Happy Reading♡
***
Semuanya kembali dari awal. Kalau diingat-ingat, lalu dipikir secara nalar. Sebuah cerita yang ia pikir dialah si tokoh utama yang kesepian, lalu datang seseorang yang—setidaknya—ada di sampingnya. ending-nya sudah terlihat bahkan sejak prolog muncul.
Kecewa dengan semuanya itu tidak ada gunanya.
Merutuki diri sendiri itu juga tidak ada gunanya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, semuanya harus dijalani.
Hessa tak mau hidupnya terlalu dikata biasa. Ia ingin setidaknya—sekali—memberikan manfaat pada orang lain. Bukan kenangan yang akan dikenang saat ia sudah tiada. Bukan, bukan seperti itu.
Simple-nya, ia tak mau hidup sia-sia.
Beberapa hari setelah hari pernikahan itu, Hessa lebih sering pergi sendirian. Tidur di rumah papanya yang sekarang sedang ada pekerjaan di luar kota.
Hari itu adalah hari terakhirnya datang ke apartemen cowok itu.
Benar kata Rian, ada banyak hal yang bisa Hessa lakukan.
Langkah pertama yang ia lakukan—seperti niatnya—adalah pergi ke sebuah panti. Ini juga karena ajakan dari Rian.
Iya, di hari libur, Rian mengajaknya pergi ke sebuah panti asuhan.
Rian mengenal baik pengasuh panti, ia juga sering berkunjung di hari libur atau hari saat ia tak sibuk.
Hessa tersenyum kecil begitu masuk mobil dan bertatapan dengan Rian. Cowok itu pun juga membalas dengan senyuman tipisnya.
Meski terlihat lebih segar dari kemarin, mata sembab gadis itu tidak bisa disembunyikan. Rambut panjangnya diikat satu dengan poni yang agak panjang di kedua sisi wajahnya.
"Udah makan?" Rian membuka obrolan basa-basi.
Hessa menggeleng kecil. "Belum," jawabnya.
"Kalau gitu mampir makan dulu, ya. Ke mana gitu, kek."
"Nggak usah, Kak. Nggak papa. Tadi udah minum susu, kok." Hessa mengacungkan jempolnya, tersenyum lebar menatap Rian. Seolah meyakinkan cowok itu bahwa ia memang baik-baik saja.
"Ya udah, nanti pas pulangnya aja ya."
Hessa kali ini mengangguk.
Keheningan kembali menguar di mobil setelah itu.
Sebenarnya Hessa juga ragu, keluar dari zona nyamannya. Karena sejujurnya, Hessa tak bisa berbaur dengan orang baru.
Namun, kata-kata Rian kemarin sukses membuatnya bungkam, membuat ada keinginan kuat dalam dirinya untuk ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lainnya.
Melakukan hal-hal positif, contohnya. Simple, tapi ketika dilakukan terasa berat.
Dan hal-hal positif itu ada banyak.
Hessa ingin, setidaknya bukan hanya tujuannya satu yang terpenuhi, tapi tujuan keduanya juga ikut terpenuhi.
"Kak, tolong ... bantu Hessa, ya."
Rian menoleh, meski berikutnya tatapannya fokus pada jalanan. Senyumannya lagi-lagi mengembang, lantas mengangguk. "Iya, pasti."
"Mau ikut kegiatan sosial, nggak?"
Hessa mengerjap pelan. "Kegiatan ... sosial?"
"Hm." Rian mengangguk. "Tapi kamu masih sekolah, sih. Takut ganggu sekolahmu. Apalagi bentar lagi kelas dua belas, kan, ya? Ujian dan segala macam takutnya keganggu. Jadi mungkin, ekskul itu juga bisa."
Hessa terdiam, berikutnya mengangguk paham. "Ekskul, ya?"
"Aku ... nggak minat ekskul apa pun. Lagi pula, tahun akhir baru ikut ekskul itu rasanya ... aneh."
Rian terkekeh pelan mendengar jawaban itu.
"Daripada ekskul, aku lebih pengen kerja, sih, Kak."
"Kerja?" Rian mengerutkan keningnya, bingung. Pasalnya, Hessa berasal dari keluarga berada. Remaja sepertinya—biasanya—lebih suka menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang, bukan kerja.
Hessa mengangguk mantap. "Iya, aku pengen kerja ... sesuai apa yang aku suka. Terus hasilnya mau aku ...." Hessa menjeda kelimanya, ia menoleh menatap Rian yang menunggu.
"Mau aku sumbangin. Atau sekedar ... beli buku buat anak jalanan. Ya, gitulah pokoknya." Hessa meringis pelan.
Rian melebarkan matanya, antara terpana juga tak percaya. Berikutnya jadi tersenyum kecil dan mengangguk. "Kalau kamu suka, ya nggak papa."
"Hm, aku suka, kok."
"Memangnya mau kerja apa?"
Hessa merunduk kecil, memainkan tali tasnya. "Eum ... sebenarnya ada yang pengen aku coba dari dulu. Aku pengen coba kerja di toko bunga. Aku suka ngerangkai bunga, bisa lihat bunga tiap hari, dan ngerawat bunga juga."
"Ada niatan buat toko bunga sendiri, nggak?" tanya Rian, diselingi candaan dan kekehan kecil.
Hessa tersenyum kaku. "Hehe, belum ada niatan, sih. Aku mau kerja aja."
"Aku punya kenalan, sih. Sepupu jauh aku punya toko bunga, mau aku tanyain?"
Senyum Hessa langsung merekah. Tanpa sadar merubah posisi duduknya menghadap Rian sepenuhnya. "Beneran, Kak? Boleh?"
"Bolehlah."
Hessa memekik tertahan, menangkup pipinya sendiri dengan perasaan membuncah.
"Kita ngomong terus, nggak sadar kalau udah sampai."
"Oh, iya?" Hessa mengedarkan pandangannya ke luar kaca mobil. Benar saja, kini mobil sudah berhenti di tempat tujuannya.
'Panti Bunda Kasih' tertulis jelas di samping gerbang masuk. Sebuah bangunan yang tak terlalu mewah, tapi unik.
"Hessa, ayo!"
Hessa tersentak, sibuk dengan pikiran sendiri membuatnya tak sadar Rian sudah keluar mobil.
Gadis itu mengangguk, lalu ikut turun mobil menghampiri Rian yang lebih dulu masuk.
Seketika pemandangan menyejukkan mata membuat Hessa tertegun. Taman kecil di halaman yang luas itu ditumbuhi berbagai bunga cantik, lalu tak jauh dari situ tempat main anak-anak terlihat.
"Kok sepi, Kak?"
Rian terkekeh ringan, tak menghentikan langkahnya sama sekali.
Lalu datanglah sosok wanita paruh baya dengan jilbab coklat, nampak tersenyum manis menyambut kedatangan Rian dengan ramah.
Cowok itu mencium tangan wanita tersebut, membuat Hessa juga melakukan hal yang sama.
Mereka dipersilahkan masuk. Wanita yang dipanggil oleh Rian dengan sebutan 'Bunda Ani' itu sangat-sangat ramah. Ia membawa Rian dan Hessa sampai ke taman belakang, menyambung dengan halaman luas di sana. Di sanalah Hessa bisa melihat anak-anak dari berbagai usia bermain bersama tanpa ada yang ketinggalan.
Halaman depan, ruangan, bahkan halaman belakang tempat bermain sangat indah. Setiap sudutnya tak henti membuat Hessa berdecak kagum.
Bukan hanya itu, hari ini Hessa mendapatkan pelajaran yang belum pernah ia dapat sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlgaHessa [SELESAI]
Teen Fiction"Yaudah, kita pacaran aja. Eh, atau langsung nikah? Biar orang tua kita nggak jadi nikah." [Completed - Konflik Ringan] Perjuangan dan rencana gila yang dilakukan semata hanya untuk menggagalkan rencana pernikahan orang tua mereka. ___________ Algar...