27. Penasaran Atau Suka

91 17 3
                                    


Malam semakin larut, udara semakin terasa dingin. Tapi itu tak membuat Aera beranjak dari duduknya, Aera menatap jauh pada langit malam tanpa bintang. Hanya gelap yang ia lihat. Berandai-andai jika hidupnya bahagia seperti orang lain, Aera masih memikirkan ucapan papa nya di taman rumah sakit malam itu.

***
Flashback

Aera dibawa duduk, tak berani menatap seseorang yang ia sebut papa untuk sekarang. Helaan nafas yang terasa berat terdengar, Aera tak menengok sedikitpun. Masih tertunduk diam.

"Kamu sudah besar sekarang." Aera hanya diam tak menanggapi. "Maaf, Papa gak bisa jaga Bunda kamu dengan baik. Papa cuma gak mau buat kamu terlalu khawatir."

"Langsung aja, Pa," pinta Aera lirih. Ia sudah sangat ingin tahu kenapa keadaannya bisa sampai separah ini.

"Awalnya semua baik-baik aja, seperti yang kamu lihat. Bunda baik-baik saja, beraktifitas kesana kemari dengan Papa, walau dengan satu ginjal.
Tapi hari itu berubah, hari dimana Bunda minta pulang lebih dulu. Bunda hanya bilang lelah, ingin istirahat lebih cepat. Papa mengizinkannya, tapi Papa dapat kabar kalau Bunda mu pingsan di basement sesaat setelah keluar dari lift. Beruntung Bunda tak sendiri di dalam lift.

"Wajahnya pucat, Papa panik dan bawa Bunda mu ke rumah sakit terdekat. Dan disitu papa baru tahu kalau ginjal mama sudah tak berfungsi dengan baik. Ginjal satu-satu nya yang dimiliki sudah tak baik-baik saja. Segala macam pengobatan sudah diberikan tapi tak banyak memberikan hasil. Sampai Bunda mu sendiri pasrah. Bunda mu hanya bilang ingin pulang dan bertemu dengan anak perempuan satu-satunya yang ia miliki."

Tak terasa air mata Aera lolos begitu saja, Papa Jung kini ada di depannya, berlutut sambil mengenggam tangan Aera yang mengepal. "Maaf  Papa gak bisa jaga Bundamu."

***

Mengingatnya hanya membuat hatinya perih, Aera tak mengerti dengan semuanya. Apa ia benar pembawa sial? Jika benar, kenapa Tuhan masih memberikannya kehidupan.

Disaat-saat dirinya disiksa secara mental juga fisik walau tak secara langsung, tapi kenapa ia masih sehat sampai saat ini. Ia kelaparan, ia dicaci maki, ia dibuang... tapi kenapa ia masih bisa bertahan.

Sesusah itu kah bahagia untuk ada di sampingnya? Rasa-rasanya Aera hanya ingin tidur tanpa bangun lagi.

Lelah memikirkan hidupnya, Aera kini tertidur disofa dengan sang Bunda yang terbaring di ranjangnya.

***

"Aera adek lo kan?"

"Apasih, gak usah bahas-bahas dia."

"Kenapa? Tapi benerkan? Gue pernah liat dia keluar dari rumah lo juga waktu itu."

"Gak sudi gue punya adek kayak dia." 

"Kenapa?"

Orang yang dari tadi diam, hanya mendengarkan keduanya berbicara, sedangkan yang satu lagi asik memakan makanannya walau tak dipungkiri juga ia ikut penasaran.

"Dia nakal. Gue bahkan pernah liat dia dianter om-om."

"Serius lo, Chan? Om nya kali."

Haechan mengalihkan atensinya pada Renjun. "Mama nya kan anak tunggal."

"Om dari Bapak nya kali." Jeno ikut penasaran.

Haechan mendengus. "Mana ada, Bapaknya aja udah buang dia.  Masih untung bokap gue mau mungut dia sama Mama nya."

"Tapi masa sih dia kayak gitu?" Jaemin bahkan pernah melihat Aera menjauhi laki-laki di Bus waktu itu. Tapi karena penuh, gadis itu tak bisa apa-apa.

"Kalo gak percaya ya udah. Lo kenapa penasaran banget sih sama dia? Naksir lo?"

Jaemin menggeleng. "Gak, cuma penasaran aja."

"Awas lo jadi suka entar." Celetuk Renjun dan kembali menikmati makanannya.

"Jangan sampe lo suka sama dia, Min. Gue cuma peringatin aja, takutnya lo nyesel. Soalnya cowoknya banyak." Haechan jadi ingat kata-kata abangnya Taeyong yang waktu itu nemuin Aera sama dua cowok di mobil. "Kalo udah suka, mending lo hapus dan buang jauh-jauh rasa suka lo."

"Apasih, gak lah. Dia bukan tipe gue."

***

Tolong beri saya ide😭

Makasih buat yang masih baca dan nungguin cerita ini💚

HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang