26. Ingatan masa lalu

117 25 5
                                    


Dua hari berselang, masih tak ada perubahan apapun. Aera masih setia menunggu sang Bunda yang akhir nya sadar kemarin malam. Aera ingin sekali menanyakan semua yang mengganjal di pikirannya, tapi mengingat kondisi Bundanya sekarang. Ia tak berani bertanya sedikitpun.

Aera memperhatikan wajah Bundanya yang kini sedang tertidur. Ingatan nya berkelana pada masa-masa dulu

.

.

.

"Ayi sama kakak-kakak dulu ya, Bunda sama Papa ada urusan pekerjaan diluar."

"Ta-tapi Bunda... Ayi pengen ikut."

"Gak bisa sayang, Ayi kan sekolah. Tuh lihat, Echan aja gak ikut, sana main sama Echan."

Aera menoleh ke Belakangnya, tak jauh dari tempatnya memang ia melihat Haechan disana sedang main dengan robot-robot dan mobil-mobilannya di sana. "Tapi ayi gak mau main robot."

"Ajak Echan main rumah-rumahan kalo begitu. Sudah ya, Bunda udah ditungguin sama Papa di luar." Dengan terpaksa Aera melepaskannya. Dengan perlahan Aera berjalan pada Haechan dan bertanya, "Echan main apa?"

Haechan menoleh. "Nih, lagi main robot-robot."

"Ayi ikutan ya?" Haechan kecil mengerjap dan mengangguk. Ayi senang dengan itu dan keduanya bermain. Tapi, itu tak lama. Karena kakak mereka datang."Echan masuk kamar!"

"Gak mau, Echan mau main."

"Echan main di dalem kamar."

"Tapi..."

"Masuk Echan!"

Ayi melihat Haechan berlari masuk ke dalam kamarnya. "Kak, echan kan lagi main sama Ayi."

"Ayi gak boleh main lagi sama Echan! Jangan deketin Echan lagi!"

"Kenapa?"

"Karena kamu pembawa sial!"

Lalu Aera ditinggalkan sendiri dengan terus memikirkan apa arti dari kata 'pembawa sial'

Hingga akhirnya ia tahu arti dari kata itu setelah bertanya kesana sini dan mendapat jawaban dari seorang pria dewasa di sebuah taman.

.

.

.

"Benar ya, Bunda. Semua yang kakak ucapin itu benar." Aera bergumam sembari mengusap punggung tangan Bunda nya.

***

"Gimana?"

"Apa yang gimana?"

"Ya itu, si onoh."

"Gak tahu, gue gak ngecek."

"Ohhh."

Hening kemudian, tak ada lagi pembahasan. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing.

"Bang." Keduanya menoleh saat salah satu adik mereka memanggil. "Gue nemu ini."

"Apaan tuh? Sini coba lo deketan."

Jaehyun mendekat, membawa sebuah album foto yang terlihat sudah lama tersimpan. "Lo dapet album ini dari mana?"

"Dari laci meja kamar Papa."

"Ngapain lo ke kamar Papa? Kan orangnya gak ada."

"Cuma balikin barang yang gue pinjem."

Si sulung hanya mengangguk. Ia mengusap debu dari album itu sambil mengingat-ngingat apa yang terjadi saat hari itu terjadi. Dan ya, ia mengingatnya dengan jelas. Itu adalah hari yang menyakitkan untuk keluarga mereka. Saat dimana seseorang membutuhkan pertolongan tapi tak bisa diselamatkan.

Tangannya membuka lembaran dengan acak. Menunjukan gambaran-gambaran hasil jepretan kamera yang belum secanggih sekarang. "Lo tahu, ini barang terakhir yang Mama pegang sebelum gak ada."

Jaehyun menatap Johnny lalu beralih pada Taeil yang kini melanjutkan ucapannya. "Hari itu, Mama semangat banget nunjukin ini ke gue. Mama bilang, dia udah gak sabar buat ambil foto keluarga besok siang. Cuma tinggal nunggu Papa pulang dan ngajak kita berlima, jagoan-jagoan Mama." Taeil masih membuka lembar album, tangannya terhenti pada lembar foto keluarga mereka saat masih lengkap. "Tapi semuanya hancur, gak ada Mama disamping kita."

Johnny langsung merebut album itu, menutup dan membawanya pergi. Johnny juga merasakan apa yang kakaknya itu rasakan, ia sudah mengerti bagaimana sakitnya, dan ia tak ingin lagi rasa sakit itu datang lagi, walau tak bisa dipungkiri bahwa itu semua gak akan pernah hilang dari ingatannya.

Jaehyun diam memperhatikan, ia ingat sekarang kenapa dua kakak nya menjadi seperti itu. Walaupun yang Jaehyun ingat hanya dirinya yang menangis, tapi diumurnya yang waktu itu sudah sepuluh tahun, ingatannya masih tersimpan walau tak begitu jelas.

***

Hai, maaf lama 🙏🙂
Semoga masih ada yg nungguin ya💚

HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang