Aku atheis, aku tidak percaya Tuhan dan aku tidak mau percaya dia. Itu ucapan, suara hati dan segala yang selalu aku lakukan selama hampir dua puluh dua tahun. Entah kenapa, setiap kali ibuku, ayahku mengajakku ke gereja aku selalu tidak mau melihat Putra Allah yang mati demi menebus dosa-dosa manusia.
Aku merasa setiap kali melihat mata patung itu, aku ingin lari dan tidak mau lagi menatapnya.
Bisa jadi, aku merasa aneh melihat patung seseorang yang dikisahkan rela menebus dosa manusia. Dia sangat baik. Mungkin karena itu juga, ayah ibuku mau memeluk agama.
"Akhirnya, kau adalah domba yang tersesat, nak."
Itu kata ibu Jimin sebelum kami berangkat ke gereja, menghadiri misa sekaligus baptis Jimin. Setahun, hampir setahun ia mengikuti pembelajaran untuk masuk agama ini. Kawannya rata-rata berusia senja, ada anak tanggung dan hanya dirinya pemuda berusia dua puluh akhir.
Di mobil ia hanya menunduk, meremat tangan, mendongak kemudian menunduk. Ada perasaan aneh, ia tidak merasakan perasaan selamat seperti orangtuanya. Ia merasa bahwa akhirnya sudah dekat. Sangat dekat di depannya, beberapa meter, beberapa langkah dan akhirnya.
Akhirnya ada di depan mata.
Kedua mata Jimin terpejam, mengikuti rangkain baptis semestinya sesuai latihan. Tiba di rangkaian terakhir, langkahnya memberat melihat wujud tubuh Yesus dalam bentuk roti. Tangannya yang menyatu, mengerat, tidak mendah menerima roti itu.
Sontak pria yang mempin jalannya baptis, Romo Choi mengernyit, tersenyum maklum dan menunggu tangan Jimin terbuka menerima sakramen baptisnya. Mungkin dia berpikir Jimin gugup, ada banyak keringat keluar dari pori-pori wajah, mengalir ke leher dan tangannya juga ikut.
"Park Jimin?"
"Ya...."
Jimin bisa menyahut, melepas rematan tangannya, menerima persembahan dan memakannya kemudian memberi penghormatan kepada Tuhan. Badannya berbalik, berjalan ke tempat duduknya dengan langkah lebih pelan.
Roti itu, tertelan di mulutnya, melebur bersama saliva, menyebar ke setiap sel dan inchi tubuhnya. Penyebaran itu sangat cepat, mencekik kerongkongan dan telingnya. Kakinya berhenti melangkah, tangannya merambat menyentuh leher dan kepalanya yang ikut terhantam.
"Aagh!"
Matanya terpejam, menutup akses sinar masuk ke retinanya tapi kilatan itu masuk makin dalam. Memberikan refleksi cahaya, warna, bentuk dan suara merangkak di refleksi itu. Ada suara sol sepatu, menapak lantai, memenuhi setiap cahaya dan pendengarannya.
"Akhh!"
"Aahh~ hhahh~"
"Hhah!"
"Kau...."
"Kenapa aku? KENAPA AKU HARUS PERCAYA PADAMU?! KENAPA? KENAPAA??!"
"Kau yang memilihnya sendiri."
"Anak? Kau hanya butuh itu? Baik, tiduri aku dan aku akan lahirkan anakmu."
"APA KAU MAU MATI??!!"
"Dia.... tidak berguna."
"Aku tidak mau anak darimu."
"Kau butuh anak dariku."
"AKU LEBIH MEMBUTUHKANMU!!!"
"Pria itu, tidak, siapa namanya benar-benar jatuh cinta?"
"Seperti itu jatuh cinta? Aku seperti melihat dia melawan orang yang sama untuk hal yang sama pula."
"Itu cinta?"
"Hhngh!"
"Aah~"
"Kau tidak pernah mencintai anakmu, kau mencintai ibu anakmu."
"Aku mohon....."
"PARK JIMIN!!!"
"KYAAAAAAA!!!!"
Sakit, rasanya sangat sakit. Mulutnya berteriak sakit, memecah keheningan dan hikmat orang-orang gereja. Ibu Jimin yang sadar, segera berdiri menghampiri anaknya. Jimin melihat itu, ibunya berlari menghampirinya sebelum gelap datang dan menjatuhkan badannya.
Semua yang menghadiri misa berdiri. Bukan untuk menghampiri Jimin tapi melindungi dari serangan tembakan dari pria berpakaian hitam di sudut kanan. Derap kaki melewati kaki, tangan, badan, kepala dan lehernya menggema. Gelap yang tadi datang menghilang, digantikan bauran ibunya yang terhimpit kemudian jatuh di depan matanya.
Matanya terpejam, suara dengung panjang itu ikut mendatanginya bersama derap langkah, bau sol sepatu dan besi panas terbakar bercampur amis. Keningnya berkerut, merasakan sakit itu lagi di leher dan seluruh badannya. Tangannya merayap ke kanan dan kiri, menemukan benda yang ia yakini sepatu laki-laki.
"To.... too.... tolongh.... ak... aku mohon...."
"Akhirnya, kau memohon padaku."
Pemilik sepatu itu tersenyum, memainkan pistol di tangannya lalu menatap kekacaun yang ia buat untuk menjemput manusia ini. Ia mengotori bangunan dengan bau besi terbakar, telinganya harus merekam teriakan permohonan dan ampunan pada patung itu.
Seringainya melebar, menunjuk patung di depannya lalu melubangu dinding di atas patung itu. Sayang, hanya patung itu yang tidak terlumuri darah dan bersih. Padahal di bawah patung itu ada Romo Choi, mati dengan tubug terpisah, suster mati tanpa kaki dan sebagian besar jemaat gereja ditemukan berlubang.
"Baiklah, buat saja seperti penembekan massal, ya kan...." orang itu berucap ke Jimin yang masih tidak sadarkan diri di bawah kakinya.
".... mateku."
Aku tuan yang harus disembah.
Aku pembentuk tapi juga sumber dari segala kehancuran.
Aku juga sumber segala kesakitan tapi juga sumber segala kesembuhan.
Aku juga sumber dari segala rasa tapi aku tidak merasakan rasa itu.
Aku bukan Tuhan, aku bukan dewa, aku bukan manusia.
Aku....
"Yoon Gi."
note for me:
aku ada traillernya tapi di akun twitt ku, hmmm
entahlah, asam lambungku naik dan kepikiran plot ini wkwkwkwkwkwkemang ya, kalo dah kena ni pasti kena yg lain juga awokawokawokawok
entahlah 😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Us [YoonMin]
FanfictionKetika Min Yoongi dan Park Jimin disatukan maka akan muncul sebuah cerita... bisa saja manis... ... atau pahit? Tidak ada yang tahu, mungkin kalian bisa menebaknya dengan membaca cerita mereka. Oneshoot collection about YoonMin