5. Our parents

25 14 4
                                    

Aku berdiri menegang dari balik pintu kamar, melihat perdebatan Ayah dan Ibu yang tak kunjung berakhir. Apa yang mereka permasalahkan sebenarnya?, sejauh ini kurasa semua baik-baik saja. Yang kutahu mereka bertengkar tanpa sebab.

Dengan seksama netraku mengamati mereka. Andai aku bisa melerai!. Terakhir kali tubuhku terlempar karena hempasan tangan ayah, berakhir dengan ibu yang memaki ayah habis-habisan. Dan ya, aku malah menciptakan masalah baru bagi mereka.

Tanpa sadar setetes air mata jatuh membasahi pipi kiriku. Apa semua keluarga seperti ini?. Apa perkelahian akan selalu berakhir baik?. Apa aku hanya perlu menunggu?. Tapi sampai kapan?.

"Ayah, ibu kumohon berhentii!!"  Kalimat yang kugumamkan sedari tadi, diiringi air mata yang jatuh semakin deras.

Bukan hanya aku, air mata ibu juga sedari tadi terus membanjiri pipi.

Melihat ibu yang memergokiku, segera tubuhku memperdalam persembunyian. Sedetik kemudian dia menghampiriku, memelukku dan kembali menangis tersedu disana.

"Tunggu sebentar sayang!" Dia membelai pipi kiriku dan bangkit. Mengambil koper, memasukkan baju-baju ke dalam koper tanpa menatanya.

Aku tidak mengerti!. Aku bingung harus apa!. Aku hanya berdiri, menunggu dan mengamati perkelahian mereka yang seperti semakin parah.

Selesai dengan aktifitasnya, ibu menghampiriku setelah mengenyahkan tangan ayah yang berusaha menghentikannya. Dia membopongku. Membawaku keluar dari rumah.

"Kita akan kemana?" Aku yang tidak mengerti saat itu.

"Kita tidak akan kembali!"

"Ayah?"

"Dia akan menyusul nanti!"  Ibu menurunkanku, tepat setelah berhenti di tepi jalan, pergelangannya melambai pada jalan, setelahnya taxi berhenti di depan kami.

"Renjun?"

"Masuk Violin, cepat!"  Perintahnya. Aku menurut, masuk dan kami pergi menjauh.

Aku berlutut di atas jok penumpang, menghadap kebelakang menatap jalanan ramai yang kian mengecil dari balik kaca mobil.

Aku seperti kehilangan sesuatu.
"Renjun?!"

"Violin! Ey!"

Mataku terbuka saat suara yang tedengar familiar melengking ditelingaku. Dia kak Dio.

Aku menghela pendek begitu tersadar dari mimpi itu. Dan, seluruh persendianku terasa ngilu. Netraku berkeliling karena asing dengan ruangan yang ku tempati. Aku menemukan Renjun yang berdiri di ambang pintu sembari menatapku datar.

"Kak, kita dimana?" Tanyaku nyaris tak bersuara.

"Rumah temen kamu, ayo cepetan kota pulang!, ayah sama ibu bentar lagi pulang!"

Benakku mengingat kejadian sore tadi. Finish pada saat Renjun melarangku pulang dengan keadaan basah kuyup karena hujan.

Mengingat hal itu membuat mataku refleks meneliti pakaianku yang kini berganti. Aku mengenakan kaos oblong warna putih yang kebesaran dan celana training army yang juga kebesaran. Spontan mataku tertuju pada Renjun yang menatapku was-was.

Seharusnya dia peka dengan sorot mataku. Tidak mungkin kan aku melantangkannya, ada kak Dio pula di depanku.

"Bukan gue, bibi!"

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang