23. Suspicious

24 6 0
                                    

Ini lama-lama updtnya malsen dong😭
Maapin aku manteman👉👈
.
.
.
.
.
Gadis itu berjalan disepanjang trotoar semenjak keluar dari area sekolahnya. Pembelajaran terakhir kelasnya selesai lima belas menit lebih awal dari jadwal biasanya. Wajar saja, karena tidak ada yang mengajar di kelasnya barusan.

Dengan pikirannya yang sibuk berkelana, gadis itu sampai tak tahu apa yang menjadi tujuannya melangkah saat ini. Benar, gadis itu berjalan tanpa tujuan. Pasrah dengan langkahnya sendiri yang akan membawanya entah kemana.

Kerikil tak bersalah yang sedari tadi ia jumpai itu, dijadikannya pelampiasan kekesalannya. Ditendangnya kerikil-kerikil itu tak tentu arah. Masa bodo dengan pejalan lain yang tak sedikit memperhatikannya.

Gadis itu masih tak habis fikir dan masih kesulitan untuk menerima kenyataan yang ada. Masa iya secepat itu? Renjun... kenapa pria itu tidak marah kepadanya? maksudnya... bukankah seharusnya Renjun marah besar setelah mengetahui dirinya telah dibohongi seperti itu? bagaimana bisa dia masih mampu bersikap tenang setelah mengetahui semua kebenarannya? pikirnya.

Disela kegiatannya itu, ponsel di dalam saku hodienya bergetar, membuatnya tersadar dan dengan intens menghentikan langkahnya. Gadis itu merogoh saku hodie yang dikenakannya, kemudian mengeluarkan ponsel itu dari sana.

Tanpa memeriksa si penelfon, gadis itu langsung mengangkat panggilan dan menempelkan ponsel itu ke telinga kirinya.

"Violin! Astaga... lo dimana si?"
"Gue udah nungguin lo di parkiran, lo-nya gak dateng-dateng! Lo nggak lupa kan?"

Kedua netra gadis itu melebar mendengar penuturan dari orang diujung sana, detik berikutnya ia melihat layar ponsel sekejap guna memastikan dugaannya, sebelum kemudian kembali menempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Daelin, duh, sorry banget, gue kelupaan,"
"Oke, gue ke parkiran sekarang, lo tungguin gue disitu aja ya, gue kesana secepetnya!"

Belum terdengar jawaban dari Daelin, Violin sudah memutus panggilan itu kemudian berlari kearah berlawanan, sembari memperhatikan sekeliling... dimananya ia berdiri sekarang, gadis itu tengah mencaritahu sembari tetap berlari menyusul keberadaan Daelin.

"Bodoh banget si gue masih mikirin tuh orang!"

---

Sudah lima belas menit semenjak panggilanku dan Violin terakhir kali diputus secara sepihak olehnya. Gadis yang mengajakku untuk menemaninya membeli buku itu belum menampakkan batang hidungnya sesentipun.

Sebelumnya aku sudah mengabari Kak Dio, tentang alasan keterlambatan pulangku hari ini. Seperti biasa, Kak Dio hanya mengiyakan sembari memberi beberapa perintah.

Lelah sebenarnya... tapi bagaimana, aku tidak boleh pergi meninggalkan Violin begitu saja.

Mengabaikan semua keluhan badan sendiri, aku duduk di kursi panjang depan parkiran ini. Belum sedetik aku duduk, sebuah pijakan mantap berhenti di depanku, membuatku sempat terlonjak kaget dan spontan menoleh pada si pelaku.

Violin, tertunduk dengan kedua tangan yang bersangga lutut menopang tubuhnya yang bercucuran keringat dimana-mana dan nampak lemas itu. Sungguh, dia seperti habis maraton saja.

Melihat kondisinya yang berantakan seperti itu, membuatku langsung berdiri dan tanpa pikir panjang mengambil botol minum dari dalam ranselku kemudian menyodorkannya padanya.
"Lo tuh ngejar apa, Violin?"

"Sampe berantakan kayak gini?" Sembari membantunya merapikan penampilannya, sementara Violin sibuk meneguk air minumku.

"Hhah! capek banget gue," keluhnya, sembari menyodorkan botol yang sudah kosong itu padaku.
"Istirahat bentar yah, baru kita ke toko bukunya..."

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang