14. See You Again

14 8 10
                                    

Turun dari motor Renjun, aku langsung saja beranjak masuk ke dalam rumah. Tak peduli bagaimana reaksi Renjun, yang pasti aku malas bahkan hanya untuk melihat wajahnya. Apa-apaan dia melakukan itu padaku tadi? Serius, maluku masih berasa sampai saat ini.

"Sama-sama!" Seru Renjun saat aku akan menutup gerbang rumahku kembali.

Dia mengharapkan ucapan terima kasih dariku?. Huh, tidak akan pernah kukatakan!.

Aku berbalik usai menutup kembali gerbang rumah, kemudian mendapati pemandangan yang membuat kedua mataku membulat sempurna dan mematung ditempat.

"Kok nggak bilang makasih?, kapan Ayah ngajarin Daelin bersikap nggak sopan gitu, hm?"

Ya, pemandangan itu adalah Ayahku yang tengah menatapku tajam dari depan pintu utama. Entah sejak kapan Ayahku berada disana. Yang pasti, dia melihat sikapku ini!.
"A-ayah..."
"Kapan Ayah pulang?"
Sial, bagaimana pula aku tak menyadari berdirinya Ayah disana?!.

"Nggak papa kok om!, Renjun pulang dulu ya om!." Seru Renjun yang masih duduk diatas motornya yang terparkir di pelataran rumah.

"Eh nggak boleh gitu!, Daelin ayo buruan kamu bilang makasih sama Renjun terus suruh dia masuk istirahat dulu!." Titah Ayah, membuatku membelalak tak percaya.

Berterimakasih padanya?, setelah apa yang pria itu lakukan padaku?!. Tidak semudah itu, Ayah!. Oh sungguh aku ingin menjelaskan semua yang sudah terjadi pada Ayah, agar Ayah tidak salah pengertian seperti ini!. Kata Terimakasih itu sungguh tidak pantas kuucapkan untuk Renjun.

"Om, Rumah Renjun disamping rumah om, jadi nggak perlu istirahat, hhehe..."

Hey, aku tidak salah lihat kan?, Renjun bahkan sempat terkekeh pelan. Memang sebelumnya sudah pernah, yang kupermasalahkan disini adalah sikapnya itu yang berubah tiga ratus enam puluh derajat dengan sebelumnya.

Semudah dan secepat itu ia berubah?.

"Oh benarkah?, kalau begitu main saja kemari kalau ada waktu luang!, ah... sudah lama sekali rumah itu tak berpenghuni dan sekarang kau, temannya Daelin sudah menghuninya!," kata ayahku, sembari beranjak mendekat padaku.

Teman?. Oh, No!. Big No!. Siapa yang mau berteman dengannya?, tidak ada!.

"Ayah jadi tak perlu khawatir kalau saja Daelin tidak ada yang mengantar dan menjemputnya, dia bisa berangkat dan pulang bersamamu, ya kan?,"

"What?, ayah!, nggak!, Daelin nggak mau!, Ayah cepet-cepet cariin Daelin sopir baru, okey!, Daelin nggak mau pulang bareng Ren—"

"Oh, nggak masalah kok om!, lagian rumah kita sebelahan dan sekolah kita sama!." Renjun memotong kalimatku.

Dia itu kenapa si!, apa dia lupa kalau dia sudah punya pacar?!. Dia ingin menjadikanku yang kedua?. Tidak!, Tidak bisa!, aku juga masih bersama Sunoo!. Jadi kalau sudah putus dari Sunoo aku mau?. Bukan seperti itu maksudku, intinya aku tidak mau!.

"Tuh, Renjun aja nggak keberatan!." Ayah memihak Renjun.

Aku menghela pendek.
"Ayah, kalau masalah antar jemput, Ayah lupa Daelin masih punya Sunoo?!, Daelin punya pacar ayah!."

"Pacar?" Renjun bersuara. Oh sungguh, rasanya aku ingin membungkam mulutnya dengan kain pel saja!. Apa dia tidak bisa diam seperti biasanya?!.

Aku melirik kepada Renjun, memberi pria itu tatapan tajam menusuk.

"Oh ya, kirain kamu udah putus sama Sunoo soalnya udah lama juga Ayah nggak liat dia main kerumah!."

"Nah, kirain Renjun juga gitu om!." Renjun ikut nimbrung.

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang