Happy Reading♡
***
"Bukain!" Alga nampak kesusahan membawa barang di kedua tangannya.
"Disandi, Bego!"
"Tanggal lahir gue, udah cepetan!"
Hessa memutar bola mata jengah, meski langsung menurut membukakan pintu, tapi kemudian ia mengernyit. "Kok nggak bisa?"
Alga yang selangkah di belakang Hessa melongokkan kepala, mengintip.
"Kodenya salah," ujar Hessa.
"Ck, lo nya aja yang nggak bisa!"
Hessa menggeram. "Coba aja, nih. Coba!" ujarnya sewot lalu menggeser tubuhnya mempersilahkan Alga.
"Bawa dulu, anjir! Lo keenakan, ini kan barang lo!"
Menarik napas panjang, Hessa mengambil alih Tote bag di tangan Alga.
"Kok ... beneran nggak bisa ya?" Alga mengerutkan dahi.
Tiba-tiba pintu terbuka padahal Alga belum sempat mencoba membuka yang kedua kalinya, menampilkan seorang pria paruh baya berkepala plontos dan perut agak buncit.
"Ada apa?!"
Alga spontan mundur kaget, dengan Hessa yang mengerjap pelan tak tahu menahu.
"Ah, maaf?" Alga meringis kecil, lalu menggerakkan kepala menatap Hessa.
"Salah," ujarnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Ha? Apanya?" Bingung Hessa.
"Maaf, Pak. Teman saya ini salah." Alga menggerakkan dagu pada Hessa, sementara Hessa yang paham jadi korban kini melotot.
"Permisi, Pak." Alga mengangguk dan meringis kecil, berlalu dari hadapan si pria tadi diikuti Hessa menuju pintu sebelahnya.
Pintu terbuka membuat Alga menghela napas lega, ia masuk dan mengganti sepatunya dengan sandal yang bersih.
"Eh, Ga?"
Langkah Alga terhenti, lalu menoleh dengan wajah lelahnya. "Apa lagi?"
"Sandal lo ... salah juga," ujarnya menunjuk sandal yang dipakai Alga, satu warna merah satunya lagi putih.
Alga memejamkan mata, merutuk diri. Ia berdehem keras, sambil melirik tempat mengambil sandal tadi yang masih tersisa warna yang seperti ia pakai cuma berbeda letaknya.
"Emang gitu, merah putih! Khas Indonesia ini!" jawabnya sewot.
Alga mengambil duduk di sofa. Sudah sibuk sendiri dengan ponselnya entah untuk apa.
Sedangkan Hessa berdiri mengerjapkan mata polos, ia tak tahu harus apa. Apakah ia juga harus duduk seperti yang Alga lakukan? Atau duduk di karpet bulu yang di bawah? Atau malah harus ke dapur untuk acak-acak alat masaknya?
Hessa menggeleng. Sepertinya opsi terakhir itu hanya akan menimbulkan masalah besar.
"Ngapain di situ?"
"Cepetan ganti baju sana, sekalian tuh make up lo bersihin. Mata lo juga, semuanya deh! Dosa lo jangan lupa, banyak noh menempel!"
Hessa menarik napas dalam mencoba menyabarkan diri. "Toilet dimana?"
Alga hanya menunjuk, tak berbicara apalagi mata fokus pada ponsel.
Hessa mengangguk kecil lalu pergi ke toilet dengan membawa Tote bag berisi pakaiannya yang sempat dibeli sebelum ke sini tadi.
Tak lama Hessa kembali, dengan pakaian yang lebih santai dari sebelumnya. Wajahnya juga sudah tak ada bekas make up, sudah lebih segar.
"Apaan tuh?" tanyanya, langsung menjatuhkan pantat duduk di karpet bulu seperti apa yang dilakukan Alga.
Di meja, makanan tersedia entah darimana datangnya. Sepertinya, go food. Karena kalau Alga sendiri yang masak itu sangatlah tidak mungkin.
"Cilok," jawab Alga singkat.
"Kenapa harus cilok?"
"Kenapa lo tanya gitu?"
Hessa memutar bola matanya, tak menyahut. Lagipula kalau disahutin tak akan tahu selesainya kapan.
"Makan!"
Hessa berdehem panjang sebagai tanggapan.
Makanan Alga sudah selesai begitu suapan terakhir masuk mulutnya, ia menatap Hessa yang dengan santai makan cilok yang ia belikan.
"Enak?"
"Hm." Hessa mengangguk, masih sibuk dengan mulut mengunyah sementara tangannya mengangkat jempol.
"Maaf."
Kunyahan di mulut Hessa terhenti begitu saja, ia mendongak dan mengerjap dua kali. Perlahan, Hessa tersenyum simpul. "Iya, makasih ya. Lo emang calon Abang yang baik."
Alga mengalihkan pandangan, kembali fokus dengan ponsel.
"Ga?"
"Hm?"
Hessa menelan kunyahan. "Lo nggak tidur di apartemen lo juga, kan?"
"Ya nggaklah," jawab Alga.
"Emang lo mau gue tidur di sini juga?"
Hessa melotot. "Jelas nggaklah!"
"Kan, lo tahu."
Hessa mengedarkan pandangan, menelisik tiap sudut ruangan. "Biasanya lo di apartemen?"
"Nggak juga, gue ke sini kalau lagi pengen aja. Dulu sering, sih."
"Rumah lo sepi, dong. Kalau lo sering ke sini."
Alga menyimpan ponselnya. "Ada pembantu, asisten rumah tangga, body guard, satpam, ya ... lo tahu sendirilah."
Hessa menipiskan bibir, merasa menyesal telah bertanya. Bukan Alga kalau tidak omong besar.
Alga menaruh ponsel, memakai jaketnya. "Udah malem, gue pulang."
Dengan mulut sibuk mengunyah, Hessa mengangguk. "Hati-hati," ujarnya, tapi tak ditanggapi Alga.
Di ambang pintu Alga berbalik lagi, menatap Hessa memicing. Hessa yang tak tahu menahu mengangkat alis polos.
"Kamar lo yang itu." Alga menunjuk pintu sebelah kanan tak jauh dari dapur.
"Yang itu kamar gue." Kali ini ia menunjuk kamar yang berseberangan dengan kamar yang ditunjuknya tadi.
"Jangan buka-buka kamar gue apa pun yang terjadi."
Hessa menipiskan bibir. "Iya, iya," ujarnya cuek, lalu kembali memasukkan cilok ke dalam mulutnya.
"Kalau mau masak, masak aja apa yang ada. Tapi jangan dirusakin, ada mie tapi jangan dimakan. Jangan sentuh barang-barang berharga di sini, terus nanti kala—"
"IYA ALGA, IYA!"
Alga melotot karena ucapannya dipotong begitu saja, ia mendengkus sebal lalu berbalik keluar apartemen.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlgaHessa [SELESAI]
Jugendliteratur"Yaudah, kita pacaran aja. Eh, atau langsung nikah? Biar orang tua kita nggak jadi nikah." [Completed - Konflik Ringan] Perjuangan dan rencana gila yang dilakukan semata hanya untuk menggagalkan rencana pernikahan orang tua mereka. ___________ Algar...