya, siaap!"
Sambungan terputus sebab percakapan keduanya selesai. Hessa bersorak, mengepalkan tangan di udara dan melompat-lompat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlgaHessa [SELESAI]
Teen Fiction"Yaudah, kita pacaran aja. Eh, atau langsung nikah? Biar orang tua kita nggak jadi nikah." [Completed - Konflik Ringan] Perjuangan dan rencana gila yang dilakukan semata hanya untuk menggagalkan rencana pernikahan orang tua mereka. ___________ Algar...