22. Broken heart

17 6 0
                                    

Duduk berhadapan dengan Sunoo seperti ini sungguh membuatku tak fokus makan, memperhatikannya lebih menarik bagiku.

Sunoo yang tengah memperhatikan tingkah teman-temannya sembari terkekeh kecil itu membuatku salah fokus. Bagaimana tidak, manisnya selalu bertambah saat tengah mengunyah makanan dan terkekeh pelan seperti ini!. Sungguh, entah untuk kali ke berapa aku kembali jatuh hati padanya... oke, aku terlalu berlebihan. Tapi sungguh, memang semanis itu dia!.

Aku yang sedari tadi sibuk melamunkan manisnya seorang Kim Sunoo, tanpa sadar sosok yang aku idam-idamkan itu telah berpaling padaku. Sampai tiba-tiba saja suaranya yang menyebut namaku membuatku tersadar.
"Eum?, k-kenapa, No?"
Sial, nampak bodoh sekali pasti diriku saat ini.

Tawa Sunoo merekah.
"Kamu kenapa?, bengong mulu... nggak dimakan makanannya?"

Sempat berpaling pada makananku sekejap, sebelum kemudian kembali menatap Sunoo didepanku.
"I-ni mau dimakan, hhehe..."
Menyumpit nasi kemudian memasukkannya kedalam mulut dan mulai mengunyahnya.

"Lauknya juga..."

"Iya nih, lauknya juga..." sembari menunjukkan sesumpit kimchi padanya.

Sunoo terkekeh lagi. Agh, dia tidak tahu tawanya itu membuat jantungku berdetak abnormal.
"Udahlah Noo... jangan ketawa mulu!, gak baik buat kesehatan jantung tau nggak?!"

Bukannya berhenti, dia malah semakin tertawa lepas mendengar penuturanku yang mungkin dianggapnya candaan. Padahal aku serius dengan kalimatku!.
"Sunoo," panggilku, membuat kekehannya berangsur-angsur terhenti, kemudian menatapku penuh tanya.

"Ibu pengen ketemu, kapan kiranya bisa main ke rumah?" Lanjutku, membuatnya terdiam. Mungkin memikirkan jawaban.

Lamanya menunggu jawaban keluar dari mulut Sunoo, membuatku terdesak dan merasa harus segera meluruskan pertanyaanku barusan.
"Nggak harus buru-buru kok, sekiranya kalo ada wak—"

"Ntar sore gimana?" Selanya.

"N-tar sore?, akunya ada janji..."

"Janji?, janji apa?, sama siapa?" Sunoo bertubi.

Kupikir mengatakan janjiku dengan Violin bukan solusi yang baik. Toh, ini cuma membeli buku. Dan untuk saat ini, aku enggan untuk membahas Violin dengannya.

"Eum... ada temen, cewe kok, tenang aja!," jawabku.

Sunoo tampak mengangguk-angguk paham. Beberapa detik kemudian, ia berucap.
"Ntar malem mungkin?"

"Bisa?"

"Bi-sa!,"

"Yakin nggak?"

"Yakin, Daelin..."

"Jangan dipaksain kalo nggak bisa,"

"Yakin sama aku dong!," Sunoo mengerucutkan bibirnya.

"Hhahah, iya iya... aku tunggu di rumah yah..."

Sunoo mengangguk sekali.
"Jangan lupa oreonya..."

"Iya, masih banyak tuh stok dirumah!,"

"Hhehe, sampe nyetok dong..."

"Buat persiapan aja kalo-kalo kamu main ke rumah,"

"Dih, kamunya juga suka ngabisin."

"Yee, gara-gara kamu juga kan."

---

Selesai makan siang tadi, aku dan Sunoo kembali ke kelas bersama. Sepanjang jalan, tak sedikitpun kami mengijinkan keheningan menerobos di antara kami.

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang