3. My neighbor

39 18 6
                                    

Buku catatan kututup kasar sebab kesal dengan benak sendiri yang sulit di ajak kompromi. Pria itu, Huang Renjun. Mengapa semenjak aku mengenalnya perasaanku jadi tidak nyaman.

Dan bodohnya pikiranku sendiri sulit kukendalikan. Ya, sejak tadi pikiranku sibuk memikirkan pria dingin itu. Dia yang mirip dengan seseorang dari masalaluku.

Ah, semakin aku memikirkannya semakin aku teringat dengan masa-masa itu.

"Mungkin istirahat sebentar akan membuat pikiranku jernih..." Aku dorong kursi yang kududuki kebelakang kemudian keluar dari tempat belajar itu.

Berniat ingin pergi ke dapur, tapi saat melewati kamar di sebelah kamarku yang pintunya terbuka membuatku mengurungkan niat dan memilih masuk ke kamar yang dipenuhi kabel-kabel dan komputer itu.

Ini kamar kakakku, Kak Dio. Dia kakak tiri, hal itu yang membuat selisih umur kami berbeda jauh. Ibuku menikah untuk kali kedua dengan ayahku saat ini -Do Han Soo-, yang saat itu juga berposisikan duda satu anak.

Boleh dikatakan kakakku satu ini multi talenta. Saat ini dia menjerumuskan diri dalam tiga profesi. Programer, Penyanyi dan juga Chef. Pekerjaan utamanya adalah seorang Chef di pusat cabang restoran ayahku.

Menyanyi dan bergelut dengan rumus rumus algoritma hanya untuk pekerjaan sampingannya. Kadangkala itu dilakukannya saat akhir pekan, atau waktu luang.

Dan satu lagi fakta tentangnya, profesi kak Dio itulah yang membuatnya terus-terusan hanya memikirkan profesinya itu. Dan itu yang membuat kak Dio single sampai sekarang. Single yah, bukan jomblo.

Yah, meskipun aku ini tidak sehebat kak Dio, yang terpenting aku menemukan satu kelebihanku yang kak Dio sendiri tidak mempunyainya dan ini juga yang kujadikan senjata untuk memojokannya. Tenang saja, ini tidak berlangsung tiap saat. Aku melakukannya hanya saat kak Dio cari masalah denganku. Bisa dibilang itu untuk perlindungan diri.

Lagipun ayah dan ibu tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Malah mereka mendukungku, kata mereka supaya kak Dio sadar dan lebih cepatlah dia cari pasangannya. Maafkan aku kak, semua berbalik untuk kebaikanmu...

Begitu masuk aku disuguhi pemandangan yang semakin membuatku pusing, yaitu tiga buah komputer dan satu buah laptop yang menayangkan tulisan hijau berbaris di tiap layar monitornya. Entah bagaimana kak Dio melakukan itu, yang jelas aku melihatnya saja sudah pusing.

Kamar kak Dio memang rapi dan bersih. Bahkan kabel-kabel yang menghubungkan komputer ke komponen lainnya disusunnya sedemikian rupa, supaya tidak terkesan berantakan. Hal itu pula yang membuatnya menjadi sensitif saat memergokiku tengah berada di kamarnya ini.

Aku mengambil cangkir yang tergeletak di depan komputer. Cangkir itu sudah kosong, aku berniat mencucinya sekalian aku juga akan ke dapur. Setidaknya cangkir itu bisa kugunakan sebagai alibi saat tiba-tiba kak Dio memergokiku. Ya, dia akan curiga kalau aku keluar dari tempat ini tanpa membawa apapun.

Aku menuruni satu per satu anak tangga. Sampai dibawah aku berlari kecil ke arah dapur dan meletakkan cangkir itu ke bak cuci. Mencucinya nanti, melihat kak Dio yang ternyata sedang memasak membuatku lapar tiba-tiba.

Aku menghampirinya yang sedang meneteskan kuah ketelapak tangannya, berniat mencicipi.

"Kak, aku juga mau!" Seruku penuh semangat sembari menyodorkan tangan kananku.

"Cuci tanganmu dulu!"

"Sudah kok bang" bohongku. Seketika kak Dio menatapku dengan mata bulatnya yang lucu tapi juga cukup mematikan.

Aku meringis sembari menggaruk tengkukku kaku dan segera ke bak cuci untuk mencuci tanganku.

Selesai, aku kembali ke depan kompor tempat kak Dio berdiri. Aku menyodorkan telapak tanganku kembali dan langsung kak Dio teteskan kuah itu di telapak tanganku.

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang