Firm

509 70 5
                                    

Pukulan di perut yang menyerang lambung dan hatinya, tendangan yang mengalirkan darah di pelipis dan jambakan di rambut. Jimin tidak meringis, matanya tidak terpejam menahan sakit tapi ia tidak menerima perlakuan ini. Ia mewajarkan dirinya menjadi babak belur seperti ini.

Park Jimin sadar ia pantas menerima ini.

"Omega murahan!"

"Apa kau horny melihatku seperti ini?"

Alpha yang memukulinya membisu di tempat, terlihat lemas tapi masih menguatkan jambakan di rambut Jimin. Omega dibawahnya tersenyum, senyum manis di barengi darah keluar. Wajah manis yang ia buat berdarah-darah, membiru tapi dia masih bisa bangun dan tersenyum. Cengkramannya menguat, lalu ia melempar kepala Jimin hingga membentur dinding.

Baru, Jimin meringis merasakan sekeliling berputar dan kabur. Awalnya si alpha mengira Jimin akan pingsan tapi omega itu masih berusaha bangun, duduk berhadapan dengan si alpha.

"Kenapa kau sulit sekali dibuat mati?"

Jimin tersenyum, mengusap darah di bibir dan pelipisnya, "Karena kau bukan lawanku," jawab Jimin meringis pelan lalu bangun, berdiri di depan si alpha.

"Taehyung-ah, aku akan mati tapi bukan di tanganmu," ucap Jimin lalu melangkah pergi tapi Taehyung menarik dan memberi satu pukuluan lagi dan Jimin benar-benar roboh ke tanah.

"Kau pikir aku main-main ingin membunuhmu jika kau tidak melunasi hutang dan bungamu?" tanya Taehyung mengingatkan Jimin atas janjinya beberapa tahun lalu. "Pikirkan, ayah biadabmu hidup dengan siapa kalau kau mati," Taehyung meludah ke kepala Jimin, memberi satu tendangan di perut Jimin sebelum pergi.

Meninggalkan Jimin dalam keadaan setengah sadar, berdarah, membiru dingin dan kesakitan. Jari-jari mungil Jimin merangkak di tanah, menopang berat badan sendiri diikuti lututnya.

Aku ingin mati tapi aku tidak diijinkan mati.

Sebenarnya, hidupku ini milikku atau milik siapa?



















.....

"Appa, ini minummu untuk sehari. Ini makanmu. Aku akan pulang malam hari ini."

Tuan Park, ayah Jimin mengangguk di atas tempat tidur. Memperhatikan anak kandungnya, bersiap-siap menaruh makanan, minum satu gelas di samping tempat tidur. Kemudian obat untuk darah tinggi, obat untuk ginjal dan obat-obat lain. Tak lupa Jimin memerika tekanan darah ayahnya pagi ini.

"Jangan lupa minum obatnya."

"Kau baik-baik saja?"

Jimin mengangguk, melepas alat pengukur tensi dari lengan ayahnya. Menaruh di tempat berbeda, kemudian ia berjalan ke lemari mengambil tasnya dan dompet tipisnya.

"Wajah-"

"Aku pergi dulu."

Sang ayah tidak sempat bicara banyak, sadar diri kalau anaknya harus cepat pergi bekerja. Sementara dirinya duduk manis, makan dan minum. Kepala keluarga yang tidak ada gunanya. Melihat Jimin lewat dinding pengap flat kecil dengan satu kamar, berlari menuruni tangga berkarat, jalanan menurun menuju stasiun.

Tanpa senyum, tanpa tangis. Di wajah itu hanya ada plaster di pelipis, obat merah di sudut bibir dan tangan kecilnya memakan pinggiran roti yang tersisa ketika ia membuat sarapan untuk ayahnya. Selama menunggu kereta ia makan, minum dari botol lalu memakai earphonenya.

Kereta yang akan membawanya ke kantor datang, ia segera masuk memilih berdiri di dekat pintu keluar. Kedua tangannya bersembunyi di saku mantelnya. Matanya tidak berkeliling ke mana-mana, ia menatap lurus ke depan. Ia juga tidak fokua pada earphone kosong yang ia sumpal di telinga.

Hidupmu adalah hidupmu. Namun, kenapa matimu tidak ada di tanganmu.

Hidup dan mati itu berdampingan tapi kenapa ada ketidak larasan di dua hal ini?

Wajahnya menunduk, merapihkan tasnya sebentar saat sadar stasiun tujuannya sudah dekat. Ia keluar paling pertama, berlari ke kantor karena ia harus datang pertama kali.

Ada banyak pekerjaannya, menghidupkan mesin absen, menyalakan AC di ruang rapat, merapihkan kursi, mengprint bahan rapat, membuat kopi dan menyalakan mesin-mesin pencetak lainnya. Satu persatu karyawan lain masuk, mengambil kopi yang sudah ia buat. Karyawan yang hari ini ikut rapat mulai masuk ke dalam ruangan, ia ikut masuk memberikan kopi.

"Jimin-ssi, kenapa dengan wajahmu? Apa kau terlibat sesuatu yang panas semalam~~"

"Kopinya masih panas. Berhati-hati saat minum, kemampuan bicara anda diperlukan di sini."

Alpha yang menggodanya mendelik, hampir melempar gelas kopinya ke badan Jimin kalau saja Timjangnim tidak masuk. Jimin membungkuk sopan, kemudian keluar melewati Timjangnimnya.

"Kenapa dengan wajahnya?"

Alpha yang tadi menggoda Jimin berdecih, "Biasa pekerjana tambahannya melayani pria-pria di bar. Dia omega kalau anda belum sadar," penjelasan dari alpha ini tidak membantu si Timjangnim.

Namun, ia tidak menyusul si staff dari divisi pembantu itu. Ia duduk di kursinya, mempersiapkan bahan rapat di tablet dan membaca kertas yang sudah ada di atas mejanya. Hari ini membahas tentang perilisan beberapa buku.

Tak lama, beberapa karyawan lain masuk dan Jimin kembali masuk membagikan kopi. Ia memperhatikan sekilas, sampai Jimin datang padanya memberikan kopi. Tanpa bicara, hanya membungkuk lalu keluar menutup pintu ruang rapat yang sudah penuh.

"Dia rajin."


























Tak tau, kepikiran aja bikin ini gara" rewatch My Mister dramanya IU, WAJIB NONTON pasti menangis-nangis tu nonton drama 🙂
apa perlu ku buat book sendiri?
hmmmm 😌🔫

Story about Us [YoonMin] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang