Hmmm, ku pertimbangin jadi book

455 59 4
                                    

Ada alasan kenapa dunia ini dibatasi.

Jimin menatap gerbang setinggi lima meter di depannya. Mengamati dari bawah, tengah, atas. Setiap ukiran besi, lilitan tanaman liar, dan bau karat terendus masuk ke hidungnya. Tangannya menggantung di sisi tubuh, perlahan naik, merambat ke tali tad punggungnya. Rambut hitam selehernya ia ikat setengah, memperlihatkan wajah putihnya, bibirnya yang merah merekah dan sekilas iris hitam legam itu menjadi putih.

"Mungkin beberapa anggota tubuhmu ada yang terpotong ketika melewati gerbang ini."

Jimin menatap orang yang bicara padanya. Pria dengan badan tegap, rambut pendek dengan belah samping dan membawa tas punggung serta senapan laras panjang di tangan kanan. Tatapannya turun lagi, menyentuh tangan kiri si pria, lalu menarik tubuh itu mendekat.

"Appa...."

"Cari dia, Appa tidak bisa pergi dari sini."

Mata merahnya muncul, mengirimkan air mata keluar dengan deras, "Bagaimana bisa appa di sini sendirian? Appa butuh penembak jitu ini, hm?"

"Park Jimin!"

Kedua lengannya disentak, matanya dipaksa menatap langsung mata ayah kandungnya. Kemudian turun lagi karena keraguan itu menggerogotinya. Ragu akan tugas yang harus ia jalani di dunia sana, meninggalkan ayahnya seorang diri tanpa orang yang bisa dipercaya.

"Appa akan baik-baik saja. Appa percaya padamu karena itu pergi dan bawa dia ke sini."

Jimin tidak menyahut, menunduk menangis untuk kesekian kalinya dan balik menahan kedua lengan ayahnya, "Aku mohon... appa...."

"Lihat appa, Jimin-ah."

Ucapan ayahnya adalah perintah baginya, ia mengangkat muka dan menatap mata bulat ayahnya yang bergetar, memerah dan bibir tersenyum penuh getaran.

"Appa akan mati di sini kalau kau tidak bisa membawa dia. Bukan appa saja, kau juga bisa mati."

Tangannya meremat lengan pakaian ayahnya yang lusuh, "Appa harus berjanji padaku."

Ayahnya mengangguka, "Apa?"

"Appa harus ada di sini ketika aku membawa dia, hm? Appa harus berjanji padaku."

Ayahnya mengangguk, menyatukan kelingking dan kening anaknya. Telapak tangan berbalut perban, berbau darah dan obat antiseptik merengsek masuk. Menggantikan bau karat, bau tanaman liar dari gerbang di depan mereka. Setiap pohon di hutan merunduk, seolah-olah memberikan waktu tersendiri untuk ayah dan anak ini melepas salam.

"Appa percaya pada anak appa, Uri Minnie~"

Jimin mengangguk, melepas rematan tangannya dari lengan bajunya. Mengambil satu langkah mundur, menghadap gerbang di depannya dan perlahan maju. Meremat lagi tali tas punggungnya, berisi baju, senjata dan perlengkapan lain. Tepat di depan gerbang, seekor ular dengan lidah menjulur menyambut mukanya. Badan penuh sisik hitam, licin dan bau tanah serta darah. Ular itu mengeluarkan desisan, memutari badan Jimin sebelum melepas badan dari kait gerbang.

"Semoga kau tidak kembali menjadi tulang, omega kotor."

Jimin mengangguk ke ular itu, menatap ke depan hutan yang sama persis dengan hutan yang ia pijak sekarang. Ia kembali menoleh ke belakang, ayahnya mengangguk, tersenyum padanya. Ia ikut tersenyum, meyakinkan diri mengambil langkah maju, kanan, kiri dan seterusnya sampai gerbanh itu tertutup.

Story about Us [YoonMin] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang