41. Alasan Alga

356 25 0
                                    

Happy Reading♡

***

"Sa, tadi lo abis megang apa? Kok muka lo ikutan cemong?"

"Hah?"

Alga tersenyum miring, menerima uluran helm lalu bersiap menginjak gas. "Tapi boong!"

Berikutnya ia sudah menjauh, bersamaan dengan Hessa yang melotot dan mengepalkan tangan mengancam ingin memukul cowok itu.

Menghela napas panjang, Hessa masuk rumah. Gerbang rumahnya terbuka, menampakkan mobil sang mama yang terparkir di depan rumah.

Pintu rumah juga terbuka lebar. Hessa dapat melihat sang mama yang menempelkan ponsel ke telinga, sibuk berbicara dengan si penelpon.

Hessa ingin mendekat, tapi diurungkan.

"Iya. Perusahaan milik keluarga Wardana itu bukan main-main. Saya juga cukup pantas, kok, bersanding dengannya."

"Ah, ini agak gimana gitu. Tapi serius, dengan begitu semua perusahaan dan butik saya akan meningkat. Lusa saya sudah menikah dengannya, sementara pembukaan cabang baru dilaksanakan besok saja."

Lalu hening sekejap, karena Hessa tak bisa mendengar suara si penelpon.

"Tentu saja. Saya menikahinya karena ada alasan. Saya juga tidak begitu yakin dia mencintai saya."

Pegangan tangan Hessa pada pintu melemah, ragu akhirnya ia melangkah mendekat.

"Mama?"

Dewi terkesiap, hampir saja menjatuhkan ponselnya saat sambungan terputus.

Matanya melebar melihat Hessa melangkah mendekat ke arahnya dengan mata memerah menahan tangis. Dewi sudah menduga apa yang baru saja terjadi. Karena kelalaiannya, Hessa mendengar percakapannya barusan.

"Hessa, in—"

"Kenapa Mama melakukan itu? Kenapa Mama melakukan hal sekotor itu?"

Hessa menggigit bibirnya kuat. Tenggorokannya tercekat membuatnya nampak kesusahan berteriak keras, menanyakan pada sang mama kenapa melakukan hal itu.

"Hessa capek, Ma. Hessa terus bilang iya dan paham sama keadaan yang sama sekali Hessa nggak paham! Hessa takut ngelukain Mama, tapi Mama nggak pernah sekali pun ngerti keadaan Hessa."

Mengalir sudah, semuanya keluar bersamaan dengan cairan bening dari mata indahnya.

"He–Hessa capek ...." Hanya itu yang bisa ia katakan dengan suara puraunya.

"KENAPA MAMA JAHAT? JAHAT SAMA HESSA, JAHAT SAMA ORANG LAIN YANG PADAHAL NGGAK PERNAH JAHATIN MAMA!"

Plak!

Wajah Hessa tertoleh, matanya memejam merasakan sakit menjalar di pipi kirinya.

Dewi melangkah mendekat, menarik dagu Hessa supaya menatapnya. Dengan mata mengembun dan memerah itu, Hessa menatap penuh luka mata sang mama.

"Kenapa? Kenapa baru sekarang kamu protes, HA? KENAPA BARU SEKARANG SAAT KEADAAN SUDAH CUKUP BIKIN MAMA BAHAGIA!"

Hessa mengalihkan wajah, sembari menahan isakannya. Pipi kirinya masih terasa panas. Meski begitu, tak bisa membandingi rasa sakit dalam dadanya yang seperti ditusuk ribuan belati.

"Karena Hessa takut bikin Mama sedih," lirih Hessa.

"LALU APA TINDAKANMU SEKARANG ITU TIDAK BIKIN MAMA SEDIH, HESSA! PIKIR ITU BAIK-BAIK!" Dewi berkali-kali menekan pelipis Hessa. Seolah menyuruhnya berpikir, memaksanya berpikiran seperti yang ia pikirkan.

Hessa melengos keras. "Terserah. Yang pasti, Hessa akan cari cara bagaimana supaya menggagalkan rencana licik Mama itu!" tekan Hessa, lalu membalikkan badan dan melangkah pergi.

"JANGAN MACAM-MACAM KAMU, HESSA! KEMBALI SINI, AWAS KAMU DURHAKA SAMA MAMA!"

"HESSA!

"HESSA, KAMU SUDAH JANJI UNTUK TIDAK MEMBUAT MASALAH HESSA!"

"HESSA!"

Hessa benar-benar ingin menuliskan sejenak telinganya. Teriakan itu mengganggunya, sangat. Perasaannya campur aduk begitu keluar rumah dan menutup pintu keras.

Ia juga keluar gerbang, melongokkan kepala masih dengan air mata dan sesenggukan, berharap masih ada sosok yang selalu membuatnya tertawa.

Berharap sosok yang selalu menemaninya itu masih menunggunya.

Masih dengan dada yang teramat sesak. Ia pergi ke suatu tempat, yang membuat tekadnya semakin besar.

***

Alga membuka pintu apartemennya, seketika matanya membulat dengan helaan napas kasar keluar.

Keadaan apartemennya tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Bungkus makanan di mana-mana, bahkan bisa-bisanya ada gayung di atas sofa.

Alga menggaruk kepalanya, meringis pelan. Apa ini ulahnya? Memang kadang suka tak sadar diri dia.

Alga tetap tak peduli, melewati keadaan yang sudah seperti kapal pecah, ia masuk kamar.

Padahal kamarnya baik-baik saja. Rapi.

"Hehe, lama nggak ketemu!" Alga melangkah mendekat ke ranjang. Diusapnya boneka besar itu, lalu dipeluknya erat sambil bergoyang-goyang.

Teringat sesuatu yang ingin ia ambil di rumah, Alga segera menyudahi tingkah random-nya.

Ia segera mandi dan keluar kamar.

Alga menggapai Hoodie hitamnya, lalu menendang asal bungkus makanan yang menghalangi jalannya.

"Semoga aja penunggu di sini inisiatif sendiri bersihin apartemen gue," gumamnya sebelum menutup pintu apartemen.

Tak menempuh waktu lama ia bisa sampai di rumah. Turun dari motor, Alga membuka helm.

Matanya langsung jatuh pada sosok yang sedang berlutut di depan papanya.

Deg!

Dunianya seakan berhenti berputar. Ingin mendekat rasanya kaki ini susah digerakkan, memaksanya melihat kejadian demi kejadian di depan matanya.

 Ingin mendekat rasanya kaki ini susah digerakkan, memaksanya melihat kejadian demi kejadian di depan matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AlgaHessa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang