19. Perjanjian Kehidupan

201 42 11
                                    

"Apasih Pa, Echan gak tahu apa-apa. Dia udah tiduran di kamar gitu kemaren pas Echan balik."

"Beneran gak tahu?"

"Iya, suer dah. Echan gak tahu. Dia juga jarang keliatan di sekolah. Jadi gak pernah ketemu atau papasan di sekolah."

Bunda diam, memandang anak gadisnya khawatir. "Pa, ini Aera gak papa kan? Bunda takut Ayi kena bullying di sekolah."

"Bunda tenang dulu, nanti kalo Ayi sadar. Kita tanyain ya. Sekarang juga Bunda butuh istirahat. Ayo."

"Tapi..."

"Ayi ada yang jagain kok." Sang Papa menoleh pada anak-anaknya. "Kalian jagain Ayi ya. Nanti kalo udah sadar, bilang sama Papa."

"Iya." Dengan malas Jaehyun yang ada di samping pintu menjawab permintaan Papa nya.

Setelah kedua orang tua pergi, yang lain duduk berdekatan. Berdiskusi dadakan untuk mengurusi hal ini.

"Jadi gimana?" Si tertua bertanya.

"Kayak biasa lah."

"Kayak biasa gimana, jon?"

"Ancem!"

"Hmmm, kayaknya bakalan agak susah. Nih anak udah berani ngelawan sekarang."

"Ngelawan gimana, Bang?" Haechan menatap Jaehyun meminta penjelasan.

"Semalem berontak, makanya gue pukul biar pingsan."

"Waw, mantep bang." Haechan mengangkat jempolnya.

Taeyong yang akhirnya ikut bersuara. "Tapi gara-gara lo begitu sekarang kita nyelesaiin nya gimana? Kalo dia gak mau diajak kerja sama gimana?"

"Aaa, gue tahu caranya."

***

Aera membuka matanya, terasa berat dan panas ia rasa. Menghela napas perlahan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar nya. Aera kaget ada beberapa kakaknya di sana sedang bermain game. Taeyong yang pertama kali menyadari Aera sudah sadar akhirnya menghentikan game-nya dan beranjak mendekat menimbulkan kesadaran juga pada yang lain.

"Lama banget, pingsan apa tidur sih lo." Taeyong menghampiri Aera yang masih terdiam mencerna apa yang sedang terjadi. 
Taeyong memegang dahi Aera yang dirasakannya cukup hangat, Aera tentu kaget dengan perlakuan salah satu kakaknya itu.

"A-apa..."

"Apa nya yang apa, bingung lo?" tanya Haechan yang fokus kembali pada game nya.

"Hmm?"

"Yah jadi sok bisu dia... Apa lo jadi amnesia cuma gara-gara pingsan doang?"

"Pingsan?" Aera akhirnya menganggu dan mengerti kenapa kepalanya terasa pusing. Sesaat ia ingat apa yang terjadi, Aera mengingat ibunya. Aera segera beranjak dan hendak pergi keluar. Namun segera ditahan oleh Taeyong. "Lo gak boleh keluar!"

"Kenapa? Aku mau liat Bunda." Aera menepis tangan Taeyong yang menghadangnya.

"No... Sebelum kita buat perjanjian," ujar Jaehyun yang kini bangkit dari bermain game nya bersama Haechan. Jaehyun brrjalan ke arah meja belajar Aera yang di sana sudah ada selembar kertas dengan perjanjian tertulis didalamnya. Jaehyun memberikannya pada Aera untuk dibaca.

Aera membacanya cepat dan langsung paham apa yang diinginkan mereka, tapi perjanjian itu jelas memberatkan padanya. Ia tak ingin dibodohi dan diatur-atur lagi oleh kakak-kakaknya yang mementingkan diri sendiri itu.

"Aku tak mau ini." Tolak Aera langsung. Haechan yang mendengar itu langsung meninggalkan game nya. "Apa? Lo bilang apa tadi?"

"Aku nolak semua itu." Dengan berani Aera menatap Haechan yang sekarang geram pada tingkah Aera yang mulai berani. Haechan mencengkram dagu Aera kuat dan berbisik padanya, "lo tahu, Bunda lo yang lo sayang-sayang itu sekarang lagi masa sekarat, gue bisa aja buat Papa ngalihin semuanya dan ninggalin Bunda lo itu."

Aera menatap Haechan, Jaehyun, Taeyong juga kertas yang ada ditangannya. Aera goyah begitu saja, ia tak mungkin membiarkan seseorang yang telah melahirkannya begitu saja. Walaupun ia sendiri tahu, ia telah diabaikan olehnya, tapi Bunda adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki.

"Gimana, lo mau iikutin itu atau lo kehilangan semuanya."

Jaehyun menyeringai, ia tahu pasti ini akan berhasil. Jaehyun melempar pulpen tepat ke sebelah Aera lalu berjalan pergi menginggalkan kamar itu di susul oleh Taeyong yang hanya menatap semua itu dengan datar. Haechan tersenyum lebar setelah Aera menandatangani perjanjian itu, membawa kertas itu pergi begitu saja tanpa memperdulikan Aera yang kini menatap mereka dengan penuh kebencian.

***

"Ayi, gimana sekarang, udah enakan?"

Aera yang kini duduk di meja makan bersama yang lain menampilkan senyumannya pada orang yang ia panggil Papa sejak beberapa tahun lalu. "Baik, Ayi gak papa kok. Mungkin kecapean aja."

"Bener cuma kecapean? Ayi lagi gak ada masalah kan?"

Aera menggeleng, "gak ada kok. Ayi gini-gini aja. Gak ada masalah apa-apa."

"Tapi... Tadi kamu sampe pingsan, Papa liat ada memar di tengkuk kamu. Kamu gak dipukul orang atau ada yang bully kamu di sekolah, kan?"

Dengan santainya, Aera memegang tengkuk yang dibicarakan dan menyibak rambutnya. "Maksud Papa ini?"

"Iya, itu yang di maksud Papa, Bunda khawatir kamu dibully di sekolah." Aera menatap Bundanya yang kini menatapnya untuk mendapat penjelasan.

"Gak papa, ini kemaren Aera kena pukul preman. Ayi bantu orang di jalan yang lagi dihadang, kasian orangnya lagi hamil besar. Jadi Ayi gak tega biarin ibu-ibu itu ngadepin preman yang lagi maksa ibu itu ngasihin tasnya."

"Astaga, Ayi kenapa gak minta bantuan orang-orang. Gimana kalo kamu dapet lebih dari itu, Bunda gak mau kehilangan kamu." sang Bunda berjalan mendekat dan memeluk Ayi yang masih duduk di kursinya.

"Ibu sama anak ternyata sama-sama pinter bikin dramadrama," gumam seseorang yang ada di sana.

"Ayi gak papa, Bun." Aera mengelus tangan Bundanya yang terasa sangat kecil, Bundanya begitu kurus sekarang, kulitnya juga terlihat pucat. Pandangan Aera menyendu menyadari hal itu, lalu ia berdiri dan memeluk balik Bundanya. "Ayi sayang Bunda. Jangan pergi-pergi lagi Bunda, Ayi kangen banget sama Bunda," bisik Aera yang hanya bisa didengar oleh sang Bunda yang ia peluk.

"Maaf Bunda pergi-pergi, Bunda juga sayang Ayi. Sayang banget."

***

Hallo semua, selamat hari raya idul fitri.
Maaf ya baru bisa lanjutin ini sekarang.
Mudik gak nih? Lebaran dapet thr berapa kalian? Hihi.

Ahhh, satu lagi, gimana hot saose nya? Apa yang terngiang-ngiang di album ini?
Aku sih, dive into you hihi.

Bye

HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang